Sukacita merayakan hidup bakti sesuai semangat Keluarga Kudus, sangat nyata tersirat dan tersurat dalam Seruan Apostolik pertama Paus Fransiskus Gaudium Evangelii ( Sukacita Injil ) yang cukup panjang, karena Paus ingin menyentuh beberapa masalah penting dalam kehidupan Gereja, namun semua itu terangkum dalam satu kalimat pertamanya: “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus.” Dengan kata lain, perjumpaan dengan Yesus merupakan hal mendasar untuk mengalami sukacita.  Tema mendasar dari Seruan Apostolik ini adalah tentang revolusi kasih. Revolusi kasih dalam berbagai bidang kehidupan, namun terutama revolusi kasih yang dimulai dari dalam keluarga. Sukacita perlu dialami lebih dahulu dalam keluarga. Bagi kita para suster , sukacita dimulai dari dalam komunitas di mana kita berada. Sukacita komunitas berasal dari setiap pribadi suster yang tinggal dalam komunitas.

 Revolusi Belas Kasih

“Tidak ada yang lebih besar atau lebih berbuah manis daripada cinta kasih,” kata Paus Fransiskus seraya menekankan bahwa ketika seseorang memberikan martabatnya, tapi kebencian dan balas dendam tak dikurangi, maka menodai keindahan makhluk yang diciptakan serupa dalam gambar Allah. Perintah ini, disampaikan untuk menanggapi penghinaan dan ketidakadilan atas dasar cinta kasih, menghasilkan budaya baru di dunia yakni budaya belas kasih, memberi kehidupan pada perubahan yang sebenarnya.

Perilaku yang ditandai dengan cinta kasih kepada siapapun yang menyakiti kita, tidak akan sia-sia. Kita harus mengampuni, ungkapan ini digarisbawahi karena Allah telah mengampuni dan selalu mengampuni kita. Jika tidak memaafkan sepenuhnya, maka kita tidak bisa berharap untuk dimaafkan. Sebaliknya, jika hati kita terbuka untuk belas kasihan, jika pengampunan dimeteraikan dengan pelukan persaudaraan dan ikatan persekutuan dipererat, kita  menyatakan di hadapan dunia bahwa mungkin untuk mengatasi kejahatan dengan kebaikan.”

Sukacita merayakan hidup bakti seperti Keluarga Kudus bersumber dari kasih karunia Allah, berproses dalam kasih dan bermuara dalam kasih kepada Allah. Kasih seperti ini, kiranya berlandas pada kesadaran seperti Yesus sendiri yakni sadar bahwa aku dikasihi, aku berharga di mata Allah. Tanpa kesadaran semendalam ini, yang terus -menerus dihidupi, sukacita sejati tidak mungkin kita alami. Barangkali hanya sampai pada level kesenangan, kegembiraan sementara dan sukacita palsu. Apalagi jika kita menganggap kegembiraan kita bergantung pada orang lain di sekitar kita,( bagaimana orang lain memperlakukan kita)  pada situasi ( yang kita harapkan baik-baik dan lancar-nyaman aman tenteram) atau  pada pengalaman  yang manis dan menyenangkan. Sukacita injili bukan sekadar anggapan dan perasaan semata-mata, karena aku sedang mengalami hal-hal yang baik dan menggembirakan, dihiasi gelak tawa dan suka ria. Tetapi  kesadaran mendalam akan kasih Allah yang dikaruniakan sejak awal mula untuk diriku, kasih tanpa batas yang melampaui akal pikiranku, yang selalu kualami namun  tidak selalu aku syukuri. Hanya kesadaran kasih seperti ini, yang akan selalu mendorong kita untuk mengasihi. Sebuah revolusi belas kasih yang muncul dari kedalaman lubuk hati, yang merupakan tanggapan atas kasih dan belas kasih Allah untuk kita.

Tanggapan kasih terhadap Allah, pertama-tama mewujud dalam kerinduan untuk selalu berada dekat dengan Tuhan, mendengarkan suara-Nya, rindu  untuk semakin mengenal dan mengerti kehendak-Nya dan melaksakan Firman-Nya. Tanggapan kasih juga  mewujud nyata dan mengalir dalam dan melalui kerinduan untuk selalu memuji dan memuliakan Allah Sang kasih dalam doa syukur dan pujian, dalam mazmur dan nyanyian meriah, dalam madah dan kidung  untuk menyatakan kemuliaan Allah dan keagungan Allah yang memuncak dalam Perayaan Ekaristi, yang terpelihara melalui ibadat harian  yang merupakan doa Syukur indah untuk menguduskan waktu dan dipupuk dengan doa dan devosi.

