Dua pekan terakhir ini , memasuki bulan Desember  di berbagai tempat  telah disemaraKkan dengan berbagai ornamen Natal. Di jalan-jalan, di halaman dan pekarangan, di rumah,di sekolah, bahkan dalam ruangan-ruangan, di dalam gedung-gedung pencakar langit, di mall, di toko-toko kecil, di kota-kota,di desa-desa terpencil, di mana-mana kita menjumpai berbagai hiasan, pohon Natal, kandang natal, musik, lagu, syair, lukisan yang semuanya bernuansa Natal. Ada yang sederhana, ada yang mewah, ada yang biasa-biasa saja, ada pula yang mengundang decak kagum. Bulan Desember seperti identik dengan Natal dan sukacita. Tampak bahwa sukcacita Natal ini, bukan hanya milik orang Kristiani tapi juga seisi dunia. Sebab banyak yang melibatkan diri untuk ikut serta berpartisipasi dalam kegembiraan ini. Beberapa Gereja denominasi umumnya telah banyak merayakan Natal. Gereja Katolik, masih menjalani masa persiapan Natal, baru pekan kedua Adven. Jelang pekan ketiga adven yang penuh sukacita yang dikenal dengan pekan “Gaudete”.

Saya senang melihat dan menikmati kesibukan orang-orang mengungkapkan rasa sukacita dengan mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk merayakan Natal. Saya ingin juga melibatkan diri, namun hati saya belum tergerak untuk ikut serta. Hanya ikut ambil bagian untuk mempersiapkan koor Natal.  Entah mengapa? Tapi satu hal yang tiba-tiba muncul dalam hati yang saya sadari adalah saya memfokuskan diri untuk mempersiapkan diri dari aspek lain yakni aspek spiritual. Saya masih berkutat dengan berbagai permenungan sekitar Natal yang bagi saya tahun ini agak berbeda. Saya lebih menyukai dan mendasarkan diriku pada permenungan tentang Keluarga Kudus, karena bagiku itulah sumber sukacitaku. Yesus ada, dan hadir dalam sebuah keluarga yakni keluarga Maria dan Yosef di Nasaret.

Kesadaran ini muncul  begitu kuat, seiring dengan syering seorang sahabat kecil padaku, namanya Flo  dari kampung nun jauh di ujung timur sana. Seorang yang sedang merindukan sukacita Natal, namun tidak mampu melakukan sesuatu karena suatu keterbatasan. Sahabat kecilku ini mengirimkan kepadaku sebuah lukisan tangannya, melalui pesan WA sebuah kadang Natal sederhana yang kemudian divisualisasikan dengan membuat kandang Natal kecil dari bahan rerumputan, yang ada di sekitar rumahnya. Saya senang menerima gambar ini, namun agak terkejut, karena di dalam gua ini, bukan bayi  Yesus bersama ayah Bunda-Nya sebagaimana gambaran kandang Natal pada umumnya, tetapi sebuah lukisan Yesus  yang besar yang berdiri tegak, sedang memandang ke arahku, mengenakan jubah merah biru dengan sebuah lukisan hati di dada-Nnya, berdiri  tegak dalam kandang itu. Aku berpikir untuk memberi informasi kepadanya kalau kadang Natal, mesti ditempatkan lukisan bayi Yesus dengan Maria dan Yosef. Untuk menginspirasinya, aku mengirimkan sebuah gambar Maria dan Yosef bersama bayi Yesus. Maksudku supaya sahabat kecilku ini mengganti lukisan dalam kadang Natalnya yang sederhana. Ternyata tidak ada respon dan sahabat kecilku ini tidak mengubah lukisan yang ditempatkan dalam kandangnya. Bahkan sepertinya dia tidak tertarik untuk melukis bayi Yesus.  Semula saya maklum, karena keterbatasannya, sehingga kurang memahami maksudku, tetapi kemudian saya menyadari itulah ekspresi dirinya yang polos, lugu dan sederhana tentang Natal. Dia telah melukiskan untukku, sudah sanagt luar biasa di sela-sela waktu berkualitasnya. Karena hari-harinya umumnya dilalui dalam kekelaman, karena penyakit yang dideritanya. Melukis adalah satu-satunya hal yang membuatnya bahagia dan bergembira. Menunjukkan dan mengirimkan lukisannya kepadaku, baginya adalah sebuah sukacita yang menyembuhkan duka laranya.

