Berawal dari perjumpaan dalam perjalanan rohani bersama wanita yang berlari menyambut sang buah hati yang belum tahu apa itu terluka dan sakit, jatuh tersungkur dalam debu dan padas panas. Wanita itu adalah Maria yang berhati lembut dengan naluri keibuan yang segera membersihkan debu pada pakaian Yesus yang terjatuh karena berlari. Hati terus bertanya apa yang Engkau mau dari perjuampaan singkat itu. Tidak berlangsung lama pertanyaan itu berkecamuk di kepala dan hati, Sabtu 04 September sebuah misi membersihkan debu di tempat padas yang panas pun harus dijalani.
Dua minggu adalah waktu yang singkat untuk menyembuhkan luka yang lama telah aku goreskan pada mereka yang lemah dan tak berdaya. Aku yang selama ini merasa kuat melawan virus dengan merasa telah cukup melindungi diri kala itu ternyata hanya mampu merenung diiringi senandung lirik lagu Dunia Berduka :
Kadang Tuhan memberi cobaan berat,
ujian datang dalam bentuk apa saja
ketika kita sedang terlena,
ketika kesombongan tak terkalahkan
Bencana datang dengan rasa,
Kesombongan kita seakan tak berdaya
Bungkam seribu kata,
Deraian air mata tak tertahan
Dunia sedang berduka, Manusia sedang bertarung nyawa
Ribuan nyawa melayang, Jeritan tangis di mana-mana
Tuhan… kami tak berdaya
Tuhan… kami tak mampu berkata
Tuhan… kami kehabisan cara
Kami kehabisan air mata
Tuhan… kami telah bersalah
Ampunilah kami ya Tuhan
Mumpung masih ada kesempatan
Untuk berbenah sebelum terlambat
Namun,semakin merenung dan mencoba menerima situasi ini jawaban dari penyerahan itu adalah APD (Anda Punya Dosa) atau ( Aku Punya Dosa). Ya… dosa kesombongan untuk merasa kuat ini ternyata hanya dipatahkan oleh virus yang tak kelihatan tetapi nyata menghilangkan nyawa.
Setiap saat ketika aku hendak menggunakan APD ( Alat Pelindung Diri), kata ini dengan arti yang lain untuk menyemangati diriku. “Anda Punya Dosa atau Aku Punya Dosa.” Silahkan bertanggung jawab atas “Anda Punya Dosa”. Saat sedang berada dalam panasnya APD, hati merunduk mengakui dan memanggul derita akibat dosa dan kelalaian sendiri. Senandung lirik lagu “bencana datang menyapa dengan rasa, kesombongan kita seakan tak berdaya” selalu mengiringi perjuangan kami melawan virus corona yang melanda jiwa dan raga mereka yang lemah dan tak berdaya.
Tangan yang selama ini tidak lagi menyentuh dan membersihkan debu yang terkumpul lalu menimbulkan virus, sejenak tersadarkan untuk menyentuh dan membersihkan dosa yang telah sekian lama ditanggung oleh mereka yang tak bersalah. Dosa kamuflase dari sebuah prioritas yang mungkin terjadi saat ini membuka hati dan budi untuk menyadari dan mengakui bahwa sungguh prioritas yang tak lagi sama seperti dulu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.
Tanganku yang dahulu selalu menyentuh dan merawat mereka kini beralih pada yang lain, kakiku yang dahulu cepat melangkah saat mendengar jeritan mereka kini melangkah ke tempat lain, hatiku yang dahulu selalu tersentuh dengan keadaan mereka kini lebih tersentuh pada yang lain. Jika Engkau berhak mengambil semua tangan, kaki dan hati ini ambillah dan pakailah untuk mereka yang menjadi prioritas-Mu bukan proritasku. Dosa untuk selalu mengatakan “tak apa-apa” membuatku semakin gagal paham tentang virus yang diam-diam mematikan raga yang tak bersalah. Dalam panasnya APD ini hatiku merunduk memohon ampun atas dosa dan kesalahan yang tak terampuni di hadapan-Mu.
