Mgr. Vitus Bouma, SSCC
Mgr. Vitus Bouma, SSCC lahir dari pasangan Wietze Rinus Bouma dan Agatha Westerdorp pada tanggal 6 Desember 1892 di Oude Mirdum propinsi Friesland, Belanda dengan nama Wietze Bouma. Kelahirannya menjadi momen penting yang pantas dikenang oleh para suster KKS. Bagi Suster KKS, Mgr Vitus Bouma, KKS mendapat tempat yang sangat istimewa. Beliau adalah Bapak pendiri Kharismatis Kongregasi Suster Dian Keluarga Suci dari Pangkalpinang ( KKS). Disebut pendiri kharismatis karena Beliau yang meletakkan dasar pendirian KKS, beliau yang memiliki visi cemerlang bagi masa depan Gereja Indonesia, Pangkalpinang khususnya.
KKS hadir di bumi Indonesia, di tanah Bangka sejak tahun 1937, pada masa Mgr. Vitus Bouma, SSCC menjabat sebagai Prefek Apostolik Bangka Belitung. Perjalanan lahir dan berkembangnya KKS tidak semulus jalan tol. Berbagai tantangan menghadang antara lain masa perang dunia II, masa pasca kemerdekaan RI, sampai akhirnya secara konstitusional dengan adanya Dekrit Pendirian Kongregasi yang dikeluarkan di Pangkalpinang pada pesta St. Yosep, 19 Maret 1960 oleh Mgr. Nikolaus Petrus Gabriel van der Westen SS.CC yang menjabat sebagai Vikaris apostolik Pangkalpinang pada saat itu. Oleh KKS Mgr van der Westen dianggap sebagai pendiri kanonik.
Tahun 2010 mendatang dijadikan tahun penuh syukur dan kenangan di mana para Suster KKS merayakan keberadaannya secara konstitusional selama 50 tahun. Berbagai kegiatan rohani telah direncanakan untuk menyongsong perayaan agung ini. Tentu, nama dan semangat Mgr. Vitus Bouma, SSCC dikenang dan didengungkan secara lebih istimewa.
Siapakah beliau? Pepatah mengatakan: tak kenal, tak sayang. Mengenal sejarah hidup, semangat, visi misi serta kharisma dan spiritualitas beliau dapat mengantar kita untuk menyelami secara mendalam kharisma, spiritualitas dan khazanah warisan Kongregasi.
Secara khusus Gema Familia akan memuat kisah hidup dan semangatnya bagi kita dalam edisi mendatang.***
Monsinyur Bouma adalah seorang pembimbing yang istimewa dengan kebijaksanaan yang besar, dan juga pintar sekali. Dalam pergaulan, beliau sangat sederhana, dan seorang pendiam, dan tak lancar berbicara, tetapi di manapun Beliau hadir, maka orang menjadi tenang; Beliau disayangi dalam masyarakat katolik. Beliau sangat memperhatikan para misionaris dan mereka percaya akan Mgr. Bouma.” ( dari : in memeriam, oleh P. Van Thiel, SSCC)
Pendiri Karismatis : Mgr. Vitus Bouma SSCC (Wietze Bouma)
Prefek Apostolik Bangka – Biliton.
Lahir : Oude Mirdum, 6 Desember 1892
Dari Pasutri :Wietze Rinus Bouma dan Agatha Westerdorp
Baptis di Paroki Westerdorp
Wafat : Lubuk Linggau, 19 April 1945
Semboyan : “NISI DOMINUS AEDIFICAVERIT”
( Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah,
sia-sialah usaha orang yang membangunnya)
Visi dasar
“Semua orang mengalami kehadiran yang Ilahi di dunia ini, terutama di dalam keluarga-keluarga di Asia, dengan mentalitas ketimuran sesuai teladan Keluarga Suci”.
- Pendidikan di Seminari :
- Masuk seminari rendah SS.CC tahun 1908 di Grave, Belanda Selatan.
- Lulus seminari tahun 1913
- Pendidikan Biarawan:
- Masuk Novisiat : 10 September 1913 ( 21 tahun ) di Tremelo di Belgia.
- Penerimaan jubah : 23 September 1913 dan diberi nama : “Vitus”.
- Pengikraran kaul : 27 Januari 1915, di Grave.
Vitus mengikrarkan kaul kekal tanggal 18 Maret 1918 di Grave. Sebagai seorang frater , ia sempat berkarya sebagai guru selama lebih dari 4 tahun samapi September 1920. Dia dikenal sebagai guru yang pandai, tak kenal lelah, rajin dan berbakti. Vitus juga secara teratur mengarang dalam majalah misi De Zelatur, sebuah majalah khusus untuk muda-mudi. Tahun 1919 Pater SSCC mulai menerbitkan suatu majalah bulanan untuk mempromosikan aksi misi umum “wereldapostolaat”. Vitus banyak menulis artikel-artikel khususnya mengenal karya misi di seluruh dunia , misi di antara orang-orang eskimo, misi di Oceania. Tahun 1920 Vitus melanjutkan studi teologi di seminari tinggi di Vankenburg. Dalam rangka studi Vitus mengorganisisr banyak konferensi. Vitus dikenal sebagai seorang yang berpikir dan bekerja sistematis.
