Aku  sedang merenung tentang kepemimpinan rohani sebagai sebuah karunia. Sebuah tema rekoleksi yang indah, yang selalu saja isinya membuat badan panas dingin ketika membaca kalimat demi kalimat. Bagaimana pun berupaya berpikir rasional, namun kalimat-kalimat itu selalu saja menyentuh hati, mengusap nubari. Maklum, bukan maksud tema ini untuk melihat para pemimpin atau mengevaluasi atau menghakimi mereka. Bukan! Tema ini tidak bicara tentang kepemimpinan struktural di berbagai organisasi tetapi lebih kepada  melihat diri sendiri bagaimana aku memimpin hidupku menuju kea rah yang semakin rohani  dalam hidup sehari-hari.

Merenung tentang memimpin hidupku dalam arah yang tepat, jalur yang benar dan terarah sesuai visi misi, aku mengingat, betapa banyaknya impian dan angan-anganku. Namun aku sadari, pilihan hidupku saat ini, bukan lagi berjalan seturut angan-anganku di masa lalu. Sebab sudah hampir usia perak pengabdianku, aku sudah menyatakan dengan sungguh-sungguh di waktu lalu dalam ikrar suci di hadapan Allah, pemimpin dan komunitas dan umat Allah. Aku selalu ingat janjiku : “ Saya Suster, dengan sukarela memilih hidup bakti karena saya mau mengabdikan diri kepada Allah dan sesama, serta ingin mempersembahkan diri secara mendalam kepada Allah, serta ingin mengikuti Kristus dengan seluruh hidupku,…”

Saya berjanji mengikuti Kristus dengan seluruh hidupku. Kristus yang  hidup-Nya hanya kasih, kasih dan sekali lagi kasih. Mengasihi tiada batas dan  tiada syarat, tiada akhir dan usai. Kasih Kristus yang selalu baru dan abadi yang kujanjikan untuk kutiru, kuteladani dan  bersama rahmat-Nya aku mau mengabdi-Nya. Tidak begitu mudah untuk dijalani, meski  untuk menulis refleksi seperti ini, merenung, atau berbicara, berkotbah atau menuliskan syair indah untuk diapload di media sosial sebagai pengungkap kisah dan penarik minat serasa enteng saja.

Betapa kualami, mencintai yang benar dan tepat, untuk setiap orang, setiap pribadi tidaklah mudah.  Mencintai dengan cara sebagaimana Allah mencintai saya sampai saat ini. Untuk hal-hal tertentu, oraNg ini , mungkin terasa biasa. Untuk hal lain dan seseorang yang lain, rasanya lebih mudah  berpuasa sehari semalam menahan lapar daripada mencintai ketika hati tidak mampu berkompromi dan pikiran  berjalan tidak seiring.

Tidak mudah mencintai saat kaki tidak seiring dalam melangkah dan ketika senyuman diacuhkan. Tidak gampang mencintai , manakala kebaikan disalahtafsir dan kebenaran dimanipulasi. Tidaklah disebut cinta sejati, ketika memilih dan memilah sesuai kesukaan atau selera, yang ketika tidak menarik tidak dipedulikan lagi. Sungguh, cinta itu teruji kala semua yang tidak enak itu mesti dihadapi mesti hati tidak sudi.Untuk melewatinya, perlu  suatu lompatan iman yang besar dan harapan yang teguh.  Sebab bukan soal, cintanya diterima atau tidak, upaya kasihnya dihargai atau ditolak, bukan rasa kecewa atau sedih, tetapi terutama untuk apa aku mencintai dan bagi siapa aku mau berkorban dan mencintai? Bukan dengan cara manusiawiku, namun dengan cara Allah, apakah aku mampu?

Hati perih, jiwa pedih kala merenung tentang cinta dengan pertanyaan retoris “Apakah aku gagal mencintai? Untuk menjawabnya, lidah jiwaku kelu, bibirku menahan diri untuk tetap terkatup, agar tidaklah semakin tampak sikapku yang pengecut. Sebab aku tahu dengan pasti di hadapan-Nya. Jawabanku cukup desahan dalam nurani yang tak akan didengar makluk lain. Biarlah gumam batinku menggema dalam senyap hanya untuk penciptaku yang mencintaiku tanpa syarat apa pun dan sebagaimana adaku. Memang, aku gagal mencintai. Sungguh telah selalu gagal mencintai. Dulu aku gagal mencintai, kemarin aku gagal mencintai, tadi juga aku gagal mencintai, sekarang pun aku gagal mencintai,  mungkin besok aku masih gagal mencintai.