Dari lukisan dan kandang natal sederhana milik Flo, saya sangat terinspirasi untuk merenung. Mungkinkah Natal tanpa bayi Yesus? Mungkinkah Natal tanpa Keluarga Kudus Yesus, Maria, Yosef? Sahabat kecilku ini, tidak mengubah kadang Natalnya, tidak mengganti lukisannya, yang bagiku merupakan sebuah sapaan halus untukku dari Tuhan. Gambaran Natal yang tercetak dalam benakku berpuluh tahun dengan ornamen natal yang meriah, mewah, nyanyian indah dan merdu seolah runtuh di depan gambaran kandang Natal sederhana milik Flo. Gambar ini seolah berbicara padaku seperti ini. Apakah yang kau pahami tentang Natal selama ini? Seperti apakah engkau menyiapkan diri untuk menyambut-Nya? Bagaimana engkau memaknai Natal tahun 2023 ini? Seperti apakah Yesus yang kau kenal dan kau imani?  Apakah hatimu sudah siap menerima-Nya? Masih banyak pertanyaan lain yang berseliweran di dalam benakku, yang akhirnya bermuara pada satu pertanyaan yang aku pakai sebagai judul syering ini, ” Mungkinkah Natal tanpa Yesus? ”

Terhadap suara dalam batinku itu, segera  kujawab :  ” Tidak mungkin”, sebab Natal  selalu berkaitan dengan Yesus, kelahiran Yesus Kristus Tuhan dan juru selamatku. Natal selalu tentang Yesus, Maria dan Yosef, semua orang tahu, seisi dunia mengetahuinya. Pertanyaan itu terus mencercaku, “Mungkinkah Anda merayakan natal tanpa Yesus?” Saya  mencoba menjawab dengan berbagai alasan. Dan sempat aku tertawa,dan mengolok suara itu dalam hatiku. “Hanya orang goblok atau orang gila, yang tidak tahu kalau Natal itu selalu tentang Yesus”. Pertanyaan itu seperti terus mengejarku, karena gema suaranya tak berhenti dalam hatiku. Aku lelah dan memilih untuk tidak mau mendengar lagi suara itu. Memilih untuk diam, karena tidak ada gunanya memberi jawaban, lagi pula aku sudah tidak punya jawaban lagi. Aku membela diri, juga bukan untuk ujian negara sehingga perlu aku pelajari. Stop, aku menutup kupingku untuk mendengar suara itu yang selalu bertanya “mungkinkah natal tanpa Yesus?”

Dalam diam, aku memilih untuk istirahat sejenak, merebahkan diri dan tidur. Namun tak kunjung mata terpenjam. Aku putuskan beristirahat saja di kapel, mungkin lebih berguna setidaknya lebih tenang. Benar adanya, baru duduk sejenak dan memandang salib besar di hadapanku, tanpa kusadari turunlah butir-butir air mata yang tidak kuundang, dan tidak ada alasan apapun. Dan aku tahu, di hadapanku, terpapar sebuah realitas Natal tanpa Yesus. Aku menonton dengan cermat. Mataku terpejam, tapi aku melihat dengan jelas. Hatiku tidak terkejut, tapi aku menikmati semua paparan seolah film yang sedang kutonton… ini bukan suara tapi sebuah pertunjukan realitas dalam benak. Dan aku mengamini inilah jawaban lain dari Tuhanku, sebagai tangkisan atas jawabanku yang sok suci itu. Kucermati satu persatu, dan semakin deras air mataku mengalir.