Tanggal 11 Maret 1923, Vitus ditahbiskan sebagai imam. Agustus 1923 Vitus diutuss sebagai guru di seminari rendah di Sint Oedenrode. Sebagai guru, Vitus dikenal sebagai seorang yang menguasai pengetahuan bahasa-bahasa klasik dengan sangat baik, kadang acara harian diganti dengan jam pelajaran mengenai karya misi yang sangat menarik. Vitus suka bercerita mengenai negeri Tiongkok dan tertarik pada negeri dan bangsa ini karena mempunyai beberapa sifat yang menyerupai sifat dirinya sebagai orang Fries, yakni pintar, rajin dan tekun.
- Jan de Weyer, SSCC mantan murid Vitus memberi kesaksian bahwa baginya Vitus adalah sosok guru yang pintar dan luar biasa tekun : “ Beliau sangat berdisiplin, mampu membri semangat besar kepada mahasiswa, sehingga emreka belajar dengan senang ehati. Cerita-ceritanya tentang karya misi sangat mempengaruhi mahasiswanya.:
Pada masa itu Vitus juga menjabat sebagai redaktur suatu majalah lain yang sayang sekali hanya dapat terbit dua tahun. Di Sint Oedenrode, Vitus diangkat sebagai prior para religius di situ. Vitus berkarya sampai ditunjukkan untuk akrya misi di bangka Belitung pada bulan Juli 1925.
Tanggal 28 September 1926 Vitus berangkat ke tanah misi Bangka Belitung dengan kapal laut tiba di Singapura 21 Oktober 1926. selama 3 bulan di Singapura Vitus belajar bahasa dan dasar-dasar budaya Tionghoa, azas-azas penting adat istiadat bangsa Timur dari seorang misisonaris P. Gazaut, MEP.Vitus dengna tekun belajar bahasa Tinghoa sehingga dalama waktu 3 bulan, dia sudah dapat membawakan sakramen pengakuan. Vitus sadar, bahwa seseorang baru bisa mengeluarkan isis hatinya dengan baik, kalau dia dapat mengutarakan bahasanya sendiri. Sebagai seorang misionaris Vitus sanagt memperhatikan bahasa setempat. Pengalamannya dengan P. Gazaut , MEP dan kontak pribadi dengan keluarga-keluarga China memberi banyak pengalaman dan bekal bermanfaat bagi Vitus dalam karya misinya di Pulau Bangka .
Janauri 1927 Vitus berangkat ke Bangka bersama P. Petrus Lahaye. Vitus diberi tugas mempersiapkan diri untuk karya pastoral di Pulau Belitung. Bulan April 1927 Vitus berangkat ke Belitung menjadi pastor pembantu membantu P. Marcellus van Soets. Di belitung Vitus mencoba memulai sekolah dasar, tetapi tidak berhasil. Tidka jelas penyebab kegagalan ini, mungkin umat Tionghoa belum cukup percaya akan sekolah bukan Tionghoa, mungkin juga karena Vitus belum mahir berbahasa China.
Juni 1927 Vitus bersama marcellinus van Soets ke Bangka sebuhungan dengan kunjungan pembesar kongregasi dari Belanda Pater Provinsial Nobertus Poelman. Vitus mendapat tugas baru darinya yang lebih definitif. Vitus ditugaskan di Bangka dengan pesan khusus yakni memperhatikan pendidikan di sekolah.
Tanggal 29 Mei 1928 Vitus Bouma diangkat sebagai Prefek Apostolik Bangka Beliton menggantikan Mgr. Herckenrath, SSCC .
Ketika Kongragasi SSCC mengambil alih misi di Bangka sari Pater Kapusin,telah ada kapela kecil di Sambong, Belinyu, Manggar – Belitung dan kepela di Sungai selan yang sejak tahun 1924 tidak dipakai lagi. Pada masa Mgr Herckenrath ia telah memebri perintah untuk mendirikan kapela di Mentok. I ajuga telah mulai mengurus pendirian sekolah di Mentok setelah Kongregasi suster Penyelenggaraan Ilahi di belanada berjanji emngirimkan suster-susternya ke Bangka. Tahun 1925 delapan suster pertama tiba di Mentok. Beliau juga mendirikan gereja besar di Moro, kep. Riau untuk masyarakat China Katolik yang terdiri dari nelayan-nelayan China. Para misionaris pada tahun 1928 ada 3 bruder SSCC, 8 pastor SSCC dan 15 suster Penyelenggaraan Ilahi. Ketika Vitus Bouma mengambil alih misi dari Mgr Herckenrath jumlah orang katolik kira-kira 600 orang tersebar di P Bangka, P.Belitung dan Kep. Riau dari jumlah penduduk seluruhnya 350 ribu. (bersambung
Selama tahun-tahun pertama sebagai Prefek, Bouma mengusahakan membangun sebanyak mungkin gereja, pertama di Pangkalpinang, pusat perusahaan timah Bangka. Setelah Beliau melihat, bahwa stasi Sambong merosot dalam hal ekonomi, sehingga tambang-tambang timah mulai ditutup. “Sambong sudah mati”, begitulah Bouma menulis dalam ikhtisar tahunan pada tahun 1928. Lokasi stasi Sambong kurang bagus, yaitu di tengah-tengah tambang-tambang timah disana mulai ditutup. Maka sekolah di sana ditutup juga pada bulan Agustus. Stasi Sambong tak berguna lagi dan Vitus mengambil inisiatif untuk berpindah ke Pangkalpinang secepat mungkin. Bouma memutuskan untuk tinggal di Pangkalpinang. Dibelinya sebidang tanah yang luas, dekat pasar ikan, demi bangunan-bangunan nanti. Tanggal 24 Mei 1931 Gereja dan gedung paroki baru selesai dibangun. Pada tanggal itu gedung-gedung diberkati, dan Mgr. Bouma pindah dari Sambong ke Pangkalpinang.Dekat gereja masih dibangun suatu rumah, tempat tinggal sementara untuk para pastor dan suatu sekolah yang kecil, dimana pater-pater mulai mengajar. Sekolah ini dibuka 23 Juni 1931.
