Aku termangu di sebuah ruangan tamu yang sempit di sebuah biara pria. Tidak lama aku nongkrong di situ, cuma numpang duduk sebentar menunggu giliran masuk ruangan “pembersihan hati”. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan. Sangat sederhana, tidak banyak perabotan, sedikit bunga dalam pot-pot yang berjejer di sepanjang koridor. Ada rak koran yang penuh dengan aneka koran lokal dan koran nasional. Taplak meja di depanku, terkesan lusuh, sudah agak lama tidak dicuci.Maklum, yang tinggal di rumah itu semua para pria yang sangat sibuk dengan tugas pelayanan. Ada seorang karyawan pria yang merangkap tugas mengurus kebersihan rumah, mencuci, memasak di biara itu. Bisa dibayangkan bagaimana dia berbagi waktu untuk mengerjakan tugas kerumahtanggaan itu setiap hari.
Entah bagaimana tiba-tiba aku merasa keadaan ruang tamu ini, mirip dengan ruang hatiku. Kurang terawat, agak jarang dibersihkan. Dan pagi itu aku bisa berada di ruangan itu justru hendak membersihkan kotoran dan daki dosa dalam diriku. Perlahan pintu ruangan di sebelahnya terkuak, dengan senyum temanku memberi isyarat padaku untuk masuk. Aku melangkah masuk dalam ruangan kecil itu, sebuah ruangan doa yang tidak terlalu luas, tapi Tuhan ada di situ dalam Sakramen mahaKudus. Belum lagi aku sempat duduk, pastor sepuh menyapaku: ”Selamat pagi, Suster. Selamat datang di rumah Tuhan. Tuhan sudah menantimu. Silahkan duduk, ”katanya ramah sambil mengulurkan tangan menyalamiku dan mempersilahkan aku duduk di hadapannya. Aku sedikit terkejut, tidak mengira bertemu dengan pastor asing misionaris, yang tidak pernah kukenal. Maksud semula, bukan dia, karena cuma ikut teman, seperti itu jadinya. Sudahlah, tapi rupanya dia sangat ramah bahkan belum pernah aku temukan dalam proses pembersihan hati ini, bertemu orang seramah ini. Keramahan, senyum dan sapaannya mencairkan rasa engganku.
“ Silahkan berdoa dulu sejenak, dan katakan dengan jujur apa saja di hadapan Tuhan yang maha rahim dan penuh kasih” lanjutnya. Dia memperlakukan aku sangat baik seperti aku belum pernah mengaku dosa saja, pikirku dalam hati. Kupejamkan mataku, berdoa singkat seadanya dan mulai mengungkapkan seluruh uneg-uneg, perasaan dan semua yang kuanggap sebagai sampah yang tidak berguna, tidak penting, tidak benar yang telah melukai hati Tuhanku. Dia menunduk, mendengar sangat serius, sambil bergumam tanda setuju dan mengangguk-angguk. Sikapnya itu membuatku semakin bersemangat mengungkapkan semuanya, termasuk yang sering kusembunyikan dan jarang kuakukan.
“Baik sekali dan proficiat. Luas biasa indah kasih Tuhan untukmu, anakku. Pagi ini, ketika Anda bercermin dengan wajah Tuhan, maka Anda bisa selancar, setulus, sejujur dan sebanyak itu berkisah pada Tuhan. Kalau bukan bercermin dengan wajah Tuhan, Anda tidak mungkin mengenali diri Anda yang sedalam ini”katanya seusai aku mengutarakan dosaku. Mendengar kalimat indah itu, aku yang tadinya tertunduk, tergerak untuk mengangkat kepala dan memandangnya. Aku sangat terpesona, seketika aku merasa seperti sedang memandang Tuhanku yang sedang bercakap-cakap denganku. Kebetulan sekali dia misionaris dari Eropa, sudah sangat lama di Indonesia. Dia berbicara terus tentang Tuhan untukku.
“Tuhan itu sangat baik dan sangat dekat. Maha pengampun dan maha rahim sekaligus maha kuasa dan maha segalanya. Anda tahu itu seperti semua orang lain tahu. Tetapi, anakku, hanya orang yang mau bercermin dengan wajah Tuhan sendiri, baru menyadari, mengerti dan memahami bahwa dalam banyak hal dia tidak pantas untuk bermegah di hadapan Tuhan dan sesamanya. Bagaimana Anda menjadi lebih dekat dengan Tuhan, tergantung dari cermin mana yang Anda pakai untuk melihat dirimu dan seberapa sering Anda bercermin. Dengan cermin diri sendiri atau cermin wajah Tuhan? Semakin sering Anda bercermin dengan cermin wajah Tuhan, Anda akan semakin mengenal wajahmu di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama. Semakin Anda mengenal dirimu sendiri yang sejati, semakin Anda akan mengenal Dia dan sesama. Semakin Anda mengenal Dia, semakin besar cintamu pada Tuhan dan kedekatan Anda dengan dia tidak akan terpisahkan sekadar oleh hal-hal yang sudah Anda utarakan.” Aku termangu-mangu mendengar kalimat-kalimat indah itu seperti orang bodoh yang terpesona di depan orang yang dianggap hebat. Memang, seumur hidupku, belum pernah aku mengalami pengalaman diterima seperti ini dalam proses rekonsiliasi.
