Penderitaan merupakan bagian dari hidup manusia dan segala makluk. Sepandai-pandainya kita menghindari penderitaan , suatu saat entah apapun bentuknya, setiap kita mengalami yang namanya penderitaan.Karena merupakan bagian dari hidup, maka semestinya penderitaan itu bukanlah momok atau musuh yang harus dijauhi. Penderitaan diterima dan dipeluk sebagai sahabat karena merupakan bagian dari kehidupan. Bahkan kita mengalami, bahwa banyak rahmat dan berkat mengalir melalui berbagai-bagai penderitaan yang dialami. Setiap hari kita mengalami penderitaan entah skala kecil atau besar. Entah derita fisik atau psikis atau derita mental juga penderitaan rohani. Apapun bentuk dan jenisnya, durasi waktu menderita, toh penderitaan tetap penderitaan yang setiap manusia ingin menjauhinya.   Hanya disposisi batin yang menerima penderitaan tanpa menghakimi, dan mengusahakan berbagai cara pemulihannya, penyerahan diri penuh pada kehendak Allah, memungkin penderitaan itu memiliki makna dalam hidup kita.

Seperti kita semua pernah mengalami penderitaan, Bouma juga menderita. Penderitaan biasa yang dialami sehari-hari dalam upaya mengatasi berbagai problem dalam pelayanan. Menderita karena tidak semua kebijakan, keputusan dipahami, diterima dan dijalankan. Menderita menyaksikan penderitaan sekian banyak umat manusia di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan. Menderita, karena kadang-kadang tidak tahu harus mulai dari  mana untuk melakukan sesuatu bagi yang membutuhkan. Menderita karena harus membuat keputusan pilihan, melakukan satu hal dan meninggalkan yang lain dengan segala risikonya. Menderita atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan, kerapuhan manusiawi yang mungkin tak kunjung menjadi lebih baik sesuai yang diharapkan.

Seperti kita semua yang berjuang sekuat kemampuan untuk mengatasi segala bentuk penderitaan baik penderitaan diri maupun sesama, penderitaan personal maupun derita masyarakat, demikian juga Bouma berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi dan bila mungkin melenyapkan derita itu, supaya semakin banyak orang dapat tersenyum bahagia, mengalami kesejahteraan dan sukacita. Lebih dari itu, supaya semakin banyak orang mengenal dan mengalami kasih Allah di tengah penderitaan dan memuliakan Allah yang memulihkan, membebaskan dan menyelamatkannya dari penderitaan. Penderitaan karena dosa, menjadi salah satu alasan utama bagi Bouma, untuk bergiat dalam misi dan tegar dalam penderitaan. Teguh hati di tengah derita, asalkan dosa semakin lenyap di antara manusia.

Dalam permenungan khazanah pendiri ini, kita secara khusus merenungkan keteguhan hati Bouma  dalam tawanan. Karena situasi perang, yang sangat tidak diinginkan namun harus diterima dan dijalani, Bouma cukup menderita, karena tidak saja karier aktif sebagai seorang misionaris dan gembala diakhiri begitu saja, tetapi terutama kehilangan kawanan domba yang pasti akan terberai – berai  karena itu. Bagaimana sikap Bouma pada awal mula mendengar berita  penawanan dirinya juga para  misionarisnya akan ditawan?