Pada tahun 1933 Bouma berhasil menggariskan suatu kontrak dengan propinsi Belanda Kongregasi Budi Mulia, untuk memulai berkarya di Misi Bangka. Itu terjadi tanggal 9 Juni 1933. Pada tahun 1934 bruder-bruder pertama tiba di Pangkalpinang.Pada tahun 1938 suster-suster dari Penyelenggaraan Ilahi, yang sudah berkarya di Mentok dan Belinyu, memutuskan untuk mulai berkarya juga di Pangkalpinang. Mereka mengambil alih sekolah dari pater-pater, dan mulai tinggal di pastoran. Pater-pater pindah ke Kampung Jelutung, dimana Monsinyur telah berhasil membeli suatu rumah yang murah.
Di Belinyu didirikan rumah biara suster-suster, dan suatu rumah untuk anak-anak yang sakit dan buta. Kompleks dibuka 22 Juni 1931. Stasi Mentok pun diperluas. Kapela yang dibangun atas inisiatif Mgr. Herkenrath diganti dengan suatu gereja yang masih dipakai sekarang. Pemberkatan pada 1 Oktober 1932. Untuk para suster dibangun suatu biara. Juga dibangun asrama dan sekolah. Gedung-gedung lama di Sambong dibongkar dan dipindahkan ke Kampung Jeruk (Kebun Sahang). Perumahan diberkati pada tanggal 15 Agustus.Di Sungailiat dibangun suatu sekolah yang bagus sekali dan rumah untuk bruder-bruder. Di Manggar – Belitung , di dusun Samak, dibangun suatu stasi yang baru.
Kepulauan Riau pun mendapat perhatian cukup banyak dari Bouma. Di ibu kota Tanjungpinang didirikan suatu gereja baru yang diberkati 5 Mei 1933. Di Pulau Karimun Bouma membuka suatu stasi baru, supaya dari situ pater-pater dengan mudah dapat berlayar ke Singapore. Kapela dari stasi misi ini diberkati tanggal 14 Nopember 1933. Ketika Bouma mengambil inisiatif untuk membangun sekolah di Karimun, beliau memakai metode yang sama yang telah dipakai di Sambong. Gereja besar di P. Moro tak dipergunakan lagi karena orang-orang katolik, yang kebanyakan bermatapencarian sebagai nelayan pindah ke tempat lain. Gereja dibongkar dan bahan-bahan dipakai untuk suatu gereja yang lebih kecil di Moro dan untuk sekolah di Karimun. Di Moro umat katolik tidak menyenangi perubahan ini tetapi Bouma meneruskan rencana-rencananya.
Kata “Nisi Dominus aedificaverit”, dipakai Mgr. Bouma sebagai semboyan dalam lambangnya: “Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.” Dalam segala usahanya Bouma percaya akan Tuhan, tetapi Bouma tidak menyerahkan satu halpun kepada takdir. Beliau sendiri mengukur tanah-tanah dan mengerjakan sendiri segala rencana sampai sekecil-kecilnya. Dalam segala usaha-usaha ia dibantu oleh bruder Gerard Jeanson SSCC dan kemudian oleh bruder Antonius Bruijns SSCC, setelah bruder Gerard meninggal. Ketiga religius ini menghadiahkan kepada misi sebelum perang dunia II banyak gedung yang bagus dan berkualitas tinggi.
Aktivitas pembangunan nyata terlihat di bawah kepemimpinannya. Karena itu di Bangka Belitung beliau dinamakan “ Si Pembangun”. Malahan kadang-kadang oleh orang Belanda namanya salah ditulis, bukan Bouma melainkan Bouwman artinya “pembangun”.
Sumber : buku Monsegnur Vitus Bouma ( 1892 – 1945) yang disusun oleh Jan Wouters SSCC Pangkalpinang 2000).
Sebagaimana julukan “ Si Pembangun”, Bouma tidak hanya memperhatikan perkembangan kota Pangkalpinang –Bangka tetapi juga di tempat lain, Di Belinyu misalnya, didirikan rumah biara bagi para suster dan rumah untuk anak-anak yang sakit dan buta pada tahun 1931 tepatnya tanggal 22 Juni. Kapela di Mentok diganti dengan bangunan gereja yang diberkakati tanggal 1 Oktober 1932 dan masih dipakai sampai sekarang. Dibangun pula di Mentok biara untuk para suster dan sekolah yang masih bisa ada sampai kini. Di Sungailiat, dibangun sekolah, dan rumah biara untuk bruder.