“Bagaimana selama ini Anda bergaul dengan Tuhan?” Aku cuma memandangnya dengan tersipu-sipu. Sekali lagi, dia melancarkan kalimat indah yang melukiskan bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan setiap detik, bagaimana bersyukur, bagaimana memohon, bagaimana berdoa di tengah kesibukan tugas dan pekerjaan. Aku mendengarnya penuh perhatian dan dia berkisah seperti sedang berkatekese denganku. Saking lama dan cukup panjang, aku jadi resah, karena jadwal pertemuan sudah dimulai, aku dan temanku tadi curi waktu untuk rekonsiliasi ini. Tampaknya dia paham, aku agak resah, dia mengakhiri proses itu.
Aku keluar dari ruangan itu dengan wajah berseri, bersemangat dan merasa sangat terkesan. Seperti benar-benar baru berjumpa Tuhan. Bukan karena orangnya, tetapi pengalaman nyata aku diterima, disapa dengan ramah, diajarin banyak hal dan terutama aku merasa bertemu dengan Tuhan dari muka ke muka, mendengarkan Tuhan berbicara. Biasanya, ratusan kali aku mengalami proses pembersihan hati dan rekonsiliasi yang sama seperti ini penuh ketegangan, merasa terasing, rasa malu, was-was, enggan, tidak bebas, monoton, kurang inspiratif, sehingga kadang aku enggan untuk membersihkan hatiku dalam pengkauan dosa pribadi. Pagi ini, indah sekali, seindah kasih Tuhan yang kualami dengan bebas dan nyata. Sepanjang hari aku mengenang kalimat indah itu. Semua masih jelas dalam ingatanku. Supaya tidak segera lupa, aku mencatatnya dalam bukuku.
Sering aku merenungkan kembali dan mengingat semua itu. Hatiku dipenuhi rasa syukur. Lebih dari itu, perlahan-lahan sejak hari itu, aku mulai mempraktekkan, bagaimana menggunakan cermin wajah Tuhan. Aku mencoba mencerna sendiri bagaimana cara aku menggunakannya. Untuk bisa menemukan cermin wajah Tuhan dan menggunakannya, aku harus tahu kisah tentang Tuhanku. Untuk hal ini, aku harus bertekun, membaca, membaca dan membaca Firman Tuhan.Lalu merenung, mencerna dan mengunyah-ngunyah sambil mengamat-amati diriku dalam cermin wajahku. Sesudahnya, aku harus menulis apa yang kutemukan dari cermin wajahku artinya merefleksi. Lalu kuperhadapkan atau kubandingkan dengan cermin wajah Tuhanku yang kutemukan itu.
Persis seperti setiap hari aku bercermin untuk memastikan wajah dan pakaianku sudah rapi, demikian aku mulai bercermin dan mengamati dengan cermin wajah Tuhanku, mana bagian tubuh jiwaku yang belum rapi. Perkataan, sikap, pikiran, tindakan, perbuatan, kehendak dan kemauanku. Mana yang belum bahkan tidak sesuai dengan yang kulihat dari cermin wajah Tuhanku yang penuh kelemahlembutan, penuh belaskasihan, adil, jujur dan benar. Itulah bagian tubuh jiwaku yang perlu kutata, kurapikan, yang kuganti. Sebab kuingat kata imam sepuh misionaris itu, “ Anda hanya akan pantas kembali kepada-Nya dan berdiri di hadapan-Nya suatu waktu ketika saatmu berakhir di dunia ini, kalau jiwamu berpenampilan “rapi” dan mengenakan pakaian pesta untuk layak masuk perjamuan kudus-Nya.
Oh..Tuhanku dan Allahku. Aku sadar, lamban sekali aku maju dalam hal rohani.Cermin perkembangan yang kugunakan, adalah cermin wajah sesamaku bahkan cermin wajahku sendiri,sehingga aku merasa lebih baik, lebih hebat dari mereka. Atau kalau mereka kurasakan tidak lebih baik dari aku, aku pikir itu sudah cukup.Sekarang, dengan menggunakan cermin wajah-Mu, sadarlah aku, betapa buram, kusam cerminku itu. Telah Kau tunjukkan padaku saat yang tepat untuk mengganti cermin hidupku. Terima kasih dan tolonglah aku untuk selalu memandang-Mu,meniru dari yang kulihat pada-Mu, supaya bersihlah tubuh, jiwa dan rohku.*hm
Recent Comments