Injil tidak pernah mencatat sepatah kata pun yang keluar dari mulut Yosef. Namun justru dalam keheningan itulah, hidupnya berbicara dengan sangat lantang. Yosef adalah sosok ayah yang tidak banyak berkata-kata, tetapi cepat bertindak—setia, sigap, dan penuh tanggung jawab. Sejak awal, Yosef sudah mengetahui bahwa Anak yang dipercayakan kepadanya bukan anak biasa. Kabar malaikat menyatakan bahwa Anak itu adalah Putra Allah, Yang Mahatinggi. Menerima Yesus berarti menerima sebuah misteri besar yang melampaui kemampuan manusia. Di hadapan misteri inilah Yosef belajar menjadi seorang ayah: bukan ayah yang menguasai, melainkan ayah yang melayani rencana Allah.

Biasanya kita memandang Yosef sebagai pendidik Yesus—mengajarkan doa, bekerja di bengkel kayu, dan hidup yang benar. Namun kita juga dapat memandangnya dari sisi yang lebih hening dan mendalam: barangkali Yosef pun belajar dari Yesus, bahkan sejak Yesus masih kecil. Ia belajar bukan melalui pengajaran lisan, melainkan melalui kehadiran Sang Anak yang rapuh dan sepenuhnya bergantung.

Dari Yesus kecil, Yosef belajar kesiapsediaan untuk selalu waspada dan melindungi. Dari hari-hari sederhana di Nazaret, ia belajar kesabaran dalam menjalani hidup yang tampak biasa.-biasa saja. Dari kerja tangan sehari-hari, ia belajar arti kerja keras dan tanggung jawab demi memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga mereka. Dari ancaman yang datang silih berganti, ia belajar keberanian untuk mengambil keputusan cepat demi keselamatan mereka yang dikasihinya.

Yosef tidak banyak berbicara, tetapi tindakannya menjadi bahasa cintanya. Ia mengungkapkan kasih melalui pilihan-pilihan konkret yang menjaga kehidupan: mengungsi ke Mesir, kembali dengan penuh kehati-hatian, dan menetap di Nazaret demi keamanan. Ketaatannya tidak pernah riuh, tetapi selalu nyata. Di sinilah tersingkap keindahan cinta seorang ayah. Cinta yang tidak mencari sorotan, tidak menuntut pengakuan, dan rela berada di belakang layar.  Pesona kasih  yang selalu  mengalir tanpa henti dari seorang ayah kepada Anak dan keluarganya. Demi Sang Anak, demi keselamatan, kesejahteraan keluarganya, Yosef belajar hidup mengandalkan Allah dan melepaskan  keinginannya sendiri. Yosef menunjukkan bahwa menjadi ayah sejati bukan soal kuasa, melainkan soal kesetiaan; bukan soal tampak kuat, melainkan soal berani belajar dan menyerahkan diri pada kehendak Allah.

Kiranya melalui teladan Yosef, kita belajar bahwa kasih sejati sering bertumbuh dalam keheningan. Dalam diam dan tindakan setia, Allah bekerja secara senyap, menumbuhkan kehidupan dan menggenapi rencana keselamatan-Nya. Bapa Yosef yang setia, doakan kami.*hm