Tidak Cuma Bangka yang menjadi perhatian Bouma. Di Manggar –Belitung dbangun stasi baru. Di kepulauan Riau yakni di Tanjung Pinang didirikan gereja baru . Di P.Karimun dibuka stasi baru agar mempermudah para imam ke Singapura. Pembukaan stasi baru dan juga sekolah di Tanjung Balai Karimun. Gereja di Moro dibongkar dan dibangun kembali yang lebih kecil sementara bahan bangunan dipakai untuk membangun sekolah di Tanjung Balai –Karimun.
Bouma, tidak cuma berpikir dan mengatur, tetapi terlibat dalam pembangunan tersebut. Beliau sendiri mengukur tanah dan mengerjakan sendiri segala rencana sampai sekecil-kecilnya. Dalam usaha pembangunan itu, ia dibantu oleh bruder Gerard Jeanson ,SSCC dan kemudian bruder Antonius Bruiins setelah bruder Gerard meninggal dunia. Mereka bertiga menghadiahkan kepada misi banyak gedung yang bagus dan berkualitas sebelum perang dunia II.
Dalam segalanya, Bouma berpegang teguh pada semboyannya, yakni Nisi Dominus Aedificaverit yang diambil dari mazmur 127 “ jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya”. Dalam segala usaha pembangunan itu baik bangunan fisik maupun bangunan rohani , jemaat yang semakin berkembang, Bouma percaya akan Tuhan, sungguh percaya akan peranan dan kuasa Tuhan yang melakukan segalanya. Bouma juga tak menyerahkan satu hal pun kepada takdir. Baginya, Tuhanlah yang membangun.
Seperti kita pahami bersama, bahwa setiap usaha pembangunan gedung, membutuhkan banyak biaya. Untuk proyek-proyek pembangunan tersebut, Bouma terpaksa meminjam sejumlah uang dan meminta kepada para imam-imam dan bruder –bruder waktu itu untuk hidup sesederhana mungkin.
Memang cara untuk mendapatkan uang adalah penghasilan dari kebun lada , milik misi di Kampong Jeruk-Pangkalpinang yang sejak diambil alih karya misi dari pater-pater kapusin sudah ada kebun karet. Bouma melihat bahwa harga karet rendahm maka beliau memutuskan memperluas kebun karet menjadi kebun lada, yang diolah secara sangat baik dan profesional mengikuti metode-metode pemeliharaan lada. Tidak heran, sejak awal hasil kebun lada membawa sukses besar bahkan mendapat nama baik tidak hanya di Bangka tetapi terkenal di luar Bangka. Para ahli mengakui bahwa mereka belum pernah melihat lada berkualitas tinggi dan mereka menaruh penghargaan besar bagi managemen Mgr.Bouma.
Beliau sendiri, saat berlibur, tidak segan-segan memakai pakaian kerja dan turun ke kebun membantu bruder Pacomius dan bruder Antonius di perkebunan. Bagi Bouma, kebun lada ini tidak hanya sebagai sumber penghasilan materi yang menyokong berbagai kegiatan karya misi Bangka-Beliton tetapi juga sebagai “kebun anggur”. Di mana beliau mempekerjakan orang-orang katolik yang baik, yang oleh karena kesaksian hidup mereka yang baik, dengan sendirinya mengundang orang untuk percaya kepada Tuhan.***
Mgr.Bouma merupakan seorang pemimpin yang visioner. Beliau memimpin secara sistematis, berpandangan jauh ke depan. Ini kelihatan dari keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan karya misi Bangka Beliton. Beliau menulis pada tahun 1931 : “ keadaan abngsa dan negara ini begitu asing bagiku, sehingga dibutuhkan sejumlah tahun untuk mendapatkan pengertian yang cukup dalam. Dan suatu pengertian yang baik sangat perlu untuk karya misi supaya akan bertahan.”
Sesudah diangkat menjadi Prefek, pertama-tama Bouma mulai mengelilingi prefekturnya dengan maksud melihat situasi misi secara langsung.Berdasarkan data yang dikumpulkannya dalam perjalanan ini Bouma merencanakan suatu rencana kerja terutama untuk suku bangsa Cina.Perhatiannya ditujukan khusus pada suku China. Vitus sadar bahwa karya ini akan menuntut kebijaksanaan dan kesulitanm korban finansial yang besar.
Tahun 1931 Vitus menulis rencana campagne, berdasarkan susunan suku-suku di daerah misi ini. Pada sat itu baru diadakan pendaftaran penduduk. Bouma pernah menulis“Orang –orang Indonesia adalah orang Islam dan untuk mereka untuk sementara tak ada harapan untuk misi.” Orang-orang China merupakan suatu golongan lain , untuk ini beliau menulis : “ Mereka adalah harapan besar untuk misi.”
Personalia misi sedikit jumlahnya maka untuk sementara hanya berkarya di antara orang-orang China yang belum masuk agama. Di daerah Bangka relatif paling banyak orang China dibandingkan dengan seluruh daerah misi di Indonesia waktu itu. Berkenaan dengan suku China, Bouma membedakan antara para migran dan penghuni tetap. Para migran adalah kuli-kuli kontrak, yang bekerja beberapa waktu di Bangka kemudian pulang kembali ke China.
