Ketika aku sedang berbicara dengan seseorang yang harus melukis gambar itu, tetapi karena beberapa alasan, belum melukisnya, aku mendengar suara ini dalam jiwaku, Aku menghendaki dia supaya lebih taat! Aku menyadari bahwa usaha/usaha kami, tidak peduli seberapa besarnya, tidak akan berkenan di Hati Allah, kalau semua itu tidak mengungkapkan ketaatan; aku sedang berbicara tentang jiwa seorang biarawati.
Ya Allah, betapa mudahnya mengetahui kehendak-Mu di dalam biara! Kami, para biarawati mengetahui kehendak Allah yang diungkapkan secara jelas di hadapan mata kami dari pagi sampai malam, dan di saat-saat yang tidak serba pasti, kami memiliki superior; melalui mereka, Allah berbicara. [BHF 354 )
Aku menghendaki dia supaya lebih taat! Aku menyadari bahwa usaha-usaha kami, tidak peduli seberapa pun besarnya, tidak akan berkenan di Hati Allah, kalau semua itu tidak mengungkapkan ketaatan, aku sedang berbicara tentang jiwa seorang biarawati.
Tampak jelas kali ini konteks ketaatan yang dikisahkan Faustina adalah penghayatan ketaatan dalam hidup bakti, yang tidak sekedar sebagai keutamaan ketaatan yang dituntut dari setiap orang kristiani..Namun, ketaatan sebagai sebuah nasihat Injil atau kaul ketaatan yang diikrarkan kepada Tuhan dalam kebebasan batin yang penuh.
Menarik bagiku, Faustina mendengar suara dalam batinnya, “Aku menghendaki dia supaya lebih taat.” Jadi, suster ini mungkin sudah cukup taat, dalam arti patuh, tapi kali ini Tuhan menghendaki agar lebih taat. Seperti apakah ketaatan yang dituntut Yesus? Saya mencoba berbagi pemahaman ketaatan sebagai kaul yang diikrarkan dalam konteks yang sederhana. Ketaatan sukarela yang dihayati dalam biara, tidak hanya sampai pada pengertian, mudah taat, manut, nurut, mudah menyesuaikan diri, atau tidak semau-maunya bertindak sendiri, sesuka hati. Ketaatan yang dihayati mesti sampai pada tingkat kesadaran penuh bahwa kita dapat memilih dan menentukan yang.lain, menurut rencana sendiri, namun kita tidak memilih kehendak sendiri.
Kita harus berani menempatkan diri sebagai hamba Tuhan, untuk membuka hati, mendengarkan, merenungkan, dan mengartikan apa yang dikatakan oleh Tuhan, mana yang menjadi kehendak Tuhan di balik situasi konkret atau peristiwa yang dialami. Dapat dimengerti bahwa dalam konteks inilah Faustina berdoa : Ya Allah, betapa mudahnya mengetahui kehendak-Mu di dalam biara. Kami, para biarawati mengetahui kehendak Allah yang diungkapkan secara jelas di hadapan mata kami dari pagi sampai malam, dan di saat-saat yang tidak serba pasti, kami memiliki superior; melalui mereka Allah berbicara.
Memang demikian yang dipahami dan dihayati dalam biara tentang hal ketaatan. Faustina memandang bahwa mengetahui kehendak Allah begitu mudah sementara banyak orang pada umumnya tidak mudah mengenal kehendak Allah bagi dirinya. Faustina mengerti betul, bahwa kehendak Allah secara jelas dinyatakan melalui segala hal yang sudah ada, dari kita hanya dibutuhkan niat luhur, hati tulus untuk patuh, taat pada pedoman hidup, acara hidup harian, mingguan, bulanan, kesepakatan bersama dan kemampuan untuk menerima bahwa dalam diri para superior Allah berbicara, menyatakan kehendak-Nya.
Taat pada semua hal itu, sudah “lulus”.Namun, selalu harus bertumbuh dan berkembang. Ketaatan harus menjadi tanda penyerahan diri, terutama penyerahan kehendak diri sendiri kepada Allah. Ketaatan ini sudah lebih mendalam yakni ketaatan iman. Berani melepaskan semua, berani mengosongkan diri untuk memeluk dan melaksanakan kehendak Allah. Kehendak Allah dijadikan kehendak diri. Kehendak diri ditanggalkan. Sampai tahap ini, ketaatan bukan lagi perkara mudah untuk sekedar taat tapi sampai pada level siap berkorban dengan sukarela dan sukacita. Ketaatan ini harus berbuah yang tampak dalam pelayanan yang efektif dan berkesinambungan. Yang dihayati untuk terus mendorong kita semakin hari semakin menyerahkan diri kepada Tuhan, lebih utuh, lebih total, dan mengikuti Kristus lebih radikal. Yang pada akhirnya membawa kepada keserupaan dengan Yesus yang taat kepada kehendak Bapa, sampai wafat bahkan wafat di kayu salib, demi kemuliaan Allah, keselamatan jiwa-jiwa.
Ketaatan sampai level ini, harus diwujudkan dalam kerelaan melayani kebutuhan sesama dengan penuh cinta kasih dan rasa tanggung jawab rohani atas semua hal yang dikehendaki Allah. Saya kira mungkin dalam konteks inilah, Yesus menghendaki supaya lebih taat.
Ketaatan seperti ini memberi peluang untuk setia pada hal-hal yang paling kecil dan sederhana. Sebab dalam hal apa pun dan di mana pun Allah leluasa menyatakan kehendak Ilahi-Nya bagi setiap anak-anak-Nya. Yang bertekun dan setia, karena terpupuk melalui ketaatan dalam hal-hal kecil, memberi ruang bahkan jalan menuju ketaatan iman.
Saya belajar untuk taat sampai taraf itu, jatuh bangun. Ada saatnya, ada aspek tertentu, waktu tertentu, pengalaman tertentu bisa melaksanakan kehendak Allah. Namun kebanyakan di tengah rutinitas, semua biasa-biasa saja, bahkan saat tantangan berat, tidak mampu mengenal kehendak Allah. Saat seperti itu, penyerahan diri dan kehendak kepada para pembesar sangat diperlukan, sebab inilah jalan menuju keselamatan. Bagiku, ketaatan selalu menyelamatkanku. Setidaknya dari kekeliruan, kesalahan, penyimpangan atau hal lainnya.
Apa pun situasinya, model utama ketaatan adalah Yesus sendiri. Dalam pergumulan hidup, ketika sulit taat karena benturan antara akal budi, kehendak bebas, pengalaman hidup, ingin hindar, aku berdoa seperti Yesus di Getsemani “Bapa, jikalau sekiranya mungkin, … Tetapi apa pun terjadi, aku percaya kehendak-Mulah yang terbaik bagiku. Jadilah padaku menurut kehendak-Mu. Sebab, siapakah aku ini, yang berani melawan-Mu? Aku memilih kehendak-Mu sebab Engkaulah andalanku. *hm
Recent Comments