Dikisahkan dengan indah bahwa Bouma mendahulukan menyelamatkan para suster Belanda untuk mengungsi ke Jawa, juga melakukan tindakan lainnya. Bouma sendiri tinggal saja dengan tenang, menantikan kejadian-kejadian yang akan datang. Pada permulaannya mereka merasa tidak diganggu, tetapi ada semacam suatu ketenangan yang tidak benar, yang mengancam. Bayangan hari – hari yang sebelumnya hanya berseliweran dalam benak, yakni kemungkinan ditawan, atau ditembak mati,  akhirnya menjadi kenyatan.  Hari kelabu itu tercacat tanggal 9 April 1942. Di tengah malam gelap gulita bersama dengan semua konfrater yang lain, Bouma dibawa untuk ditawan. Berita semula hanya ditawan untuk dua minggu, namun kenyataannya lebih dari dua tahun, dan bagi Bouma dan beberapa konfrater yang lain, ditawan selamanya, sampai wafat dalam tawanan.Kisah dalam tawanan, tak perlulah kita renungkan saat ini , sebab selain menimbulkan haru, juga menimbulkan duka mendalam di hati. Kita merenungkan warisan terindah Bouma selama dalam tawanan, yang dicatat dengan sangat indah oleh salah satu dari tiga orang imam yang selamat sampai masa tawanan selesai.

Bouma tegar dan kuat pada hari-hari awal dalam tawanan. Bouma hidup dengan cermat dan teratur, yang mencerminkan suatu teladan kesabaran yang luar biasa. Bouma masih bersemangat dan memiliki waktu luang yang digunakan untuk mengajar bahasa Latin kepada para bruder sesama tawanan. Juga menerjemahkan doa-doa harian. Setiap hari mereka mempersembahkan dua kali Perayaan Ekaristi.Bouma mulai dengan doa Rosario berantai, untuk memohon pertolongan Tuhan mengatasi bahaya kelaparan yang sangat mengerikan.

Bouma sering berulang kali menasihati para konfrater sesama tawanan, agar tidak melakukan pelanggaran di penjara, sebab Bouma kuatir perilaku mereka dalam penjara, berpengaruh pada pelayanan pastoral Pastor Boen di prefektur.Berkali-kali Bouma diinterogasi petugas, namun tidak disiksa.Berkali-kali pula Bouma diserang penyakit di sekujur tubuh. Mulai dari demam, malaria, disentri, rematik,sakit kudis yang hebat, beri-beri kering, sakit usus kronik dan kelaparan yang sistematis. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit, semua realita derita itu diterima. Pertama-tama masih dapat mengurus diri sendiri, namun sesudahnya karena semakin lemah, harus rela tubuh lemahnya dirawat oleh sesama konfrater.Beberapa bulan mendekati wafatnya, badan kurus kering tinggal tulang, tiada banyak kata lagi, tiada nasihat, hanya pancaran sorot mata, dan senyuman sebagai  ungkapan kasih dan terima kasih. Dalam kesadaran penuh, karena usianya masih terbilang muda jelang 52 tahun, semua harus dilepaskan untuk dapat menggenggam satu harapan yakni Allah saja.

Tentu saja selain yang menyerang secara langsung pada tubuhnya, juga situasi yang tidak nyaman dan enak, banyak kutu busuk yang mengganggu tidur malam. Berada bersama 26 konfrater lain dalam satu ruangan yang hanya 5 kali 3 meter,berdesak-desakan, sepanjang hari, merupakan suatu penderitaan nyata yang tak dilukiskan. Sampai wafatnya, Bouma hanya terlihat diam, terpaku,tenang dan banyak tidur tetapi tubuhnya menanggung segala jenis penyakit itu sejak 9 April 1942 sampai 19 April 1945. Meski demikian ketika mengalami perpindahan penjara dari Pangkalpinang ke Mentok kemudian ke Lubuk Linggau Sumatera Selatan, Bouma masih penuh harapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik.Bouma berharap banyak konfrater  bertahan sampai akhir. Dan puji Tuhan, tiga konfrater selamat sampai akhir meskipun dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.Dari merekalah kita tahu kisah indah ini.