Bouma sadar bahwa dalam periode permulaan karya misi ada kesalahan besar yakni bekerja tanpa sistematis. Tulisannya : “antara tahun 1853 dan tahun 1880 di daerah Bangka, Belitung dan Riau telah tinggal ribuan orang katolik, kebanyakan dari mereka telah kembali ke China yang lainnya hanya tinggal deretan makam-makam di kuburan.Jadi dalam abad ke-19 sudah ada misi yang cukup berhasil di Bangka tetapi akhirnya gagal karena kurang sistematik.
Karena itulah, Bouma pertama-tama memberi perhatian kepada para penghuni tetap, mereka yang mau tinggal di Bangka. Untuk itu para misionaris harus fasih dalam bahasa China yang sulit dipelajari itu. Bouma membebaskan para misionarisnya dari tugas-tugas di sekolah agar ada kesempatan untuk belajar bahasa China. Bahkan Bouma mengutus misionarisnya untuk belajar bahasa di Malaka bahkan ke China.
Sifat sistematis Bouma nampak jelas juga dalam laporan tahunan dan dari pemeriksaan yang dilaksanakan antara misionaris mengenai adat dan upacara suku bangsa China dan kesukaran-kesukaran pastoral.
Sejak awal Bouma sangat memperhatikan pembinaan imam-imam dan religius pribumi. Bouma ingin agar mereka selalu mempunyai hubungan erat dengan kultur dan latarbelakang mereka sendiri. Seminari pertama dari P. Bangka adalah Boen Thiam Kiat, menjadi imam praja tidak menjadi anggota Kongregasi SSCC. Seandainya ia mau menjadi anggota SSCC sangat memungkinkan, karena SSCC melayani prefektur Bangka Belitung. Tgl 25 Aoril 1935 Boen Thiam Kiat ditahbiskan menajdi imam di Pangkalpinang oleh Mgr.Brands, Kapusin. Mgr Bouma mengatakan dalam laporan tahbisan bahwa Pastor Boen adalah imam dari prefektur Bangka sebagai imam praja pertama. Klerus pribumi biasanya masuk ordo atau Kongregasi yang mengurusi misi di kawasan mereka. Tidak demikian dengan prefektur Bangka. Calon-calon imam hanya kenal kata “ klerus sekulir” dari pelajaran-pelajaran hukum Gerejawi. Misi Bangka memiliki imam praja Indonesia pertama, terikat tak terputus dengan negerinya dan prekfekturnya sendiri.
Bouma juga ingin supaya gadis-gadis yang memilih hidup membiara , sebanyak mungkin mempertahankan hubungan dengan kultur dan latarbelakang mereka sendiri. Karena itulah dapat dipahami bahwa Bouma akhirnya mendirikan Kongregasi Keluarga Kudus ( KKS) di prefektur Bangka. Bouma yang sangat memperhatikan karya pendidikan dan perawatan , tiada henti-hentinya memohon untuk mendapat personalia misi , pater, bruder dan terutama suster. Bouma mencoba memohon pada beberapa Kongregasi Suster di Belanda, namun hanya Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi yang sungguh membantu Bouma dengan mengirimkan suster-susternya ke Bangka. Bouma juga mengirim surat kepada Prokurator Umum Kongregasi SSCC di Roma memohon supaya membantu tenaga personalia misi tetapi pimpinannya hanya memberi nasihat kepada Bouma untuk mengikuti teladan Pater SSCC di Hainan yang mendirikan Kongregasi Suster pribumi.Nasihat ini mendorong Bouma untuk merencanakan suatu Kongregasi Suster khusus untuk prefekturnya.
Cita-cita Bouma menjadi sedikit nyata. Pada pertengahan tahun 1936 tiga gadis Thionghoa yang bekerja di biara Suster Penyelenggaraan Ilahi di Belinyu memberitahukan bahwa mereka ingin menjadi suster. Ketiga gadis itu adalah Anna Boen Lan Fa, Agnes tjhin Siam Djioe dan Tjen A Loen. Permohonan dari tiga gadis ini dianggap serius yang membuat Bouma berembug dengan dewannya dan suster PI di Belinyu dan menulis surat kepada Suster di Amsterdam. Namun sebenarnya Bouma sendiri sudah mempunyai cita-cita untuk suatu waktu mendirikan Kongregasi Suster untuk gadis-gadis pribumi. Setelah melalui pertimbangan dan keputusan yang matang, pada bulan Januari mereka mulai dengan pendidikan khusus sebagai persiapan masuk novisiat. Supaya dibedakan dari Suster Penyelenggaraan Ilahi, maka didirikan Pia Unio ( Perhimpunan Saleh) yang ketiga calon resmi diterima tanggal 13 Januari 1937. Tiga gadis ini tinggal tersendiri terpisah dari suster PI.Mereka bertugas di bidang rumah tangga, pemeliharaan anak-anak di panti asuhan, poliklinik dan sakristi. Mereka mengikuti pelajaran katekese dan pengetahuan umum.