Tanggapan atas kasih Allah paling real dinyatakan  dalam kasih terhadap sesama, mulai dari dalam komunitas di mana kita berada.  Di mana ada kasih, di situ Allah hadir. Di mana Allah hadir , di situ ada sukacita. Kita tidak bisa mengharapkan kehadiran Allah melingkupi kita, tanpa adanya kerinduan untuk menyambut kehadiran-Nya dengan  puji-pujian dan syukur, dengan sikap hati untuk mendengarkan Firman-Nya, dengan keberanian untuk mengasihi sesama yang adalah tanda kehadiran-Nya yang nyata di tengah-tengah kita. Ada yang memberi kasih, dan ada yang mau menerima kasih, sesederhana apapun itu bentuknya. Tidak akan terjadi revolusi kasih, jika setiap pribadi  tidak saling memberi dan mau menerima ungkapan kasih itu. Dari kasih, akan mengalir sukacita. Jika ada sukacita , maka itulah sebenarnya kita sedang merayakan sukacita yang awalnya nampak sukacita kodrati, yang manusiawi tapi  perlahan akan diubah oleh Allah dengan kasih karunia-Nya menjadi sukacita sejati, sukacita  Injili, sukacita Imani, sukacita Ilahi, yang berasal dari Roh Kudus, sukacita dalam Roh karena sukacita pada hakekatnya adalah buah Roh.

Merayakan kasih  karunia  yang telah anugerahkan Tuhan  bagi Kongregasi

Kasih karunia adalah kuasa Allah yang senantiasa menyertai orang percaya melalui kehadiran Roh Kudus, dalam melayani, menjalankan kehendak Allah, kemurahan-Nya yang memberi kesempatan kepada orang berdosa datang bertobat, percaya dan diselamatkan. Kasih karunia Allah ini sudah selalu kita alami, sejak permulaan hidup kita, sejak dibaptis dan terutama dalam seluruh perjalanan panggilan kita. Kasih karunia Allah kita alami dalam keluarga kita, dalam komunitas kita, dalam kongregasi dalam hidup sehari-hari dalam seluruh karya pelayanan kita.Kasih karunia adalah kasih yang seharusnya tidak layak kita terima, tetapi diberikan Tuhan kepada kita sebagai sebuah anugerah. Yohanes menggambarkannya seperti ini: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah  mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh. 4:10). Gambaran dari kasih karunia Bapa kepada kita ini tergambar jelas dari perumpamaan tentang anak yang hilang yang tertulis dalam Lukas 15:11-32.

Secara istimewa kasih karunia Allah layak dirayakan  dalam komunitas dan kongregasi dan oleh setiap suater, karena misteri Inkarnasi  Allah sungguh jelas  kita alami sejak awal perjalanan Kongreasi kita, sebagaimana yang ditertera dalam Direktorium nomor 2 alinea 2 : “ Dalam keadaan Masyarakat seperti  itulah warta Kabar Gembira penyelamatan Allah Tritunggal Mahakudus dijawab oleh Mgr.Vitus Bouma,SSCC dan tiga gadis perintis.Tanggapan mereka menghadirkan penjelmaan Sang Sabda  dalam Keluarga Kudus di Belinyu. Di kemudian hari anugerah khusus itulah yang melahirkan Kongregasi Suster Dina Keluarga Suci dari Pangkalpinang.”

Kasih karunia Allah ini pertama-tama ditanggapi oleh Mgr Vitus Bouma, tiga gadis perintis yang akhirnya menjadi dua suster pioneer KKS. Selanjutnya berkembang sampai kini kita merayakan kasih karunia Allah itu yang selalu baru setiap dan diperbaharui dalam dan melalui Perayaan Ekaristi, Perayaan Syukur, perayaan misteri keselamatan Allah melalui Yesus Kristus.Kita merayakan kasih karunia Allah dalam misteri inkarnasi dengan mengimani Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia, yang hadir dan menyertai kongregasi, membimbing dan menuntun agar setiap suster KKS “menjadi jelmaan Sang Sabda  dalam Keluarga Kudus” yang semula hadir di Belinyu, terus berkembang. Respon iman terhadap kasih karunia Allah bagi Kongregasi ini, terbungkus dalam spiritualitas kita dengan 6 nilai dasar iman, taat, sederhana, siap sedia melayani,doa dan kerelaan menderita. Selama spiritualitas menjadi jiwa dan api yang berkobar -kobar menjiwai seluruh hidup kita, maka Kongregasi ( setiap suster) menjadi (jelmaan) “Tampilan Keluarga Kudus Nasaret” yang nyata dan hidup di tengah keluarga, Gereja dan Masyarakat di mana kita berada.