Allah yang kita pahami dan kita alami sebagai Allah yang murah hati dan penuh kerahiman telah menunjukan kasihnya yang begitu besar kepada kita umatnya yang berdosa. Kerahiman Allah dinyatakan dengan mengasihi manusia dengan tidak terbatas. Berulangkali manusia berbuat dosa dan pelanggaran, namun Allah itu adalah kasih. Ia tidak pernah menghukum umatnya sekalipun ia meninggalkan dan menghianatinya. Gambaran Allah yang demikian mengajak kita untuk melakukan perubahan dalam berbagai dimensi. Perubahan yang dimaksud tidak hanya perubahan dalam hal materi, fisik, dengan mengikuti perkembangan zaman tetapi lebih pada pembaharuan budi dan atau pikiran yang menghasilkan perubahan karakter menjadi seperti Kristus. Semua pikiran yang tidak illahi, yang bukan dari Tuhan, diganti dengan pikiran Tuhan Yesus. Menjadi pertanyaan refleksi apakah dalam diri kita ssejauh mana pembaharuan budi dan pikiran serta gaya dan semangat hidup kita?.
Tema gambaran diri dalam pertobatan yang akan kita renungkan ini mengajak kita untuk berproses menuju pada pembaharuan diri baik secara manusiawi, maupun kristiani. Gambaran diri yang dimaksud adalah keadaan atau situasi diri kita baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan. Dari gambaran diri yang ada diharapkan kita sadar dan mengakui bahwa apa yang sedang terjadi dan dialami dapat mengakibatkan keadaan diri kepada situasi yang baik atau jauh lebih buruk dari sebelumnya. Pertobatan mengandaikan setiap pribadi sadar, tahu, mengakui dan punya kehendak kuat untuk keluar dari situasi yang membelenggu dirinya sekalipun itu bersifat tersembunyi dihadapan sesama manusia.
Gambaran diri dalam pertobatan ini, tidak hanya mengangkat bagaimana manusia seharusnya hidup dihadapan Tuhan, tetapi juga bagaimana manusia itu bergulat dengan berbagai kelemahan untuk sampai pada kekudusan yang menjadi harapan dan cita-citanya. Dalam permenungan ketika menyiapkan bahan ini, saya terinspirasi bahwa ada tiga pokok gambaran diri untuk hidup dalam pertobatan. Pertama: kita perlu menyadari, mengenal, dan mengakui bahwa diri kita adalah orang yang berdoa ( bagaimana relasiku dengan dosa) Kedua: berani mengangkat kepermukaan dan berani mengambil tindakan terhadap dosa-dosa yang kita lakukan (bagaiman dosa itu hidup dan menguasai diri kita) Ketiga tegas terhadap diri, mau bertobat dan berani menanggalkannya (memiliki kehendak kuat untuk tidak tunduk pada dosa dan lebih memilih kehendak Allah).
Gambaran diri hidup dalam Kaul kemurnian.
Berdasarkan hasil permenungan dari tiga pokok tersebut diatas, saya mengajak para suster untuk melihat gambaran diri dalam pertobatan melalui ketiga nasehat Injil dan tentunya juga melalui kehidupan kita sehari-hari( lih. Kont. 27-52). Berkat permandian kita sebagai anak Allah dipanggil kepada kekudusan Gereja sebagai religius. dan kita diharapkan dengan menghidupi ketiga nasehat injil hidup kita menjadi sempurna seperti Bapa(bdk. Konst. 27). Untuk sampai pada kekudusan kiranya kita dapat bertanya dalam diri kita masing-masing sejauh mana saya mengusahakan hidup dalam kekudusan Gereja sebagai religius. Sadarkah bahwa kita religius bisa melakukan hal-hal yang menjauhkan diri dari kekudusan itu secara sembunyi-sembunyi. Saya katakan demikian karena kita sebagai religius sudah dikondisikan sejak masa awal pembinaan dengan hidup mandiri mulai tempat tidur kita sendiri, penggunaan sarana dan prasarana dan berbagai macam karya pelayanan yang dipercayakan oleh kongregasi, Komunitas maupun Paroki. Rasul Paulus menegaskan dalam suratnya kepada jemaat di Korintus “Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan supaya tubuh jiwa mereka kudus…( 1 Kor 7:34).
