Jumat 21 Februari 2020 tepatnya pkl. 10.00 WIB saya bersama para suster berangkat dari biara menuju Belinyu. Bus yang ditumpangi menjadi saksi kegembiraan kami dalam perjalanan. Suatu kegembiraan besar karena sejak tanggal 21-23 Februari kami akan melakukan kegiatan live in di rumah keluarga, tepatnya di Paroki St. Maria Dikandung Tanpa Noda Belinyu. Tepat pkl 13.00 WIB saya bersama rombongan tiba di Belinyu. Kami melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga yang akan ditempati.

“Selamat sore, Ji. “Selamat jumpa,, saya Sr. Stefani yang akan tinggal di rumah Aji”. Begitulah sapaan singkat yang terjadi ketika saya berjumpa dengan ibu Magdalena. Ibu Magdalena adalah seorang janda berusia 65 tahun yang sudah ditinggal suaminya sejak tahun 2012 yang silam. Beliau tinggal bersama menantu dan cucu kecilnya yang berusia 5 tahun. Kegitan sehari-hari adalah menerima pesanan makanan dan memasak di dapur sederhana yang dimilikinya. Pekerjaan ini sudah digeluti oleh ibu sejak tahun 1995 hingga saat ini, artinya tahun ini ibu Magdalena sudah genap 25 tahun memasak di dapur.

Hari Sabtu pagi-pagi, setelah bangun tidur dan mencuci wajah agar lebih segar, saya bersama ibu saya menuju ke pasar Belinyu. Kami membelanjakan bahan makanan yang akan diolah sesuai pesanan pelanggan. Setelah pulang dari pasar saya dan ibu menikmati jajanan pasar yaitu kue yang terbuat dari singkong dan segelas kopi. Ternyata saya dan ibu sama-sama penikmat kopi, sehingga sambil minum kami merefleksikan tentang filosofi pahit manisnya kopi yang kadang hampir sama dengan pahit manisnya kehidupan yang harus dinikmati agar rasanya menjadi enak. Setelah menikmati sarapan  kami mulai menuju ke dapur yang sederhana dan menyiapkan bahan masakan sesuai pesanan. Hari ini kami harus memasak selain untuk pesanan juga untuk anggota kelompok yang akan mengadakan latihan koor di rumah ibu. Tahap pertama adalah kami harus memasak menu untuk pesanan yaitu, daging hamcoy, sate 300 tusuk, empek-empek, dan krupuk kulit. Selanjutnya adalah memasak  untuk latihan koor. Sambil memasak saya bercanda: “ Ji…nggak merasa rugi ya masak sebanyak ini untuk orang makan gratis? Beliau menjawab lirih sambil meracik bumbu gado-gado“ “Ndak lah, Sus, kasih ikhlas pasti Tuhan nambah”. Melihat wajahnya yang selalu tersenyum saat memasak saya bertanya kepadanya. “ Ji, pernah gak rasa jenuh, bosan, atau capek saat masak ni?” Dengan sumringah tersenyum beliau menjawab: “ Aduh, Sus! Selama 25 tahun ku begawe ni ku gak pernah lah sus ngeluh capek, yang penting gawenya ikhlas pasti segar terus. Kalau gak ikhlas itulah, meski hanya masak 1 satu macam lah capek lah.” “Sus…Aok, ndak sus?” Saya melanjutkan pertanyaan “ “Ji, pernah nggak diprotes kalau makanannya tidak enak?’’ “Bukan pernah Sus, tapi sering, sudah tuh, memang bayarnya jadi agak murah, padahal kite belanjanya mahal” jawab ibu dengan polosnya. Sejenak saya merenungkan kata yang bermakna ini dalam hati.

Saya sungguh mengalami kebahagiaan dan sukacita selama memasak, karena sambil memasak, Ibu menceritakan tentang kehidupan keluarganya. Semua anaknya sudah menikah dan beberapa menetap di Jakarta, Medan, dan Belinyu. Meskipun semua anaknya sudah mandiri namun ibu tetap bekerja agar dapat membantu sebagian cucunya yang masih sekolah dan sebagai biaya ketika mengunjungi anak-anaknya atau rekreasi ke luar negeri bersama keluarga besar. Ibu merasa bahwa dirinya tidak perlu meminta kepada anaknya karena beliau masih dapat menghasilkan uang sendiri.

Satu hal yang paling menyentuh saya adalah meskipun sibuk dengan urusan pekerjaan rutinnya, si ibu  tetap memiliki semangat kasih untuk mengunjungi adik iparnya yang terbaring kaku karena mengalami stroke. Saya sempat bergumam dalam hati bahwa meskipun bukan biarawati namun ibu ini memiliki kegiatan seperti biarawati yaitu bekerja dan merasul.

Pengalaman live in bersama keluarga ibu Magdalena menyadarkan saya betapa pentingnya sebuah rasa sukacita dalam melakukan pekerjaan. Tidak jarang saya mendengarkan keluhan dari biarawan-biarawati yang bertugas di rumah tangga dan dapur biara tentang suka-duka melayani. Kadang ada rasa jenuh yang  terungkap lewat kata “ Kami ini hanya tugas di dapur saja, bukan pekerjaan hebat seperti yang lain” atau “Saya sudah bosan di rumah tangga dan dapur, sudah pengen pindah ke tugas lain”. Rasa lelah dan letih yang berujung pada sebuah keluhan, terjadi ketika hati sudah tidak menyatu lagi dengan pekerjaan, sehingga pekerjaan yang ringan pun akan terasa berat dan penuh beban menjalaninya. Pengalaman ibu Magdalena mengajarkan banyak arti tentang kesetiaan melayani dengan penuh kasih.

Dapur bukan tempat yang membebankan. Dapur adalah tempat bertumbuhnya iman, cinta, dan solidaritas. Tumbuhnya iman ketika bertugas di dapur terbentuk melalui kritikan dan ekspresi saudara dan saudari tentang masakan yang tidak enak, tidak sesuai selera, bahkan tidak sesuai zaman.  Tumbuhnya cinta terbentuk melalui ketulusan hati untuk tetap melayani penuh kasih tanpa rasa sakit hati. Tumbuhnya solidaritas terbentuk melalui kreativitas mengolah kembali makanan sisa,  bahkan  yang tidak dimakan agar tidak terbuang sia-sia. Dapur memang bukan tempat bersih dan wangi, tetapi dari dapur, mengalir cinta yang nyata melalui santapan penopang kehidupan. Terima kasih, perjumpaan dengan ibu dan  dapur kecil pembawa kasih.*Stefani