Kita merayakan Hari Hidup Bakti pada tanggal 2 Februari 2020, yang bertepatan dengan pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah. Maria dan Yosef telah dengan taat setia melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga Yahudi. Merenung tentang hidup bakt yang sedang kuperjuangkan dalam kebersamaan dengan saudara-saudari yang lain yang terpanggil pada jalan yang sama, aku tertegun membaca kembali renungan yang kutulis tujuh tahun lalu, yang masih  relevan tentang “Dui in Altum”, bertolaklah ke tempat yang dalam ( Lukas 5 :1 – 4). “Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah.  Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”

Hidup bakti secara istimewa didirikan untuk menghayati dimensi karismatis Gereja. Dalam hidup bakti kita dipanggil secara khusus untuk menghayati  hidup iman dan rohani menurut gerakan kedalaman hidup yakni di bawah bimbingan dan gerakan Roh Kudus seperti Yesus sendiri yang seluruh hidup dan karya-Nya dibimbing  dan digerakkan oleh Roh. Dimensi karismatis hidup bakti merupakan ajakan dan pembangkitan daya kedalaman hidup dalam Allah. Dalam daya kedalaman hidup terdapat asal dan tujuan hidup yakni Allah sendiri. Dalam daya kedalaman hidup terdapat kemampuan untuk menghayati hidup sesuai dengan sumber asal hidup serta tujuan. Dengan hal ini hidup karismatis hidup religious merupakan dimensi hidup manusia di hadapan Allah, dalam Kristus dengan kekuatan Roh Kudus. Dalam konteks panggilan hidup beriman dan hidup bakti dan teristimewa panggilan ke dalam kedalaman hidup kita pahami sebagai inisiatif Allah sendiri dalam dan melalui Yesus Kristus. Seperti pengalaman Simon di pantai danau Genesaret.

Yesus sendiri yang mendatangi tempat kerja Simon di pantai karena mereka adalah nelayan. Yesus melihat-lihat, mempertimbangkan, memutuskan, memilih perahu Simon sebagai sarana  yang cocok untuk mengajar banyak orang. Yesus yang  menyuruh menolakkan perahu sedikit jauh dari pantai agar pandangan Yesus terjangkau semua orang yang berdiri di pantai. Dengan itu orang banyak yang berkerumun juga dapat memandang Yesus dari pantai dan dapat mendengarkan Dia. ( bdk Luk 5 : 2-3). Ketika berada bersama Simon dalam perahu, Yesus dapat merasakan apa yang sedang dialami oleh Simon. Yesus juga melihat apa saja yang ada di dalam perahu, Yesus melihat kelelahan dan keletihan fisik mereka yang bekerja sepanjang malam.Yesus menangkap kekecewaan di wajah  mereka, yang tidak menghasilkan tangkapan seekor pun sepanjang malam.

Meski demikian, Yesus tidak serta-merta  secara terus terang  mengatakannya kepada mereka. Yesus membiarkan mereka mengalami pergumulan pengalaman mereka. Berada bersama mereka di atas perahu, Yesus malah mengajar orang banyak dari atas perahu tersebut. Nampak seolah-olah Yesus mengalihkan perhatian mereka dari pengalaman  mereka kepada suatu yang lebih berarti yakni  memperhatikan kebutuhan orang banyak yang mengikuti-Nya dan melayani orang dengan mengajar mereka. Sesudahnya, baru Yesus menyuruh Simon menebarkan jala untuk menangkap ikan. Yesus menyuruh Simon menebarkan jala ketika mereka sudah berada  di daerah yang lebih dalam, sudah agak jauh dari pantai, sudah ada jarak antara mereka dengan kerumunan orang banyak di pantai. Satu hal penting patut kita ingat  di mana  pada saat itu Yesus sendiri juga masih berada bersama Simon  dalam perahu itu.( Luk 5 : 4)

Kisah ini merupakan gambaran  undangan  Tuhan kepada Simon melalui proses perlahan-lahan sesuai situasi dan keadaan Simon dan teman-temannya.  Sebuah undangan  dari pihak Tuhan  kepada Simon untuk semakin mengimani-Nya, undangan untuk mendengarkan–Nya, untuk masuk ke dalam kehidupan yang lebih dalam bersama Yesus sendiri, karena Simon tidak sendirian dalam perahu tersebut.