Aku akui gagal mencintai, ketika kuperhadapkan diriku dengan Sang CInta yang tak pernah gagal mencintai. Dialah Yesus Kristus, Tuhan dan Allahku yang telah mengorbankan segenap jiwa raga-Nya untuk menyelamatkan aku. Malu aku duduk termangu di hadapan-Nya dengan hati penuh haru.  Hatiku dihujam dengan rasa sesal sejenak, kala mataku membaca barisan kalimat indah yang membuat mataku tak beranjak, dan hatiku bergetar. “Seorang pemimpin kristiani, memberi rasa nyaman, merawat luka-luka mereka dengan penuh kasih. Seorang pemimpin kristiani mesti mendisiplinkan mereka yang melakukan tindakan pelanggaran, tidak dengan kekerasan tetapi dengan lemah lembut. Tindakan pendisiplinan tidak pernah menjadi pengalaman menyenangkan bagi kedua belah pihak, namun pemimpin kristiani yang gagal dalam hal ini sama dengan gagal dalam mencintai.”

Ya Tuhan, desah napasku rasanya tersekat di tenggorokan. Inilah yang paling kutakuti, lebih dari pekerjaan berat mana pun. Dalam hal pendisiplinan sesama, kata sopannya adalah  mengingatkan atau kata kasarnya menegur, kusadari diriku begitu pengecut. Seperti belum berperang sudah mundur teratur, karena aku dikuasai ketidakberanian. Sementara aku tahu, bahwa takut adalah bukti kurang cinta kasih.

Kadang aku menjadi pandir di hadapan pengalaman yang menuntutku untuk melakukan hal terbaik untuk kebaikan bersama dan keselamatan jiwa. Hatiku bergetar, aku belum mampu untuk melakukan tindakan pendisiplinan kepada orang lain seperti Yohanes Pembaptis atau para nabi yang berani mati yang dikisahkan dalam Alkitab.

Kurenung mengapa aku bisa sedemikian lemah.  Sayup-sayup kudengar jawaban yang  memalukan diriku. Karena aku sendiri tidak disiplin, sehingga tidak mempunya nyali untuk mendisiplinkan orang lain. Kulihat cermin diriku dalam diri mereka. Aku sendiri tidak rela ditegur, tidak suka dinasihati, tidak mau diajar, karena merasa bisa sendiri. Semua jadi terang benderang di mata hatiku. Mana mungkin, apa yang tidak kuingini kulakukan pada orang lain? Ini bukan sebuah kebajikan atau prestasi namun sebuah jurang kekurangan yang lebar, yang membentang panjang sepanjang usia yang sudah terlampaui.

Ya TUhan, sudah berjalan sekian jauh, sudah berapa banyak jiwa yang kubiarkan menjadi makin salah, makin bodoh, makin tersesat, makin berdosa atau  masuk dalam pencobaan? Dan karena itu, menambah deretan  jiwa-jiwa yang menjauh dari Allah, dan menorehkan luka hati Allah Sang Pencipta dan Pencinta? Sudah berapa banyak waktu terbuang percuma hanya karena aku terlalu banyak pertimbangan karena ketidakberanian diriku untuk memberi ruang kasih kepada sesama dengan menegur secara lemah lembut. Sudah berapa banyak rahmat berlalu sia-sia? Tidak berani mengatakan yang benar, tidak berani mengingatkan, tidak berani menegur sama dengan gagal mencintai, meski pun begitu banyak hal lain yang hebat yang dapat kulakukan.

Aku hanya berani berjalan dalam hal-hal yang baik dan nyaman, yang tenang dan aman. Untuk saat-saat sulit dan yang bagiku adalah orang-orang sulit, tidak sudi hatiku berkompromi untuk sedikit mengasihi. Di sisi lain, kulihat diriku, kadang-kadang aku terlampau dekat dan sayang, aku takut mereka terluka, takut mereka tersinggung dan patah arang, putus asa , menjadi mandeg, lukan batin dan menyimpan kepahitan atua dendam padaku?. Tak tahan hatiku melihat air mata mereka, aku lebih sayang air mata dari pada jiwa mereka. Sungguh tragis.  Aku keliru dengan ukuran cinta manusiawi dan cipta sejati yang benar. Padahal jelas dalam Kitab Suci tertulis . :”Tuhan menghajar orang yang dicintai-Nya, sama seperti seorang ayah menghajar anak yang disayangi-Nya” ( Amsal 3 :12).