Sebagai orang yang memilih hidup religius, kita mengucapkan kaul kemurnian berarti kita berjanji kepada Allah untuk menyatukan diri secara khusus dengan Kristus dan turut ambil bagian dalam cinta-Nya kepada umat manusia dengan tidak kawin (Konst.31). Tidak bisa dibayangkan bahwa apabila kita sebagai religius yang telah memilih untuk tidak kawin tetapi hidupnya dipenuhi dengan bayang-bayang perkawinan, dengan mengidolakan seseorang yang dikagumi sebagai kompensasi untuk memenuhi kerinduannya. Atau bisa jadi kita jatuh dalam relasi yang khusus yang membawa kita tidak lagi hidup dalam kekudusan sebagaimana yang diharapkan oleh Paulus. Kaul kemurnian yang kita ikrarkan mengandung konsekuensi melawan dorongan-dorongan yang ada dalam diri kita sebagai manusia, termasuk dorongan hawa nafsu yang mungkin saja bisa menguasai seluruh pikiran, dan perasaan kita. Situasi yang demikian menggambarkan bahwa kita berada dalam tataran berteman dengan dosa. Jika demikian pertanyaan untuk kita renungkan adalah bagaimana saya sebagai pribadi dihadapan Allah?. Mazmur 139 memperlihatkan bagaimana Allah senantiasa memonitoring keadaan manusia agar tidak jatuh dalam jurang dan tidak binasa. Allah senantiasa menjaga, melindungi, dan membimbing kita agar kita ada dalam perlindungan nya dan pada akhirnya kita hidup dijalan kebenaran yang Allah sendiri kehendaki, sehingga menjadi kudus seperti yang diharapkan-Nya. Untuk sampai pada kekudusan kita tidak hanya tinggal diam menunggu belaskasih dan kerahiman Allah, tetapi sebagai manusia yang ingin bebas dari kegelapan dosa diharapkan juga berusaha dengan cara membiasakan diri menghidupi keutamaan-keutamaan yang terkandung dalam penghayatan kaul kemurnian yang diungkapkan dalam sikap menjaga diri, membatasi diri, pengingkaran diri, dan menghindarkan diri dari kesempatan-kesempatan dan godaan-godaan untuk berdosa (bdk. Konst. 34).
Gambaran diri hidup dalam kaul Kemiskinan
Pada prinsipnya situasi diri kita yang mungkin juga dan bahkan saat ini juga berada dalam situasi kegelapan karena menginginkan berbagai macam kepemilikan baik kecil maupun besar merupakan gambaran diri yang hidup dalam kemiskinan atau tidak? Meskipun keinginan itu belum sampai pada tataran memilikinya, tetapi kerinduan yang terus menerus yang menggerogoti pikiran dan perasaan kita akan membawa hidup kita terperosak dalam penghayatan kaul kemiskinan. Kaul kemiskinan merupakan pilihan bebas kita untuk mengikuti Kristus yang mengosongkan diri-Nya dan menjadi solider dengan sesama manusia khususnya mereka yang miskin mengajak kita untuk berani meninggalkan zona nyaman hidup kita dan berani menanggalkan cara hidup kita yang lama agar penghayatan kaul kemiskinan sungguh kita hayati dalam taraf hidup yang sederhana (bdk. Konst. 35). Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaan itu (Luk. 12:15). Sebagai religius kaul kemiskinan hendaknya menjadi tanda bahwa kita semakin membebaskan diri dari segala keterikatan dan kecemasan terhadap harta benda duniawi dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada penyelenggaraan Bapa surgawi (bdk. Konst. 37). Bebas bukan berarti kita tidak memiliki sama sekali, tetapi lebih pada sejauh mana saya pribadi sungguh membutuhkannya bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi lebih-lebih untuk karya pelayanan yang kita lakukan. Belajar dari kehidupan para rasul, mereka hidup sehati sejiwa, segala sesuatu yang diperoleh adalah kepunyaan bersama, merupakan contoh konkret bagaimana seharusnya kita sungguh menghayati dan menghidup kaul kemiskinan.(bdk. Kis 2: 44-45). Pengalaman jemaat perdana menjadi cambukan bagi kita kaum religius yang mungkin saja situasi dan keadaan kita jauh dari kenyataan yang diharapkan. Berbagai macam kecenderungan terhadap kerinduan-kerinduan untuk memiliki sesuatu yang lebih telah mewarnai hidup kita. Mungkin tidak seberapa bila diukur dengan nilainya. Tetapi sadarkah bahwa cara-cara yang kita lakukan dengan tidak jujur demi memenuhi kebutuhan pribadi, dan demi kenyamanan gerak langkah hidup kita dalam menjalin relasi dengan orang lain maupun dalam melaksanakan karya pelayanan menjadi gambaran diri yang sedang berada dalam dosa karena kurang menghidupi kaul kemiskinan? Kita coba tengok kedalam diri kita masing-masing, jujur dihadapan Allah sebenarnya situasi diri kita bagaimana? Meskipun Allah itu Allah yang penuh kerahiman Ia tidak akan menghukum, tetapi tidakkah kita sebagai manusia punya rasa malu, terhadap Allah karena kita tidak mentaati kehendakNya? Tidakkah kita juga punya kekuatiran bila suatu saat Tuhan menunjukan siapa diri kita? Dan bagaimana sebenarnya hidup kita?
