‘Andaikan kau melangkah bersamaku dalam perjalanan panjang Puteraku menyongsong maut, mungkin dapat kaurasakan sebongkah kepedihan yang menggumpal dalam hatiku. Namun, hanya iman yang mampu mengusap hatiku, iman akan penyelenggaraan-Nya yang sungguh tepat pada saat yang tepat pula.” (Ibadat Jalan Salib Tuhan, Bersama Maria Menuju Golgota).
Hatiku bergetar membaca penggalan kata-kata indah, yang dirangkai para pencinta Maria. Hatiku tersapa, ragaku terjamah dan batinku menangkap maksud indah dibalik untaian huruf – huruf itu. Batinku mengap-mengap tersihir kata-kata tersebut, kala mataku menangkap untaian huruf-huruf bermakna. Bersama Maria menuju Golgota, siapa takut? Budiku mengejek batinku. Tidak perlu sekadar berjalan, sekalian selesaikan saja semua rancangan yang pernah terungkap. Bukankah katamu, kamu pasti bisa dan sudah terbiasa? Ini bukan sekedar ujian perasaan untuk mendapatkan angka-angka hikmat untuk diingat? Terlalu dalam rasa hati Bundamu, untuk mengungkap semua itu. Tiada berujar pun, hati tahu ke mana arah rasa tertuju dan di mana muara jiwa berteduh.
Maria, ibundaku, sedang mengajakku berjalan bersamanya. Itu pun kalau aku mau. Sebab Maria tak memaksaku, sebab ia cuma berkata dalam bisikan lembut nyaris tak terdengar : “Andaikan kau melangkah bersamaku dalam perjalanan panjang Puteraku menyongsong maut.” Tidak ada janji apapun, cuma sebuah penegasan ungkapan rasa, barangkali ingin mengalami seperti Bunda. Lalu untuk apa? Siapakah yang mau ikut serta dalam perjalanan sedih nan gundah, jika tidak karena terpaksa atau sebelumnya tak tahu ke mana arah? Jika bukan karena orang-orang tercinta yang tak dapat kutinggal sendirian, aku tak akan mau diajak, meski pun dibayar dengan jutaan rupiah atau kepingan koin emas dan janji untuk mematrikan nama dan gelar? Aku ingat, aku enggan, halus menolak. Tetapi jika berjalan bersama menuju tempat pesta, yang di sana ada bunyi-bunyian musik indah, diiringi gelak tawa ria, dengan hidangan aneka makanan lezat, tak diajak pun banyak orang akan ke sana. Dan aku juga akan ke sana tanpa diundang.
Yach…naluri manusiawiku yang fana berbau tanah, selalu tergerak ke sana, menyatu dengan bumi dan enggan beranjak dari tanah tempatku berpijak. Meski sebenarnya aku tahu juga dalam riakan nurani mendalam, bahwa itu tempat berbahaya yang menjerumuskan aku dalam jurang petaka, tak terselamatkan meski hanya bahagia sesaat. Tapi, sungguh nuraniku akan tetap ke sana, meski kadang aku tidak menghendakinya. Apakah makna ajakan Bunda?
Hari ini, aku ditantang oleh nuraniku sendiri, kala mataku menangkap untaian huruf itu, kudengar sayup-sayup suara memenuhi ruang hatiku. Meski kuberusaha menutup telinga jiwaku, namun semakin keras bersuara “andaikan kau berani , andaikan kau mau, mau berjalan bersamaku dalam perjalanan derita panjang Puteraku saat menyongsong maut, kau dapat rasakan sebongkah kepedihan yang menggumal di hatiku. Bahkan, bukan hanya di hatiku, tetapi di hati-Nya. Sesudah itu kau akan mengalami segalanya. Bunda tidak pernah memaksaku, tidak pernah pula mengajakku, dia hanya berjalan bersamaku, perjalanan biasa, seperti kemarin dan semua perjalanan yang telah berlalu. Dia tidak pernah berkisah tentang dirinya, tidak pernah berkata sepatah kata pun. Dia hanya berjalan bersamaku, dan aku tahu, perjalanan kami selalu menyenangkan. Dia tahu pula, aku senang ditemani dan suka dengan hal-hal yang menyenangkan.