Langkah pertama untuk pembentukan Kongregasi suster pribumi sudah diambil. Bouma sendiri yang menyusun sendiri Regula ( Tata hidup )Pia Unio Keluarga Suci.Ayat pertama regula tersebut berbunyi : “ Perhimpunan saleh dari Keluarga Suci didirikan untuk mempersiapkan penghidupan suatu Kongregasi yang berdikari di Bangka. Pastor Boen Thiam Kiat diangkat menjadi bapa rohani. Setahun setelah calon-calon mulai dengan pendidikan persiapan, tanggal 14 Maret 1938, Bouma menulis surat permohonan ke Takhta Suci di Roma “… untuk mulai dengan Kongregasi pribumi yang baru untuk biarawati-biarawati.” Dijelaskan juga secara terperinci sebab permohonan itu disampaikan, nama Kongregasi, pakaian yang akan dikenakan oleh para suster dan karya-karya Kongregasi yakni : pelajaran katekismus, pengajaran di sekolah-sekolah putri, pendidikan anak-anak di panti asuhan dan di asrama putri, perawatan orang sakit, pemeliharaan gereja dan sakristi. Sebagai matapencaharian, Bouma menulis bahwa pada permulaan suster-suster akan dibantu oleh misi tetapi kemudian mereka harus mencoba mendapat penghasilan sendiri. Tanggal 28 April 1938 kardinal Prefek dari Propaganda Fide menandatangani surat izin, yang dengan itu Bouma diberi izin untuk memulai suatu Kongregasi baru untuk biarawati pribumi dengan nama “Suter-suster Kecil dari Keluarga Kudus.”
Bouma sendiri tidak dapat melihat perkembangan Pia Unio sampai ke Kongregasi, sebab ketika pecah Perang Dunia II, Bouma berhasil memindahkan suster-suster Belanda ke Pulau Jawa yang pada saat itu belum diduduki Jepang dan ketiga calon Suster Pribumi diberi izin untuk pulang ke rumah masing-masing. Bouma sendiri ditawan oleh tentara Jepang bersama imam-imam dan bruder. Waktu Bouma memikirkan kemungkinan penyerangan oleh tentara Jepang, ia memutuskan mengangkat Pastor Boen Thiam Kiat sebagai proprefek.Suatu keputusan yang bijaksana dan progresif. Dua dari tiga calon suster pribumi yang telah kembali ke rumahnya setelah perang dunia kedua berakhir, masuk kembali dengan memulai postulat.Pengganti Bouma, Mgr Van Soets yang melanjutkan usaha Bouma ini. ***
Para suster Kongregasi Suster Dina Keluarga Suci dari Pangkalpinang, mengakui dan menerima Mgr . Vitus Bouma, SSCC yang merintis pembentukan Kongregasi ini, sebagai Pendiri Karismatis KKS. Mgr. Nikolaus Petrus Van Der Westen, SSCC diakui dan diterima sebagai pendiri Kanonik, karena pada masa kepemimpinanya, Beliau mengeluarkan Dekrit Pendirian KKS dan mengesahkan konstitusi Pertama KKS , pada tanggal 19 Maret 1960.
Selain perhatian yang besar pada pendirian Kongregasi Pribumi, Bouma sebagai pemimpin yang sistematis, sangat memperhatikan anak-anak dan kelompok kaum muda-mudi Thionghoa melalui pendidikan dan pengajaran di sekolah dan kelompok muda-mudi.Bersama dengan rekan misionaris lainnya, Bouma memutuskan agar mereka harus mulai dengan aksi pengajaran di lokasi-lokasi utama perusahan pertambahan timah, karena di di situlah paling banyak dihuni oleh kaum Thionghoa.
Pada masa kepemimpinan Mgr. Herckenrath, pada tahun 1928, Para Suster Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi dari Belanda telah mulai dengan Sekolah Dasar di Mentok. Bagaimanapun kebutuhan karya misi membutuhkan banyak tenaga misionaris. Bouma dengan sekuat tenaga berusaha berkorespondensi dengan beberapa Kongregasi Suster dan Bruder di Belanda dan mendorong mereka untuk mengirim suster dan brudernya ke Bangka dan Belitung. Namun, permohonannya tidak membuahkan hasil, hanya Kongregasi Bruder Budi Mulia yang bersedia membantu Bouma.
Tahun 1934 bruder-bruder pertama yang ke Bangka mengambil alih pengajaran dari para pater SSCC.Para bruder tidak hanya mengajar, tetapi mulai dengan membuka asrama.Para juga mulai dengan pemeliharaan bagi para jompo di Pangkalpinang dan Sungailiat yang diserahkan oleh pemerintah kepada misi. Para bruder BM juga mulai dengan novisiat bruder dan perusahaan peternakan dengan ternak dari Belanda.
Pelayanan misi berkembang dengan kehadiran bruder dan suster misionaris yang banyak berkarya di sekolah.Sampai akhir tahun 1939 ada 15 bruder misionaris dan 23 suster misionaris. Dalam laporan tahunannya pada tahun 1928, Bouma melaporkan bahwa ada 2 sekolah Belanda-China, 1 Sekolah Dasar Tionghoa, 1 kursus sebagai sekolah lanjutan. Pada laporannnya tahun 1939, Bouma menulis mengenai 6 sekolah, 2 sekolah Inggris – China sebagai Sekolah Dasar dan 1 sekolah kerajinan.
