Bapa Yosef adalah pribadi yang tidak banyak berbicara, namun hidupnya penuh keputusan. Injil tidak mencatat satu kata pun yang keluar dari mulutnya, tetapi tindakannya berbicara sangat lantang: ia segera melakukan kehendak Allah. Taat tanpa ragu dan tidak menunda-nunda.
Dalam bacaan hari ini, kita melihat pola yang berulang dalam hidup Bapa Yosef. Allah berbicara kepadanya melalui mimpi—cara yang sederhana, bahkan rapuh menurut ukuran manusia. Tidak ada jaminan tertulis, tidak ada kepastian logis. Hanya sebuah bisikan ilahi yang hadir di tengah tidur. Namun, setiap kali Yosef bangun, ia tidak menunda. Ia bangun dan melakukan.Ia percaya penuh bahwa yang dikatakan malaikat dalam mimpi adalah petunjuk Ilahi dan kehendak Allah baginya. Ketika malaikat Tuhan memintanya mengungsi ke Mesir, Yosef tidak berdebat. Ia tidak bertanya berapa lama, tidak menunggu hari esok. Pada malam itu juga, ia membawa Maria dan Anak itu pergi. Ketaatannya adalah ketaatan yang bergerak—ketaatan yang melindungi kehidupan. Ketaatan yang berbalut harapan untuk menyelamatkan Putra kecilnya yang sedang dalam ancaman.
Namun Injil juga jujur menampilkan sisi manusiawinya. Setelah Herodes wafat, Yosef berniat kembali ke tanah Israel. Tetapi ketika ia mendengar bahwa Arkhelaus memerintah menggantikan ayahnya, Yosef takut. Ini penting: Injil tidak menyembunyikan rasa takut Yosef. Ia bukan manusia yang kebal terhadap kecemasan. Ia berpikir, mempertimbangkan, dan merasakan ancaman nyata terhadap keselamatan keluarganya. Namun, bagaimana pun pada akhirnya ia tetap mendengarkan suara lembut yang memperingatkannya melalui mimpi.
Di sinilah keindahan iman Yosef tampak semakin dalam. Ia tidak memaksakan rencananya sendiri demi terlihat “taat”. Ia berhenti. Ia mendengarkan lagi. Dan sekali lagi, Allah berbicara melalui mimpi. Yosef tidak merasa malu untuk mengubah arah. Ia tidak keras kepala atas rencana yang sudah disusunnya. Ia memilih ketaatan yang rendah hati—ketaatan yang bersedia dikoreksi.
Maka Yosef membawa keluarganya ke Galilea dan tinggal di Nazaret, sebuah kota kecil yang nyaris tak diperhitungkan. Dari keputusan inilah lahir identitas Yesus: Orang Nazaret. Sebuah identitas yang lahir bukan dari ambisi, melainkan dari ketaatan seorang ayah yang setia menjaga kehidupan. Apa isi hati Bapa Yosef? Mungkin ada lelah. Mungkin ada takut. Mungkin ada banyak pertanyaan yang tak pernah terucap.
Namun yang jelas, hatinya adalah hati yang siap digerakkan Allah. Ia percaya bahwa sekalipun jalan yang ditempuh tidak selalu jelas, Allah setia menuntun langkah demi langkah. Ketaatannya bukan ketaatan buta, melainkan ketaatan yang lahir dari iman yang berharapanan —harapan bahwa Allah yang memanggil, juga Allah yang menjaga. Allah yang setia, yang tak pernah akan meninggalkannya.
Melalui Bapa Yosef, kita belajar bahwa iman tidak meniadakan rasa takut. Iman justru mengajar kita untuk tetap melangkah meski takut, tetap taat meski belum sepenuhnya mengerti. Ketaatan sejati bukan soal tidak gentar, melainkan soal tidak berhenti mempercayakan diri kepada Allah. Tetap mengandalkan Allah dalam segala hal, dalam segala situasi. Kiranya teladan Bapa Yosef meneguhkan kita: untuk cepat bangun dari “tidur” kita,
untuk tidak menunda kehendak Allah, dan untuk berani mengubah arah ketika Tuhan menuntun kita ke jalan yang baru yang membawa harapan dan sukacita yang selalu baru yang berasal dari Allah sendiri. *hm
Recent Comments