Di Bait Allah, Injil menghadirkan sebuah perjumpaan yang hening namun penuh makna. Tidak ada keramaian, tidak ada kata-kata yang mendominasi. Yang hadir adalah pribadi-pribadi yang setia berdiri di hadapan Allah: Hana yang menanti dalam doa, dan Keluarga Kudus yang melangkah dalam ketaatan. Hana adalah seorang nabi perempuan yang telah lama menanti. Hidupnya ditandai oleh kesetiaan yang sunyi dan panjang. Setelah kehilangan suaminya, ia tidak menutup diri dalam kepahitan, melainkan mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Injil mencatat bahwa Hana tidak pernah meninggalkan Bait Allah; siang dan malam ia beribadah dengan doa dan puasa (bdk. Luk 2:37). Penantiannya bukan penantian yang gelisah, melainkan penantian yang dipenuhi iman dan harapan.Kesetiaan Hana tampak sederhana, bahkan tersembunyi. Namun justru di sanalah hatinya dibentuk. Ia tidak mempercepat waktu Tuhan, tidak menuntut tanda, tidak berhenti berharap. Ia setia menanti, membiarkan hidupnya menjadi ruang bagi Allah untuk berkarya.
Pada saat yang sama, Maria dan Yosef hadir di Bait Allah dengan sikap yang tak kalah hening. Mereka membawa Yesus bukan untuk diperlihatkan, melainkan untuk melakukan apa yang diperintahkan hukum Tuhan (bdk. Luk 2:22–24). Keluarga Kudus datang dengan kerendahan hati, tanpa tuntutan, tanpa keinginan untuk menonjol. Mereka siap mendengarkan, siap menerima, dan siap melanjutkan hidup sesuai kehendak Allah. Dalam keheningan itulah Allah berbicara. Hana diberi rahmat untuk mengenali kehadiran Sang Penyelamat. Penantian yang panjang akhirnya berbuah: ia boleh melihat Anak yang selama ini dinantikannya. Namun rahmat itu tidak berhenti sebagai pengalaman pribadi. Injil mencatat bahwa Hana memuji Allah dan mewartakan tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan pembebasan Yerusalem (bdk. Luk 2:38). Kesetiaan menanti kini berubah menjadi pewartaan.
Yang menggetarkan, Keluarga Kudus tidak mengambil alih peristiwa ini. Maria dan Yosef tidak menjelaskan siapa Anak itu, tidak mengarahkan kata-kata Hana, dan tidak menempatkan diri sebagai pusat. Mereka membiarkan Allah berbicara dan bekerja melalui orang lain. Di sinilah tampak iman yang dewasa dan rendah hati: iman yang percaya bahwa Allah sendiri mampu menyatakan karya-Nya, tanpa harus dikendalikan oleh manusia. Maria menyimpan segala perkara dalam hatinya dan merenungkannya. Yosef berdiri setia dalam diam. Keduanya memilih untuk mendengarkan, menerima, dan melanjutkan langkah hidup tanpa menunda, meskipun misteri Allah belum sepenuhnya mereka pahami. Mereka membiarkan pewartaan terjadi, bukan karena mereka pasif, tetapi karena mereka percaya.
Dalam perjumpaan Hana dan Keluarga Kudus di Bait Allah, kita melihat satu kebenaran iman yang mendalam: siapa pun yang setia di hadapan Allah akan dipakai-Nya untuk mewartakan kasih-Nya. Kesetiaan dalam doa, kesetiaan dalam penantian, kesetiaan dalam ketaatan—semuanya menjadi tanah subur tempat Allah menumbuhkan pewartaan dan harapan bagi banyak orang. Renungan ini mengajak kita bercermin. Dalam keluarga, komunitas, dan pelayanan, beranikah kita setia menanti dan memberi ruang bagi Allah untuk bekerja? Beranikah kita tidak selalu mengambil alih, tidak selalu berbicara, tetapi percaya bahwa Allah juga berbicara dan berkarya melalui sesama?
Meneladani Hana dan Keluarga Kudus berarti belajar setia di hadapan Allah, rendah hati dalam iman, dan rela dipakai-Nya. Sebab hidup yang dipersembahkan dengan setia akan selalu menemukan saatnya: menjadi pewarta kehadiran Yang Ilahi dan kasih-Nya bagi dunia.*hm
Recent Comments