Aku ingat semasa masih kecil, tak segan-segan dibentak ayah gara-gara menerima uang kembalian dari kernet yang salah hitung dan menguntungkan diriku. Ayah marah besar dan disuruh saat itu juga menunggu mobil lewat untuk dikembalikan, sebelum masuk rumah. Hajaran yang bermakna yang membuatku tidak suka dibohongi dan belajar jujur. Aku ingat tidak segan-segan guru di sekolah, menghukum anak-anak yang menyontek di kelas, dengan tamparan keras atau kena rotan. Aku ingat, saat tinggal di asrama, ketika ribut-ribut waktu jam istirahat malam, tidak segan-segan bapa asrama mematikan lampu serumah gelap gulita sampai pagi untuk mendisiplinkan kami. Aku ingat di novisiat, diharuskan mencari remah-remah pecahan perabot berharga yang telah rusak dan dibuang sesama padahal aku tidak turut melakukannya, untuk mendisiplinkan kami supaya jujur dan tahu prosedur kala merusak barang tanpa sengaja dan harus melapor ke mana. Terlalu banyak tindakan disiplin yang diajarkan, dilatih untuk diriku di masa lampau yang bermakna di masa kini.

Di hadapan Tuhanku, semua kisah masa lalu tentang tindakan disiplin itu muncul. Dan kini aku ingat tentang proses pendisipinan ini, selalu ada kata yang membuatku terjaga saat membuat keputusan yakni tentang tindakan indisipliner yang begitu banyak uraiannya. Semua tindakan itu, bermula dari  tidak tahu,  kesalahn yang dibiarkan saja, jika berulang-ulang dimaafkan, biasa saja dan lama-lama menjadi sebuah habitat jika tidka ada pertobatan. Orang lupa kalau itu merupakan pelanggaran yang merugikan diri sendiri bahkan mengancam nyawa dan jiwanya? Juga tidka sempat ingat, bahwa bisa merugikan orang lain, mengancam keselamatan umum dan lebih jauh menghancurkan. Sungguh, perasaanku tersekat  dalam dadaku yang bergemuruh. Benar adanya, gedung  pencakar langit,bisa runtuh jika rayap kecil pelan-pelan menghancurkan fondasi dan dinding tanpa diketahui.

Aku ingat, pesan indah dalam pertemuan perdana  dari seorang petinggi Gereja dalam sebuah pertemuan tahun 2016.  Katanya waktu itu : Segala problem dapat diminimalisir, jika semua pihak yang berkecimpung di dalamnya taat prosedur dan mekanisme rutin yang telah ditetapkan. Taat pada mekaisme rutin ini berlaku untuk semua jenjang dari pucuk sampai akar, dari tingkat atas sampai bawah, selalu diingat, dievaluasi untuk selalu kembali kepada  panduan, pedoman dan arah.

Ya Tuhan, semua jelas berseliweran di pelupuk mataku. Dan sudah lama sekali, aku terbuai dalam lingkup hidup dan cara pikir atau angan-angaku sendiri, yang kadang membatin, yang penting aku baik-baik saja dan puas dengna yang sudah kulakukan sesuai tugasku yang kadang belum tentu benar di hadapan-Mu. Lalu , untuk apa dan siapa kulakukan semua itu?  Sudah lama juga kurang memandang ke dalam diri dan merefleksi, siapa aku ini di hadapan orang lain apalagi di hadapabTuhanku?  Sejenak  ada muncul godaan pembelaan diri hasil buatan setan kecil dalam angan, pandemi membuat segalanya runyam,  Kuhalau angan yang mencoba mengkambinghitamkan situasi sekitar.