Dia tahu dengan baik, aku takut hal-hal yang sulit. Dia tahu aku tidak suka buang-buang waktu dengan hal-hal rumit yang membuat susah hati, atau sekedar menghabiskan banyak waktu, yang membuat hati gundah. Dia tahu, aku suka menghindar dari jalan panjang yang melelahkan, dari terik panas mentari derita. Dia tahu pula, aku tidak ingin air mataku menetes dan ada ratapan duka dalam hatiku. Aku tidak mau mati merana dalam kemelaratan, tak dikenal dan dikenang. Dia tahu semuanya, bahkan semua borok busuk yang membusuk di hatiku, yang kusembunyikan bertahun-tahun.
Hari ini, saat-saat sepi merayap di hati, tersihir oleh rangkaikan kata yang tak pernah kubaca sebelumnya dan tak terpikir sesudahnya, aku tahu kini dan di sini, suara-suara itu, adalah suara Bunda. Suara lembut merayu nan syahdu, menggema dalam senyapnya jiwa dan membahana dalam nada hati untuk mengungkap kasih. Suara cinta yang tertunda dan tak terungkap karena aku enggan mendengarnya. Atau mungkin lebih tepatnya, suara-suara itu, adalah suara gumaman kasih Sang Bunda, dalam perjalanan harian, namun tak terdengar oleh telinga hatiku karena terselimuti kabut obsesi sukacita palsu.
Hari ini, dalam perjalanan singkat bersamanya, via Dolorosa itu, semua kisah yang selama ini dikisahkan kepadaku, dengan sendirinya menggema dalam jiwaku. Sesuatu yang menyumbat telinga jiwaku seolah terlepas dengan sendirinya. Begitu cepat. Dalam kebodohan, kurasa sungguh, bukan dia tak pernah berkisah, tapi akulah yang selama ini tuli. Tuli akan suara-suara kebenaran, suara cinta nan lembut, dan enggan menjadi orang benar dan lembut. Tanpa diberitahu, jiwaku sadar, aku terlalu takut untuk menderita, ditindas kisah, atau terlindas peristiwa.
Aku ingat semua kisah tentang cinta di masa lampau dalam perjalanan dengannya. Tiada cinta tanpa derita, tiada kasih sejati tanpa pengorbanan diri. Aku mengerti sekarang, sungguh-sungguh mengerti, bahwa tiada cinta di hatiku seperti yang diharapkan Sang Khalik. Dan mengertilah jiwaku, akan Sabda Sang Putra yang sejak awal masa muda kuhapal, saat mencari kata-kata cinta untuk mengukir cinta insani di hatiku dan mendengungkan nada-nada cinta untuk menarik makluk fana melabuhkan cinta kefanaan di hatiku. “Tetapi tentang kamu, memang Aku tahu bahwa di dalam hatimu kamu tidak mempunyai kasih akan Allah.”( Yohanes 5 :42). Benar, tiadanya cinta akan Allah, membaut ketakutan akan derita bagaikan jurang yang mengaga lebar. Aku mengakui dengan jujur, tak ada cinta di hatiku, setulus hati keibuan bunda-Mu. Aku mengakui, meski sudah melangkah sejauh ini, sudah berjalan sekian lama, sudah menapak sekian waktu, tetap tiada cinta yang benar-benar cinta Ilahi di hatiku yang mengiringi langkahku.
Oh, Bundaku, ekspresi cinta keibuanmu tak tertandingi oleh wanita mana pun di dunia ini, dulu, kini dan nanti. Tidak ada seorang pun yang unggul, melebihi cinta dan deritamu. Tidak ada. Tiada tara, tak terkatakan. Cinta yang mampu menembus batas-batas segala rasa, menembus daya-daya jiwa. Untuk segala kesuksesan, kebahagiaan dan sukacita dunia, banyak yang berjuang menjadi pertama dan unggul. Tidak untuk unggul dalam derita seperti kisah Bunda. Cintamu kuat laksana maut. Tiada kobaran api dapat menghanguskan bara-bara cintamu ya Bundaku. Cintamu tetap dan tak berubah, dulu kepada putramu, dan kini serta selamanya cinta kepada para putramu, juga untukku.
Oh, ibuku, ekspresi cinta keibuanmu, tak sanggup kupahami, dulu dan sampai kini. Rangkaian kata-kata indah itu, membahana dalam dadaku, memenuhi ruang hatiku.”Andaikan kau mau melangkah bersamaku dalam perjalanan panjang Puteraku menyongsong maut, mungkin dapat kaurasakan sebongkah kepedihan yang menggumpal dalam hatiku. Dan jika kau berani berjalan bersamaku di jalan salib ini, tidak hanya kau tahu atau mengerti semua itu, tetapi kau akan merasakan segalanya. Segala cinta dan kerinduan Bapa, segala harap dan impian bapa yang abadi, untuk keselamatanmu. Bukan hanya sekedar mau, dan mampu berjalan bersama, tetapi keberanian untuk mengekspresikan cinta di tengah derita. Bukan hanya derita diri, tetapi juga derita jiwa dan derita dunia. Bukan hanya untuk yang di sini atau di sana, tetapi di semua tempat dan untuk semua saja.’