Keteguhan hati Bouma, terlukis jelas dalam pernyataannya yang berulang-ulang dikatakan dalam penjara kepada konfraternya ; “ YESUS TAAT PADA ALGOJO-ALGOJONYA.YESUS JUSTRU MENJADI MISIONARIS , KETIKA HIDUPNYA DAN PEKERJAANNYA BERAKHR DENGAN KEMATIANNYA PADA SALIB”.Boleh jadi, keyakinan ini menjadi suatu stimulus bagi keteguhan hatinya. Memang, tidak ada hal lain yang dipikirkan dalam situasi derita, selain memikirkan penderitaan dan sengsara Yesus. Dalam bingkai sengsara Yesus, seluruh derita dan kesesakan batin mendapatkan makna. Demikian Bouma, akhirnya dapat menjalani dengan tenang, sangat tenang, dan berani melepaskan segala-galanya sampai napas terakhir.

Dalam masa tawanan ini, dengan teguh hati, Bouma melepaskan segala impian dan rencana besarnya untuk misi dengan karier aktif. Bouma melepaskan rencana pembangunan yang belum terselesaikan, dan berbagai ide cemerlang dalam benak. Mungkin sudah cukup bagi Tuhan, melihat segala perjuangannya dan mengamati sepak terjangnya di tanah misi. Untuk segala keberhasilan, kebaikan, segala yang kelihatan, Bouma telah melakukan  segalanya, kini dalam tawanan Bouma diminta satu saja, “tinggal tenang dan taat.” Teladan kesabaran dan keteguhan hati, dipancarkan kepada semua yang lain. Para tawanan mengakui bahwa Bouma memang tidak berubah. Saat senang dan saat susah, tetap Tuhan yang dimuliakan. Saat aktif dan juga saat pasif, tetap Allah yang diagungkan. Bahkan hal-hal tertentu yang belum sempat dilakukan pada masa aktif, dalam tawanan menjadi sebuah kesempatan besar. Dalam segala situasi , Allah yang diwartakan dan kabar gembira dimaklumkan bahkan melalui penderitaan.

Keteguhan hati tampak dalam pengharapannya akan belas kasih Tuhan, agar semakin banyak konfrater yang terselamatkan dari masa tawanan sampai segalanya terakhir. Keteguhan hatinya tampak dalam kebersamaan dan persekutuan dengan para misionarisnya sampai akhir. Sang gembala ini, tetap bersama kawanan dombanya, sampai penghabisan waktu. Tidak lari dan menghindar, tidak berpura-pura dan bermain belakang untuk memperoleh perlakukan istimewa dalam tahanan. Berkali-kali ketika sakit dan harus dirawat di rumah sakit, namun setelah merasa sedikit lebih baik,Bouma selalu minta kembali ke barak tawanan, meskipun kondisinya lemah. Bouma betah bersama konfraternya, dan merasa nyaman bersama  kawananya, meski dalam keadaan derita. Keteguhan hati ini, menjadi cerminan seorang gembala yang baik, yang dalam suka dan duka, semua dan segalanya hanya untuk Tuhan, demi kemuliaan nama-Nya dan  keselamatan jiwa.

Bagi kita putri-putri terkasih Bouma, merenungkan khazanah Bouma ini, dapatlah kita meneguhkan semangat iman yang berpengharapan. Kita belum sampai pada derita karena peperangan. Namun, kiranya meski pun tak pantas untuk disandingkan dengan pengalaman Bouma dalam tawanan. Tetapi bolehlah kita memaknai bahwa masa di rumah saja ini, mirip meski tidak serupa dengan tawanan perang. Nyaris kita tidak dapat aktif sebagaimana biasa, namun seperti Bouma, kita dapat melakukan apa saja, sembari sambil saling mengingatkan untuk selalu berkiblat pada sengsara dan derita Tuhan Yesus. Dari sengsara-Nya Yesus, mengalir segala kekuatan. Dari Salib Kristus  mengalir segala keteguhan dan kemenangan.