Untuk mendapatkan subsidi untuk sekolah-sekolah, Bouma mempelajari segala tuntutan yang kompleks mengenai persekolahan dan segala tuntutannya. Bouma bercita-cita agar sekolah misi menjadi sekolah modern yang bisa bersaing dengan sekolah-sekolah negeri, namun dipertimbangkan tentu membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Dalam kebijakannya Bouma memberi tempat sentral untuk studi bahasa Cina. Sejak tahun 1928 Bouma memutuskan mengirim para misionaris ke Ipoh – Malaysia untuk studi bahasa China. Dari pengalaman hasil studi bahasa China di Malaysia kurang optimal karena itu Bouma memutuskan agar para misionarisnya belajar bahasa di China. Bahkan secara konsekuen Bouma memasukan studi bahasa dalam programnya. Meski konsekuensi dari program belajar bahasa, di prefektur kekurangan pastor dalam pelayanan. Seorang pastor yang telah menyelesaikan studi bahasa maka baru dianggap mampu mengajar di sekolah. Bouma tidak hanya menuntut para imamnya studi bahasa, Beliau sendiri pada tahun 1926 telah belajar bahasa Katon di Singapura.
Dalam kenyataannya program studi bahasa ini agak mengecewakan Bouma, sebab tidak semua imamnya senang dengan program bahasa. Bahkan sempat terjadi konflik antara Bouma dengan imamnya yang tidak mau studi bahasa sehingga sulit menjadi kendala dalam tugas pelayanan.
Bouma mempunyai cita-cita untuk bermisi di kalangan orang-orang Muslim. Dari permulaan Mgr. Henckenrath sangat pesimistis mengenai misi di antara kaum Muslim. Namun, Bouma mencoba melawan pesimisme ini dengan membangun pengharapan dalam dirinya bahwa suatu waktu dapat melaksanakan karya misi di tengah kaum muslim. Meskipun belum nyata diwujudkan namun Bouma meyakinkan dirinya untuk mendokan orang-orang pribumi Islam dan menantikan saat yang cocok untuk memulai karya misi di antara mereka.
Banyak impian dan cita-cita Bouma, terkubur dalam angan dan harapannya. Tanggal 10 April 1945 karier aktif sebagai pemimpin misi diakhiri. Bersama dengan para Pater dan Bruder, Bouma ditawan di penjara Pangkalpinang oleh tentara Jepang yang berhasil menduduki pulau Bangka pada tanggal 15 Pebruari 1942.
Sewaktu Bouma memikirkan kemungkinan penyerangan oleh tentara Jepang, Beliau memutuskan mengangkat pastor Boen sebagai proprefek. Ini merupakan suatu keputusan yang bijaksana dan progresif. Bouma juga berusaha sebelum tentara Jepang masuk Pangkalpinang, semua suster misionaris dari Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi mengungsi ke Jawa.
Selama tahun pertama penawanan Bouma masih mengajar bahasa latin kepada bruder-bruder dan menerjemahkan doa-doa harian untuk mereka. Beliau sendiri hidup dengan cermat dan teratur yang mencerminkan teladan kesabaran. Ketia kelaparan sangat mengerikan, Mgr.Bouma memulai doa rosario berantai. Mgr Bouma juga tidak melupakan kepentingan Misa dan menasehati agar para misionaris tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan di penjara. Bersama para pater dan bruder tawanan lainnya, mereka semua tahan dalam keberanian dalam penjara, meskipun makin lemah.
Selama dalam tawanan, Mgr Bouma sering dipanggil untuk diinterogasi, namun tidak pernah disaksi. Juga karena tersering penyakit disentri, dibawa untuk dirawat di rumah sakit. Bouma, seorang yang jujur dan tidak mau bersandiwara, ketika merasa sudah lebih baik dirawat di rumah sakit, ia segera dibawa kembali ke penjara. Dari penjara Pangkalpinang, Bouma bersama tawanan lainnya dibawa ke penjara Mentok, yang situasinya tidak lebih baik dari penjara Pangkalpinang. Dalam kebersamaan sebagai tawanan, semua belajar bertahan dalam kekurangan dan penderitaan. Fisik Bouma semakin lemah, diserang penyakit kudis, gatal-gatal, seluruh tubuh penuh borok. Banyak tawanan diserang penyakit malaria dan demam yang mengakibatkan banyak korban, karena obat-obat hampir tidak ada. Mgr Bouma juga terserang malaria dan harus banyak beristirahat, dalam keadaan kelaparan, lemah dan merana.
Pada bulan Maret 1945, para tawanan dipindahkan ke Lubuk Linggau Sumatera Selatan dalam tiga kelompok sesuai kondisi kesehatan. Bouma termasuk kelompok terakhir yang dipindahkan dalam keadaan yang lebih lemah dari yang lain. Namun, Mgr Bouma masih berharap , di Lubuk Linggau, akan ada makanan yang lebih baik sehingga masih banyak tawanan yang dapat diselamatkan. Perpindahan ini, sama ngerinya dengan berada di penjara. Para tawanan diangkut ke dermaga Mentok, berdesak-desakan, diangkut dengan perahu dayung ke kapal laut yang akan berlayar ke Palembang. Dari Palembang dimasukkan ke dalam kereta api yang masih harus menungggu keberangkatan dalam kereta api yang penuh sesak satu hari satu malam. Perjalanan yang penuh penderitaan fisik dan batin, kelaparan dan kehausan dalam kereta api.