Oh, ibuku, ekspresi cinta dan kesetiaanmu bersama Sang Putra, dari awal inkarnasi sampai Salib, dari Nasaret sampai Kalvari berkisah kepada jiwaku tiada henti, arti cinta dan kesetiaan yang tak terperi. Suara dari kata-kata yang tersihir, menyerang jiwa yang tidak bisa membuat aku terdiam atau berhenti, tetapi justru menarikku untuk segera beranjak dan pergi.Pergi dari sini ke sana, sebab waktu sangat singkat dan hampir usai. Menunda atau menunggu nanti, hanya akan memperpanjang waktu kesia-siaan ini, sebab sesungguhnya, perjalanan panjang menyongsong maut, terus berlalu, tidak hanya Sang Putra dari Bundaku, tetapi semua para putranya itu.
Oh, ibuku, imanmu nan teguh telah mengusap hatimu, hati ibunda yang bagaikan terbuat dari mutiara indah, tempat terpahat cinta Ilahi yang tiada akhir, terus bersinar kemilau tak kenal usai. Iman yang berpengharapan tertanam kuat dalam jiwamu, bagaikan akar-akar kuat yang menggelayut di pokok pohon hidup. Oh, iman itu yang meniup kobaran api cintamu agar tetap hidup dan menyala, membara menghangatkan setiap jiwa yang beku agar mencair, mengalir, menuju sumber air hidup.
Oh, ibuku, imanmu nan kukuh, tegak kokoh kuat di tengah badai hidup, membuat badai kencang berhembus hanya bagaikan angin sepoi-sepoi basah, yang mengelus setiap jiwa untuk tegak bertahan di tengah terpaan godaan jiwa. Aku mau berjalan bersamamu, ya Bundaku..menuju Kalvari hidup. Aku sudah tahu, dan menyadari, hanya dalam perjalanan bersamamu, hatiku terhibur dan tiada yang menakutkan jiwaku, sebab engkau tahu jalan ke situ, dan bagaimana cara menghadapi semua itu.
Ekspresi cinta keibuanmu sungguh abadi, dan kau yang selalu siap sedia berjalan bersama siapapun, menunjukkan kepada setiap jiwa dan dunia, bahwa meski sengsara dan salib menunggu di setiap hamparan jalan hidup yang tak berujung, sellau ada cinta keibuanmu tak akan pernah sirna. Ekspresi cinta keibuanmu ribuan tahun yang lampu, tetap terasa sampai saat ini, di sini di relung jiwa beku ini. Benarlah untaian kata-kata indah rangkaian pencinta Bunda, “iman akan penyelenggaraan-Nya yang sungguh tepat pada saat yang tepat pula akan mengusap setiap jiwa untuk pulang kepada Sang sumber cinta. Hari ini, iman itu mengusap jiwaku yang beku.
Oh, ibuku, biarkan semua kisah cinta dalam perjalanan ke Kalvari terserap penuh , utuh masuk dalam jiwaku. Kubenamkan wajah jiwaku dalam kasih keibuanmu yang manis dan agung, untuk berani berjalan bersamamu, merasakan bongkahan kepedihan dan dukacitamu.Biarkan bongkahan kepedihan hatimu yang tak terhibur, tiada henti menghantam dan membentur nuraniku yang keras nan kaku, agar cairlah kebekuan jiwaku. Dan iman sebesar milikmu menjadi milikku, meski tidak penuh dan utuh, pada saat ini dan terutama manakala derita dunia menghemas ragaku, memorakporandakan pertahanan diriku dan mencabik-cabik selubung kefanaanku.
Oh, Bundaku, tuntun aku di jalan salib putramu yang pernah kautempuh, agar ekspresi cinta dan keibuanmu nan setia, terungkap dalam jiwaku yang terbalut raga rapuh, tersingkap cinta yang menggandeng derita dan terpancar kasih abadi, kini dan nanti. Untukmu Bunda, yang mengekspresikan cinta abadi di tengah derita hati, aku memuji dan memuliakan Allah yang agung.***
Recent Comments