Dalam nada yang serupa dengan nasihat Bouma, kita boleh mengulang-ulang dan melumatkan kalimat indah dari bapa kita Bouma : Yesus taat pada algojo-algojo-Nya.Yesus justru menjadi misionaris, ketika hidup-Nya dan pekerjaan-Nya berakhir dengan kematian-Nya pada Salib. Setiap orang merindukan mati dalam keadaan manis di tengah orang terkasih dan diratapi, pemakamannya diantar oleh khalayak ramai dan sahabat kenalan. Tetapi Bouma telah wafat dalam tawanan, jauh dari sanak keluarga , sahabat dan kenalan. Bahkan Bouma wafat di luar wilayah kegembalaannya, prefektur Bangka-Billiton yang dicintainya.Bouma wafat dalam tawanan.Tiada isak tangis, karena dalam tawanan , kematian merupakan pemandangan biasa sehari-hari, hanya soal waktu saja, saya lebih dahulu dan Anda menyusul atau sebaliknya.

Bagi seorang misionaris sejati, tiada pilihan tempat untuk membaringkan kepala, bahkan tidak ada pilihan cara untuk wafat. Tidak dapat memilih siapa yang akan menguburkan jazad. Tiada berita menarik dalam koran, tiada potret-potret untuk diabadikan, tidak ada. Beruntung, masih ada Perayaan Ekaristi Requiem agung baginya. Bouma telah memiliki Allah, dalam jiwa raga, bibirnya  tiada henti menyebut nama Allah, hatinya  tiada ragu mengmani Allah, kasihnya pada Allah tiada memudar di tengah derita. Sebagaimana Bouma menerima yang baik dan indah dalam masa hidup sebelumnya, kepercayaan dan tanggung jawab, aneka rahmat dan keberhasilan dalam pelayanan misi, kini Bouma juga dengan teguh hati menerima semua derita dalam kesatuan dengan Allah Putra, Yesus Kristus. Sudahlah cukup bagi seorang misionaris seperti Bouma.

Apakah semua ini pernah terlintas dalam benaknya? Saya yakin, sudah selalu ada dalam benaknya sejak masa muda. Sesaat ketika memutuskan mengikuti Kristus, menjadi imam, menjadi seorang misionaris.  Dengan kesadaran penuh, menyerahkan diri kepada Allah, susah senang, untung dan malang , waktu sehat dan sakit, biar Allah yang mengatur, karena Dialah pencipta, pemelihara, pengendali, dan sekaligus tujuan hidup. Bahkan boleh jadi, inilah impian seorang misionaris sejati, mengalami saat akhir hidup  meski tidak akan eprnah sama seperti Yesus, namun  yang minimal searah, sejalur seperti Yesus  Kristus yakni dalam derita dan pengorbanan jiwa raga untuk keselamatan umat manusia.

Keteguhan  hati dalam derita, kiranya sudah selalu dilatih Bouma, dalam hidup sehari-hari, dalam kesukaran dan kesulitan kecil. Apa yang menjadi rahasia keteguhan hati Bouma? Bouma sungguh beriman dan bersatu dengan Allah yang mengasihinya.Bouma berjuang sungguh-sungguh untuk Allah dan kebesaran kerajaaan-Nya. Bouma selalu menomorsatukan Allah dalam segala hal. Dan Bouma selalu menyerahkan diri kepada Allah, dengan meniru Kristus : “ Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku”. Kita percaya, inilah rahasia cinta dan keteguhan hati Bouma dalam penderitaan, sehingga kematian itu disongsong dengan tenang, dan selama masa derita menjadi teladan kesabaran dan keteguhan hati.

Hari –hari ini, kita puteri-puterinya, diundang untuk mengisi masa “tahanan di rumah saja dalam peperangan covid-19 ini” dengan belajar dari khazanah Bouma, teguh dalam derita, siap sedia berkorban, tiada henti berharap dan berdoa agar sebanyak mungkin orang terselamatkan. Tiada henti bibir kita berujar, ke dalam- tangan-Mu Bapa kuserahkan diriku sepenuhnya. Dan jika saatnya tiba untuk kembali, kita siap menyongsong-Nya dengan tenang, seperti diwariskan bapa Bouma dalam iman yang berpengharapan*hm