Ketika Maria dan Yosef membawa Yesus ke Kenisah, mereka datang sebagai keluarga sederhana yang setia menjalankan hukum Tuhan (bdk. Luk 2:22–24). Tidak ada tuntutan keistimewaan, tidak ada sikap merasa lebih karena Anak yang mereka bawa adalah Putra Allah. Mereka datang sebagaimana keluarga-keluarga lain datang: dalam ketaatan yang tenang dan rendah hati. Namun justru di tengah kesetiaan yang sederhana itu, misteri Allah semakin disingkapkan—bukan sebagai kepastian yang menenangkan, melainkan sebagai sabda yang mengguncang. Melalui Simeon, dinyatakan bahwa Anak ini akan menjadi tanda perbantahan, dan bahwa sebuah pedang akan menembus jiwa Maria (bdk. Luk 2:34–35). Nubuat ini bukan janji jalan yang mudah, melainkan gambaran tentang penderitaan dan salib yang kelak harus dihadapi.
Di hadapan misteri ini, Maria dan Yosef tidak bereaksi dengan keinginan untuk segera mengetahui, memahami atau menguasai rencana Allah. Secara manusiawi, perasaan yang muncul tentu tidak ringan: mungkin sejenak bingung, cemas atau takut. Mereka mendengar bahwa kehidupan Anak yang mereka kasihi tidak akan bebas dari penolakan dan penderitaan. Namun Injil tidak mencatat bahwa Maria dan Yosef protes,membantah atau menolak. Mereka hanya mendengar dengan penuh perhatian, diam, dan menerima. Yang tampak ini justru adalah kerendahan hati di hadapan Misteri Allah.
Maria memilih untuk menyimpan semua perkara itu dalam hatinya dan merenungkannya (bdk. Luk 2:19; 2:35). Ia tidak menutup diri terhadap rasa sakit dari nubuat itu, tetapi juga tidak membiarkan emosinya menguasai imannya. Sikap Maria bukan sikap pasif, melainkan iman yang dewasa: iman yang tahu kapan harus diam, iman yang tidak tergesa-gesa menuntut penjelasan, iman yang memberi ruang bagi Allah untuk menyingkapkan makna peristiwa demi peristiwa dalam waktu-Nya sendiri. Dalam sikap ini, Maria membiarkan Allah tetap menjadi Allah, sementara dirinya tinggal sebagai penerima rahmat-Nya. Maria tahu sejak awal dan di hadapan Allah telah menyatakan diri sebagai hamba Tuhan. Apa yang akan terjadi, biarlah terjadi sesuai dengan kehendak Allah sendiri.
Yosef pun berdiri di hadapan misteri yang sama, dengan cara yang khas baginya: tetap dalam diam. Injil tidak mencatat satu kata pun dari mulutnya, namun kehadirannya nyata (bdk. Luk 2:22.27). Ia mendengar nubuat yang menyentuh masa depan keluarganya dan menyadari bahwa tanggung jawabnya sebagai ayah tidak akan ringan. Secara manusiawi, Yosef mungkin diliputi kekhawatiran: bagaimana melindungi Anak ini, bagaimana menjaga keluarganya di tengah ancaman yang belum terlihat. Namun respons imannya bukanlah kata-kata, melainkan kesediaan untuk menanggung tanggung jawab itu sepenuhnya.
Yang sangat menggetarkan adalah ini: Maria dan Yosef tidak menunda langkah. Mereka tidak menunda langkah dengan menunggu penjelasan tambahan dari Simeon. Mereka tidak menunda langkah dengan menawar kehendak Allah. Mereka menerima dan pulang ke rumahnya dalam kepasrahan kepada Allah. Mereka tidak menunda langkah dengan menangguhkan hidup sampai semuanya terasa aman. Semua akhirnya dijalani tetap dalam kesederhanaan hidup. Mereka pulang dan melanjutkan hidup (bdk. Luk 2:39)—hidup yang sama, sederhana, penuh rutinitas, namun kini dipeluk oleh misteri yang lebih besar. Tidak menunda langkah berarti tetap setia pada hari ini, pada tugas-tugas kecil, pada tanggung jawab yang nyata, meskipun masa depan belum sepenuhnya jelas. Mereka membiarkan misteri Allah menemani langkah, bukan melumpuhkannya. Inilah iman mereka di hadapan misteri Allah yang agung.
Di sinilah kerendahan hati Keluarga Kudus tampak paling dalam. Mereka tidak membeku di hadapan misteri, tidak berhenti karena takut. Mereka berjalan bersama Allah dengan iman yang tidak menunggu kepastian penuh, tetapi cukup percaya untuk melangkah. Inilah kerendahan hati yang aktif: kerendahan hati yang berkata, “Kami belum mengerti sepenuhnya, tetapi kami percaya.” Apa pun yang terjadi, semua adalah kehendak-Mu.” Keluarga Kudus mengajarkan bahwa iman tidak selalu berarti memahami segalanya. Iman sering kali berarti berjalan sambil membawa pertanyaan, memikul ketidakpastian, dan menanggung misteri dalam kesetiaan. Kerendahan hati di hadapan Misteri Allah bukanlah sikap menyerah tanpa daya, melainkan keberanian untuk mempercayakan hidup sepenuhnya kepada Allah yang setia menuntun langkah manusia.
Dalam hidup kita, kita pun sering berdiri di hadapan misteri yang tidak kita pilih: situasi yang tidak kita pahami, masa depan yang tidak pasti, atau panggilan yang terasa berat. Teladan Maria dan Yosef mengajak kita untuk tidak tergesa-gesa menuntut penjelasan, tidak menunda langkah hidup, tetapi belajar menyimpan sabda Allah dalam hati, merenungkannya, dan tetap melangkah dengan setia. Memang, kita butuh rahmat Allah dan keterbukaan hati agar rendah hati di hadapan misteri Allah. Kiranya melalui teladan Keluarga Kudus, kita belajar bahwa sikap terbaik di hadapan Misteri Allah adalah kerendahan hati: hati yang mau mendengarkan, hati yang berani menanggung, dan hati yang tetap percaya bahwa Allah sedang bekerja—bahkan ketika jalan-Nya belum sepenuhnya kita mengerti. Dalam terang gelap iman, Allah tak pernah meninggalkan kita. Tetap percaya. Tetap melangkah maju. Sebab andalan kita adalah Allah yang penuh kasih, rahim dan murah hati.*hm
Recent Comments