Perlahan-lahan dalam ketenagan malam, di tengah rintik hujan,  hadapan-Nya kuakui semuanya. Ya Tuhanku dan Allahku, aku tahu alasan-alasan konyol yang tersembunyi dalam batinku. Kutahu betapa aku takut menanggung resiko disakiti, reaksi tidak senang atau dijauhi, padahal aku tahu dalam kesadaran budiku aku dapat lakukan semua itu. Aku sadar ada hal-hal yang perlu kutanggung sendiri, dan tidak perlu diketahu orang lain.Ada saat ketika kubiarkan diriku dihakimi sesuka hati karena ketidaktahuan mereka. Ada saat ketika kubiarkan diriku jadi buah bibir asam pahit demi kebaikan bersama yang lebih mendalam. Ada waktu ketika memang  kelemahan-kelemahanku berperan tanpa aku sadari dan terlihat jelas di pelupuk mata orang lain. Ada saat kututup kupingku rapat-rapat, dari suara-suara. Untuk semua hal itu, aku percaya satu hal saja, semuanya tak tersembunyi di bagi-Mu. Apa yang tidak dapat kulihat, Engkau tahu semuanya, Apa yang tidak dapat kulakukan ENgkau tahu semuanya.Bagaimana keadaan batinku, kegagalanku, juga Engkau tahu. Yang aku tahu hanya satu, betapa ajaibnya kasih-Mu.Dalam kegagalanku untuk mencintai-Mu, masih pula Kau beri aku kesempatan untuk hidup dan melayani Engkau. Jiwaku tahu, memang hakekatku adalah debu, tak mampu dan gagal melulu. Kalau sampai aku mampu, itu bukan aku, tapi melulu karena Engkau, terpujilah nama-Mu.

Semakin kupejamkan mata untuk menghindari tatapan-Nya, semakin jelas terlihat semua kisah dan peristiwa. Saat kubiarkan jiwa-jiwa malang yang berada tidak jauh dari dekapan tanganku, terpeleset dan jatuh, karena  tanganku tetap diam, enggan terulur, dan mataku tertutup tidak melihat jurang di depan mereka, dan telingaku tuli mendengar teriakan mereka minta tolong yang tak terdengar.  Barisan kalimat itu seperti meloncat-loncat di hadapan mataku : “tidak berani menegur, menasihati sama dengan gagal mencintai.”  Ya TUhan, aku telah selalu gagal mencintai, ampuni aku Ya Tuhan.

Dalam diam, hati kecilku makin kecut saat kuingat perkataan Yesus, kepada Sr.Faustina kala  ragu-ragu melakukan apa yang dikehendaki Yesus kira-kira seperti ini,  Bukan jiwamu saja yang kutuntut pertanggungjawaban, tetapi kamu harus mempertanggungjawabkan keselamatan semua jiwa yang kupercayakan kepadamu. Semakin dipercayakan, semakin dituntut pertanggungjawaban atas mereka yang dipercayakan, bukan sekedar untuk sukses tetapi kesejahteraan lahir batin , bahkan keselamatan jiwa mereka.

Apa yang dapat kulakukan, setelah kusadari semua kegagalanku dalam mencintai orang-orang yang Kaucintai? Meminjam misi Yesus untuk St. Faustina, lakukan tiga cara karya Kerahiman Ilahi : pertama dengan perbuatan belas kasih, kedua dengan perkataan belas kasih, ketiga dengan doa-doa yang penuh belas kepada semua jiwa. Lakukan segala sesuatu, apa saya yang dapat dilakukan dalam batas-batas ketaatan. Hatiku jadi tenang dan teduh sekali, merasa ada jawaban dalam relung jiwaku, aku harus berjuang, berjuang memerangi diriku sendiri yang terlalu lemah. Berjuang bersama rahmat Allah, dengna daya-daya Roh Kudus, sebab aku sendiri sesungguhnya hanya hampa belaka.

Pikiranku merambah masuk dalam relung hatiku. Hitung menghitung ala dunia merasuk pikiranku. Jika aku tidak rela mencintai, siapa yang mau mencintai aku? Bukankah cinta kasih itu, timbal balik? Jika aku tidak rela mengulurkan tangan kepada yang lemah, siapa sudi mengulurkan tangan ketika aku lemah? Jika aku tidak berani, siapa yang akan berani mengatakan yang tidak benar tentang aku? Ya Tuhan, semakin jauh aku melangkah, semakin terkejar bayangan rasa bersalah. Tidak ada sesuatu yang lain, yang menenangkan jiwaku, selain kisah-kisah pemimpin dan raja-raja dalam Kitab Suci yang menginspirasi hidupku, Ketika dalam bahaya, dan terancam jiwa raga, terutama keselamatan bangsa pilihan Allah, mereka bertekuk lutut, merendahkan diri, duduk di atas abu dan mengenakan kain karung, menyesali diri di hadapan Tuhan. Tuhan melihat mereka merendahkan diri, lalu menarik kembali rancangan kebinasaan, mengantinya dengan menaruh belas kasihan.

Semoga, pengakuan jiwaku akan diriku yang gagal mencintai sesama, mencintai Tuhan yang kelihatan, memperoleh belas kasih di hadapan Tuhan. Pujian dan syukur bagi Tuhan yang selalu berbelaskasih dan murah hati.*hm