Aku tidak terlalu mengingat atau menghafal, kapan awal mula aku berniat untuk menjadi seorang suster, rasanya banyak saat dan peristiwa yang membangkitkan keinginanku untuk menjadi seorang suster. Akupun tidak terlalu tahu, mengapa aku memilih jadi suster, bagaimana kehidupannya nanti sebagai seorang suster dan apa sebenarnya inti serta makna hidup dari seorang yang biasa disapa suster. Perasaanku berawal begitu saja, berbagai cara dan berbagai peristiwa aku lalui, sampai memiliki keberanian untuk mencoba hidup sebagai seorang suster.
Meskipun aku tidak tahu banyak tentang hidup sebagai seorang suster, aku tetap memiliki keberanian untuk mencoba hidup sebagai seorang suster. Namun memilih hidup seperti ini tidak terlalu mudah. Belum jadi suster, bahkan baru berniat saja, sudah harus menghadapi tantangan. Apa alasannya, sehingga orangtuaku pada awal mulanya tidak merestui niat luhurku itu. Apakah karena mereka takut kehilangan aku, atau mereka menginginkan aku menjalani hidup yang lain, yang mereka kehendaki, aku tidak tahu.
Akupun tidak mengerti, mengapa orangtuaku tidak merestui niatku, aku tetap memilih menjadi suster. Bahkan semakin ditantang aku semakin teguh pada niatku dan menentang orangtuaku yang tidak merestui keinginanku.Kadang perasaan hatiku yakin bahwa kekuatanku dari Tuhan, karena lama-lama hati orangtuaku luluh dan mereka rela untuk membiarkan aku memilih hidupku sendiri, melepaskan diri dari mereka dan belajar menjalani hidup baru. Kerelaan orangtuaku, mungkin belum penuh dan utuh, saat mereka melepaskan kepergianku.
Tanpa memiliki dan membawa banyak bekal, baik bekal pengetahuan seputar kehidupan di biara maupun pengalaman, aku berani melangkahkan kaki menuju biara yang kusadari dan yang kubawa adalah niat luhurku menjadi suster. Aku mau ikut Tuhan, mengenal Tuhan lebih dalam, melayani Tuhan dan hidup bersama Tuhan. Itu saja yang rasanya ada dalam niat luhurku, yang juga hilang muncul dalam pikiranku. Akupun tidak mempersiapkan apa-apa, karena memang tidak tahu apa-apa. Aku hanya memiliki ketekatan yang kurasa luar biasa, sebab aku berani untuk meninggalkan rumah dan “merantau” di negeri orang, jauh dari rumah dan orangtua. Namun demikian, aku sadar bahwa Tuhan menyertai aku. Maka aku tidak takut. Seringkali dalam realita, aku sebetulnya takut juga, antara keberanian dan ketakutan, namun yang lebih mendominasi pikiran dan perasaanku adalah keberanian. Aku yakin keberanian itu berasal dari Tuhan.
Dalam keberadaan diriku yang apa adanya, akupun memiliki idealisme tentang hidup di biara. Aku pikir dan merasa, di biara tentu lebih baik daripada di rumahku dengan suasana damai dan tenteram, sejuk dan aman, tenang dan ASRI. Setiap hari berdoa diiringi lagu dan puji-pujian. Aku membayangkan biara itu bagaikan di surga. Tempat aku memperoleh segalanya yang baik, yang menjadi kerinduan semua orang. Belum sempat terpikirkan olehku bahwa biara itu ada di bumi bukan di surga. Belum ada pikiran dan perasaan bahwa pengalaman yang mirip bahkan sama yang kualami di rumah, dalam masyarakat akan teralami juga di biara. Aku merasa, pikiranku masih terlalu murni dan pemahamanku amat sempit tentang kehidupan di biara.
Tapi aku bersyukur juga, bahwa justru ketidaktahuan itulah, yang justru mengantar aku untuk berani mencoba hidup di biara, menjalani dan mengalami sendiri. Aku merasa seandainya aku tahu banyak dan mengerti banyak, mungkin aku tidak betah tinggal di sana. Aku tidak tahu, apakah memang Tuhan memanggil orang justru orang-orang yang “bodoh” tidak tahu banyak dan mengerti lebih dalam, sehingga dalam perjalanan selanjutnyalah Tuhan yang akan mengajar dan mengisi hidupku, supaya aku memahami kehidupan dengan lebih baik.
Aku menyadari suasana batinku saat itu diwarnai oleh kegembiraan dan sukacita. Aku bergembira, karena aku boleh memilih untuk mengikuti Tuhan. Aku bersukacita karena diantara sekian banyak wanita dan diantara sekian banyak teman-temanku, aku boleh dipanggil Tuhan untuk menjadi “pekerja di kebun anggur-Nya”, dengan hidup sebagai seorang suster. Meskipun kadang aku mendengar, ada teman dan orang-orang tertentu yang tidak yakin dan ragu akan keputusanku atas pilihan itu. Katanya, orang model seperti aku patut dipertanyakan, apakah sanggup untuk hidup di biara? Akupun tidak peduli dan tidak tersinggung. Mungkin ini terjadi, karena aku telah memiliki ketetapan hati yang bulat untuk mengikuti Tuhan. Sekali lagi aku yakin, bahwa kekuatanku berasal dari Tuhan.
Ketetapan hati, kebulatan tekad dan keyakinan yang besar akan penyertaan Tuhan dan keberanian yang kumiliki, telah mengalahkan segala keberadaanku yang lemah dan tidak berdaya. Aku berani untuk melangkahkan kaki menuju biara yang kupilih menurut dorongan perasaan hatiku sendiri yakni “Kongregasi Suster Dina Keluarga Suci (KKS) dari Pangkalpinang”.*hm
Recent Comments