Rasa hatiku tidak menentu ketika untuk pertama kalinya melangkahkan kaki masuk sebuah gedung yang kokoh, dikelilingi tembok yang tinggi. Aku membayangkan bagaimana rasa hatiku ketika berjumpa dengan penghuni di dalam sana? Memang, sudah lama aku merindukan ingin berjumpa dengan mereka yang tinggal di dalam gedung kokoh ini.Terakhir kali sembilan tahun yang lalu pernah berkunjung. Yach…selama  dua puluh lima tahun tinggal di Pulau Bangka ini, hitung-hitung baru dua kali aku berkunjung ke tempat seperti ini. Padahal di masa kecilku sebagai anak sekolah minggu, kami sering berkunjung, tempat yang selalu menyentuh hatiku. Dulu, kami menyebutnya penjara. Sekarang disebut Lapas atau tepatnya rumah binaan. Apapun sebutannya, tempat ini selalu mengingatkan aku akan kisah dalam Injil tentang Pengadilan Terakhir.

Hatiku lega. Setelah melewati proses pemeriksaan di bagian registrasi, kami diperbolehkan masuk. Ternyata orang – orang di dalam sana, ramah dan familier, baik petugas maupun penghuninya. Seluruh kesan rasa hatiku yang tak menentu, luruh. Tempat ini sangat bersih dan nyaman. Sebelumnya aku tidak mengenal seorang pun di tempat ini. Kedatangan kami, memang hanya berkunjung dan berdoa. Meskipun kami sama-sama belum saling kenal, kami diterima dengan sangat baik, bahkan seperti sahabat lama. Sangat menggembirakan, suatu perjumpaan di luar dugaanku akan berlangsung sedemikan akrab, penuh kasih persaudaraan. Aku dengan sangat hati-hati bertanya, takut menyinggung perasaan,ternyata disambut dengan nada canda tawa penuh kebebasan.

Aku bergumam dalam hati, mereka tampak cukup bahagia. Dari kisah dan cerita, kami boleh mengerti bagaimana suasana di dalam sana sehari-hari. Sangat teratur dengan jadwal kegiatan harian yang cukup padat. Waktu paling banyak adalah menerima kunjungan dan kegiatan kerohanian. Semua diperlakukan dengan sangat baik sesuai keadaan dan kondisi. Makanan, minuman terjamin. Hanya satu hal yang pasti yang tidak boleh dilanggar yakni tidak boleh keluar melewati batas-batas yang sudah diberikan dan tidak memiliki alat komunikasi untuk berkomunikasi dengan yang di luar sana. Selain dari itu, mereka dapat melakukan sesuatu apapun yang tersedia. Sempat tersirat dalam pikiranku, tempat ini seperti asrama, panti jompo atau bahkan biara.

Tiga bulan berlalu sejak pengalaman awal ini. Sekarang setiap minggu kami akan berkunjung ke tempat ini untuk pelayanan rohani; berdoa bersama;mendengarkan Firman; syering  pengalaman dan jika ada Pastor  ada Perayaan Ekaristi. Kegiatan ini, menjadi program baru di komunitas kami.Kami senang berkunjung ke sana.

Setiap kali sepulang dari rumah binaan, aku sulit tidur. Pikiranku  kembali akan kenangan percakapan dan keakraban kami selama beberapa jam di rumah binaan. Ada banyak hal yang menyentuh hatiku. Ada kisah dan cerita.Mengapa mereka bisa ada di sana. Ada kisah pengalaman getirnya berjuang untuk bebas. Ada kisah perjuangan menerima realita dengan iklas. Semuanya berujung pada pengakuan akan kemahakuasaan Tuhan dan kesadaran akan perlindungan dan kasih-Nya yang besar. Selalu ada nada syukur dalam setiap ungkapan. Aku beruntung,…aku bersyukur. Aku merasa masih lebih baik. Lumayan  dan deretan ungkapan yang mengisyaratkan syukur  dengan keadaan saat ini.Merenung semua itu, aku mendengarkan suara batinku yang bergema dalam kesunyian. “Meski tampak terbelenggu, mereka bebas.Hati mereka tidak ikut tertawan, meski secara fisik, gerak langkah mereka dibatasi. Keberadaan mereka bebas, ketika mereka menyadari bahwa dalam Tuhan, mereka baik-baik saja menjalani hidup. Mereka yakin, seyakin-yakinnya bahwa iklas menerima diri, menerima kenyataan dan menerima rahmat Tuhan, menjadikan mereka bebas.”

Kurenung diriku yang bebas ini. Secara fisik aku bebas berbuat apa saja. Tidak ada yang membatasi dan mengekang atau mengurung aku. Tidak ada. Namun, ada saat-saat aku merasa tidak bebas dan ingin bebas. Belajar dari teman-temanku di rumah binaan, aku menjadi sadar, bahwa bukan tempat, bukan peraturan, bukan orang-orang, yang menawan diriku sehingga tidak bebas, tapi pikiran dan kesadaranku sendiri yang menawan dan membelenggu kebebasanku.  Sejatinya diriku sejak tercipta bebas adanya. Dosalah yang menawan aku dan membelenggu. Syukur pada Allah, yang dalam Yesus membebaskan aku dari jeratan yang membelenggu. Syukur bagi Tuhan yang setiap saat memberi aku waktu dan rahmat untuk berjuang bersama-Nya membebaskan diri dari ikatan belenggu yang tidak perlu.*hm