Benar, Tuhan, dari  yang dinyatakan ini, aku melihat, betapa banyak realita yang menunjukkan bahwa aku dan banyak orang merayakan natal tanpa Yesus. Aku merayakan natal dengan sukaria dengan nyayian natal yang meriah, dengan hidangan lezat dan kue yang melimpah, dengan ornamen Natal yang memanjakan mata untuk memandang, dengan bunyi-bunyian dan musik yang merdu. Aku dan banyak orang terpuruk dalam bujukan rasa emosional yang hanya berhenti pada sekadar yang luar itu. Ungkapan lahiriah yang belum tentu menandakan isi hati yang sungguh sudah siap untuk menyambut dan menerima Yesus Juruselamatku.Benar, Tuhan.  Aku lebih terpesona dengan semua yang kelihatan indah dan meriah, enak dan mewah. Hatiku kadang tersangkut dengan ornamen sekedar hiasan yang tidak bernyawa dan aku kehilangan kesempatan untuk menantikan-Mu. Benar, Tuhan. Aku terlena dengan bunyi musik dan nyanyian indah dan membuat aku bangga dan bahagia,  tapi itu hanya menyenangkan rasa hatiku yang kosong dan hampa. Engkau ada, dan sedang lewat, dekat-dekat, sangat dekat di hatiku, tapi mataku buta. Mataku sudah dibutakan dengan aneka hal yang kulihat indah. Engkau datang dalam sinar cemerlang, Sang terang yang menyinari dunia, tapi tak terjangkau  sampai di hatiku yang gelap, sebab tertutup oleh segala hal itu.  Telingaku tuli, tersumbat oleh bunyi-bunyian musik sehingga suara-Mu yang lembut tak kudengar. Ketokan-Mu yang keras di pintu hatiku pun, aku tidak mendengarnya.

Kali ini, aku tidak menjawab apa pun, tetapi kubiarkan hatiku disapu bersih oleh air mata itu, dan terang kasih-Nya menyinari hatiku yang gelap. Enggan aku menghapus air mataku, kubiarkan dia berhenti dengan sendirinya. Dan benar, yang kurasakan adalah ketenangan dan kedamaian. Satu suara  lirih nyaris tak terdengar dari lubuk hatiku terdalam. “Nak, belum terlambat, masih sedikit waktu lagi, bangunlah dan bergegaslah, bereskan hatimu. Aku mash di sini menunggumu.” Hatiku lega karena semua telah menjadi jelas. Kupatrikan kisah ini dalam  lubuk hatiku dan kugoreskan dalam tulisan ini, sebagai bentuk rasa kasihku, untuk mengingatkan hatiku sendiri, bahwa Tuhanku sungguh ada, dan hadir. Bahwa Yesus Tuhanku bersama Bundaku Maria dan Santo Yosef sedang berjalan lewat. Entah masih jauh di sana atau sudah berlalu. Tapi aku tahu, Dia selalu ada untuk menantiku. Aku yang mesti berbegas  menyambut-Nya dengan hangat, mempersilahkan masuk ke rumahku, berdiam dalam hatiku dan menetap dalam jiwaku.

Kuhaturkan doa sederhana ini. Tuhan Yesus, jangan tinggalkan aku, ketika Engkau lewat di depan rumah hatiku. Aku menantikan-Mu, datanglah dan mampirlah, singgahlah dan masuklah, tinggalah dan beristirahatlah. Terima kasih Yesus, sudah mengingatkan aku untuk menyambut kehadira-Mu dengan cara baru, yang menyenangkan hati-Mu. Terima kasih Yesus, telah berbicara di hatiku melalui lukisan putri kecilku yang rapuh , Flo, dan kadang natal untuk-MU yang sederhana buatan tangannya yang lemah. Terima kasih, Yesus, sebelum aku memberikan hadiah natal untuk-Mu, Engkau telah lebih dulu memberikan hadiah Natal yang indah istimewa. Hadiah istimewa dari-Mu melalui Flo sahabat kecilku.   Semoga Flo dan aku, dan semua pembaca syering ini, mendapatkan hadiah natal istimewa dari-Mu.Terima kasih, Yesus.

Doaku untukmu yang membaca syering ini, tak perlu lagi berkutat dengan pertanyaan seperti aku yang bodoh ini. Mungkinkah Natal tanpa Yesus? Sangat mungkin, jika Anda terlalu sibuk sampai tidak tahu kapan Dia berlalu, dan tidak mengenal siapa Dia, dan kapan Dia lewat di depan rumah hatimu. Semua ornamen Natal boleh-boleh saja , dengan semarak yang indah dan meriah, biarkan dunia bersukacita dan warta Gembira keselamatan dari Allah bergaung di seluruh dunia.  Biarkan seisi dunia memuliakan keagungan dan kemuliaan Allah. Tetapi, jangan sampai Dia terlewatkan dari hatimu. Seperti kepadaku, Dia katakan, belum terlambat, demikian juga aku mau katakan, belum terlambat, Saudara.  Mari kita nantikan Tuhan Yesus dengan sukacita dan hati yang bersih, tulus, murni dan tangan yang terbuka menerima-Nya dengan sukacita. Yang menanti-nantikan Tuhan akan mendapat kekuatan baru.*Hmartine