Hidup bakti kita merupakan suatu gerakan hidup berdasarkan kedalaman hidup melalui spiritualitas dan karisma yang mendasari penghayatan hidup bhakti yang mengarah kepada asal, tujuan dan keabadian manusia dalam Allah sendiri melalui Yesus Kristus. Simon diundang ke tempat yang dalam tidak sendirian, tetapi bersama Yesus sendiri dalam perahu. Undangan Yesus bagi kita untuk  memiliki kemendalaman hidup, selalu bersama Yesus sendiri, kita tidak sendirian dibiarkan berjalan sendiri atau mencari sendiri.( bdk. Konstitusi 10).

Kekhasan hidup bakti KKS, berasal dari karisma dan spiritualitas yang merupakan daya hidup ilahi yang dianugerahkan kepada Kongregasi, melalui pendiri Mgr.Vitus Bouma,SSCC. “Nama Suster Dina Keluarga Suci” merupakan gema dari situasi yang sedang terjadi dalam masyarakat dan Gereja saat itu, sekaligus anugerah rahmat kasih Allah dalam diri Yesus Kristus yang hidup dalam Keluarga Suci.Kongregasi dipersatukan dengan misteri inkarnasi “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Karisma iman yang berpengharapan bahwa Allah sungguh hadir dan berkarya dalam segalanya, kita mampu melihat Yang Ilahi dalam hidup manusia. (Konstitusi 10.1 hal, 7-8).

Simon telah melihat kehadiran Yesus bersama-Nya dalam perahu sebagai Yang Ilahi  bukan sekadar guru. Yang berkarya bersama Simon dengan sabda-Nya untuk bertolak ke tempat yang dalam, sehingga banyak ikan yang mereka tangkap dan menjadikan Simon penjala manusia. Kekayaan Gereja melalui karisma  dan spiritualitas Kongregasi  kita  adalah “tempat yang dalam, yang harus kita tuju, tempat di mana kita pantas berada, dengan menghayati dimensi kharismatis hidup bakti  kita.”

Undangan untuk ke tempat yang dalam, meurpakan undangan untuk selalu kembali ke sumber asal kita, yakni Tuhan kita, yang kita imani sebagai  Yang Ilahi namun hadir nyata dalam hidup manusia ( inkarnasi). Berada bersama-Nya dalam satu bahtera hidup, seperti Simon. Dari sumber itu, kita boleh beriman, menaruh harapan yang teguh dan pantas untuk mencintai-Nya. Iman yang berpengharapan yang merupakan karisma kita,  akan membimbing kita menemukan dan mengalami kehadiran Yang Ilahi. Seperti Simon, yang menaruh harapan pada sabda Yesus “ karena Engkau menyuruhnya” aku akan menebarkan jala juga. Demikian kita juga  dituntun oleh Sabda Yesus untuk menuju kemendalaman hidup dalam Allah bersama Kristus berkat dorongan Roh Kudus.

Kita menemukan bahwa  “tempat yang dalam” bagi kita sebagai suster KKS menuju kemendalaman hidup, yang memungkinkan saya menjadi seorang yang berjiwa mistik dan mampu jadi nabi, selain Ekaristi yang diperdalam dengan Adorasi minimal satu jam setiap hari, kita mulai menemukan bahwa Sabda Tuhan merupakan  duc in altum-nya KKS. Sabda yang telah menjadi daging dan tinggal di antara kita merupakan  inti dasar spiritualitas kita. Bagaimana kita menghidupinya? Simon telah mematuhi titah Yesus melalui Sabda-Nya “Duc In ALtum”. Bagi kita juga berlaku sama, mematuhi titah-Nya untuk duc in altum  melalui Ekaristi, Adorasi, Sabda Tuhan dan penghayatan hidup dengan mengembangkan kasih dalam hidup sehari-hari.”*