Haruskah aku mengklarifikasi untuk menemukan sumber virus ini? Ah..aku rasa cara ini sangat konyol membuang banyak waktu untuk mengulik sebuah kesalahan yang sudah berlalu. Lebih baik bagiku untuk bersujud memohon pengampunan dari-Nya atas dosaku terutama dosa kelalaian dalam pelayananku terhadap jiwa-jiwa yang tak berdaya ini.
Tetesan air mata penyesalan dan keringat dosa berderai dalam balutan APD menyaksikan mereka harus pergi selamanya dari dunia ini akibat kelalaian dan kesombonganku. Untukmu yang telah pergi selamanya : “Bagaimanakah aku dapat berhenti merasa bersalah atas semua kegagalanku yang menyebabkan kepergianmu??” Kadang sebagian naluri membela diri dengan mengatakan bahwa ini adalah rencana Tuhan bagimu harus pergi dengan cara demikian, namun sebagian naluri batin terdalam lagi berkata engkau pergi karena dosaku. Mungkinkah ini sebuah hajaran keras bagiku sehingga aku tak sempat mendoakanmu bahkan hanya sebentar saja sebelum engkau pergi menuju pembaringan terakhirmu. Sungguh, hanya penyesalan yang tersisa entah sampai kapan yang kini masih tertawan dalam dada dan terkenang dalam benak.
Bukan sebuah ujian, bukan sebuah rencana-Nya, bukan pula sebuah tragedi dari wabah yang ganas, tetapi dosa kamilah yang telah menghajar diri kami sendiri. Hanya izinkan aku boleh meminta ”jangan lagi merenggut mereka yang tak bersalah, jika Engkau harus merenggut maka jiwa yang remuk ini harus bertobat”. Namun, aku pun tak berhak mengatur kehendak-Mu yang masih bersedia mengampuniku dengan membersihkan diri ini dari dosa dan kesalahan yang selama ini menyelimutiku bahkan dalam ketidaksadaranku.
Untukmu yang masih tertinggal, semoga aku boleh berharap agar sedikit cinta yang aku miliki dapat mengobati luka yang tergores di hatimu. Terimakasih telah berjuang bersama melawan Virus Corona. Terima kasih telah jadikan aku sesaat menjadi misionaris dalam tawanan kasih yang membuat jiwaku yang carut-marut menemukan oase sejenak untuk berefleksi.
Refleksi tentang dosaku yang melukai sesama dan hati Allah dan cinta yang menyembuhkan. Aku menjadi sadar, sungguh-sungguh sadar bahwa jika hatiku berpaling dan cintaku setengah hati, apa pun yang kulakukan tidak memiliki arti. Entah sehebat dan sebagus apa pun. Aku sadar, hatimu yang telah terluka, yang menanggung dalam diam dan ketidakberdayaan, meski tidak bersuara, namun jeritan yang tak terdengar telah sampai ke telinga Sang Pencipta.
Dosaku telah melukai hatimu, meski aku berusaha menutupi dengan beragam cara rasionalisasi. Tetapi aku sadari sekali lagi, cinta mampu menyembuhkan. Semoga cinta tulus yang mau bersujud dan hati yang mau berpaling dari dosaku yang membusuk, dapat diubah Tuhanku menjadi humus yang menyuburkan hidupku dan hidupmu. Cinta Tuhan mampu menyembuhkan hati dan menyuburkan hidup, ketika aku mau kembali dan berpaling ke rel jalan-jalan kecil yang ditetapkan Allah bagiku, yang harus kususuri.
Aku sadar, jika yang ditetapkan Allah bagiku jalan yang di sebelah sini, tak mungkin aku berjalan yang sebelah sana, sesuai kehendakku sendiri, meski tampak bagus dan indah sekali. Rel hidupku dan hidupmu, dan jalan mereka berbeda. Dari semua kisah ini, aku belajar satu hal berharga,Tuhan mengajarkan aku untuk setia pada jalan yang ditetapkan bagiku. Jika aku mencintai jalan-jalan kecil yang diberikan untukku, akan ada kesembuhan, kesehatan dan kesuburan hidup. Bahkan badai corona itu pun menjauh dan hatiku yang remuk, terbentuk kembali menjadi baru. Sungguh, dosa yang melukai namun cinta yang menyembuhkan.* Stefan
Recent Comments