Penjara di Lubuk Linggau awalnya sama situasinya dengan di Bangka, namun kemudian situasinya lebih memuaskan karena para tawanan diberi kesempatan untuk menanam sayur sendiri. Bahkan mereka kadang menangkap binatang-binatang kecil.Mungkin karena itu, tiga orang di antara tawanan dapat bertahan sampai akhir.
Bouma bertahan dalam perjalanan dari Mentok ke Lubuk Linggau, namun langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Selain terserang kudis, Mgr. Bouma juga terganggu beri-beri kering, sakit usus yang kronis, diare ringan hampir setiap hari dan terserang demam yang terus-menerus. Mgr.Bouma terus-menerus merana. Selama setengah tahun Mgr.Bouma tidak mempersembahkan misa, namun menerima komuni suci setiap hari .***
Kematian datang tiba-tiba. Pagi hari tanggal 19 April 1945, sewaktu hendak diberi komuni suci, Bouma kurang bereaksi. Pater Hermelink memberi sakramen orang sakit, yang tidak lama kemudian Mgr Bouma kehilangan kesadaran dan pada jam 08.30 pagi, meninggal dunia tanpa penderitaan maut.Jenasahnya dibaringkan dalam peti sederhana. Pada siang harinya Mgr.Mekkelholt, SCJ mengadakan upacara pemakaman dan berkotbah yang sangat indah tentang Mgr.Bouma. Banyak orang hadir dalam upacara ini, walaupun bagi para pater dan bruder misionaris yang ditawan, maut adalah sesuatu yang biasa saja, karena merupakan peristiwa sehari-hari dan yang sudah meninggal dalam tawanan sudah sangat banyak, kadang-kadang sehari enam peti mati berderet-deret. Keesokan harinya diadakan Misa Reguiem Agung untuk Bouma.
Bouma meninggal di luar Prefekturnya, selama tahun-tahun penderitaannya ia tidak mendengar kabar apapun lagi mengenai umat dan karya misi di Bangka Beliton. Mgr.Bouma ditahan pada tanggal 10 April 1942 di Pangkalpinang, meninggal 19 April 1945 di kamp tawanan di Lubuk Linggau Sumatera Selatan dalam usia 52 tahun. Selama 18 tahun Bouma adalah Prefek di Prefektur Bangka Beliton, lebih dari 3 tahun ia ditahan di penjara.Tanggal 15 Agustus 1945 perang di Indonesia berakhir, para tawanan dibebaskan. Tanggal 9 September 1945 empat pater SSCC yang ditahan di Singapura dibebaskan. Dari 13 Pater dan Bruder SSCC yang ditawan, 11 meninggal dunia. Dari 15 Bruder BM yang ditawan,7 bruder meninggal dunia. Dari 22 suster Penyelenggaraan Ilahi yang ditawan di Pulau Jawa, 2 suster meninggal dunia, 7 suster tidak kembali ke Bangka karena kesehatan lemah, tetapi pulang ke Belanda.
Tanggal 10 Juni 1946 Pater Marcellinus van Soets diangkat sebagai Administrator .Beliau berusaha supaya para religius yang meninggal di Lubuk Linggau dipindahkan ke Bangka.Namun dalam tahun-tahun awal pelayanannya, banyak hal penting yang harus diperhatikan .Karena selama perang di Pangkalpinang hanya Pastor Boen dan Br.Angelus Manopo yang diijinkan untuk meneruskan aktivitas gerejawi. Di tempat lain siutuasi umat Katolik lebih buruk lagi. Banyak karya terpaksa dihentikan karena kekurangan tenaga seperti sekolah, asrama dan rumah orang jompo. Pembangunan kembali paroki –paroki membutuhkan banyak waktu dan energi.
Pada tahun 1950, Van Soets baru mendapat ijin untuk memindahkan jenazah Mgr.Bouma dan para religius lain dari Lubuk Linggau ke Bangka.
Bukan mudah untuk mencapai tempat pemakaman di Lubuk Linggau di mana korban perang dimakamkan.Butuh banyak waktu, termasuk untuk memastikan makam-makam mana yang merupakan makam Mgr Bouma dan rekan-rekannya. Dengan bantuan dinas pemakaman, makam-makam yang benar dapat ditentukan. Jenazah dari Mgr.Bouam dan para pater dan bruder digali dan dibawa ke Palembang. Tanggal 11 Januari peti-peti jenazah dibawa dengan pesawat ke Bangka.Mgr.van Soets, para Pater dan bruder dan banyak umat menantikan kedatangan jenazah di bandara. Dari bandara pawai mobil jenazah ke Gereja Santo Yosep Pangkalpinang untuk dipersembahkan misa requiem agung. Sesudah misa, dilangsungkan penguburan kembali jenazah – jenazah di pekuburan Bruder Budi Mulia kompleks bruderan Budi Mulia jalan Sungai Selan Pangkalpinang. *** tamat
N.B : Sumbernya dari buku Mgr.Vitus Bouma, SSCC.