Gambaran diri hidup dalam kaul Ketaatan
Dalam kaitannya kaul kemurnian dan kemiskinan, mungkin situasi kita lebih terpuruk lagi bila merenungkan keberadaan kita yang sesungguhnya terkait kaul ketaatan. Kaul ketatan yang kita ikrarkan hendaknya dihayati tidak hanya sampai pada pengertian mudah taat, mudah menyesuaikan diri, atau tidak semau-maunya bertindak sendiri tetapi sampai pada kesadaran penuh bahwa kita tidak memilih kehendak diri sendiri sebaliknya kita menempatkan diri sebagai hamba Tuhan untuk setia dan taat mendengarkan dan melaksanakan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Tidaklah pantas apa bila kita sebagi religius yang dengan sadar dan dengan kebebasan total mengikrarkan kaul ketaatan tetapi, sulit taat, dan bahkan hidup dan bekerja serta melakukan karya pelayanan berdasarkan kemauannya sendiri, kurang atau bahkan tidak mengindahkan pimpinan sebagai wakil Allah. Situasi yang demikian mengajak kita untuk jujur dan terbuka mengakui diri berada dalam tataran yang bagaimana? Apakah dengan menjalankan tugas-tugas perutusan sudah mewakili hidup kita sebagai religius yang taat? Bila kita kembali kepada motivasi panggilan awal ketika kita mengucapkan kaul pertama atau bahkan pada saat kaul kekal, komitmen apa yang menjadi landasan hidup kita ?
Yesus sendiri memenuhi panggilan Allah sebagaimana dikatakan dalam sabdaNya” Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Demikianlah ketaatan Kristus adalah penyerahan diri-Nya semata-mata kepada kehendak Bapa-Nya. Oleh karena itulah kita mengikrarkan kaul ketaatan dihadapan Pemimpin Umum dan seluruh umat yang hadir merupakan tanda penyerahan diri kita kepada Allah, ini berarti kita bersedia menerima tugas-tugas perutusan apapun yang ditugaskan dari pimpinan yang sah. Konsekuensi dari kaul ketaatan kita adalah menerima dan melaksanakan apa yang menjadi kehendak Tuhan melalui pimpinan sekalipun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karena kita sadar bahwa persembahan diri secara total kepada Allah lebih bertujuan untuk mengutamakan kehendak Allah dari pada kehendak diri sendiri.
Siap sedia diterima dan dibaharui Allah
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama ditekankan bahwa pertobatan berarti kembali kepada Allah sesudah tersesat dan sesudah mendurhakai-Nya sebagaimana dialami oleh bangsa Israel. Cakupan pertobatannya yang dilakukan melebihi duka-cita penyesalan dan perubahan tingkah laku lahiriah, perendahan diri batiniah serta perubahan yang sungguh-sungguh merindukan Yahwe (Ul 4:29), disertai pengenalan yang jelas dan baru akan diri-Nya dan jalan-Nya (Yes 24:7, bdk 2 Raj 5:15, 2 Taw 33:13) . Sedangkan dalam Perjanjian Baru bertobat berarti membelakangi yang semula disembah lalu menghadap kepada Tuhan Allah dan juga berarti mengubah pikiran atau berganti pikiran. Dalam Injil Synoptik pertobatan menurut Yesus adalah suatu perubahan radikal bukan hanya dalam prilaku melainkan juga dalam pemikiran. Sebagaimana kisah pertobatan anak bungsu. Dalam tafsiran ini dikatakan ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya hal ini tersirat bahwa selama ini ayahnya telah menunggu kepulangan anaknya yang pergi dari rumah itu. Dan juga dalam hal ini ada tekad dalam diri anak bungsu itu untuk mengubah keadaan hidupnya yang sudah jahat. Dalam tafsiran yang lain ditunjukkan perendahan diri anak bungsu itu. Ia tidak hanya menyadari bahwa ia telah jatuh kedalam dosa tetapi juga bahwa ia tidak layak disebut sebagai anak bapanya. Dalam hal ini ia bersedia merendahkan dirinya dan berusaha kiranya diterima. Tetapi sebelum seluruh pengakuan itu keluar ayahnya telah mengambil dia untuk kembali ke dalam keluarga itu.(bdk. Luk 15:11-32). Dalam konteks ini bertobat merupakan suatu tindakan yang tidak mau berbalik lagi kepada berhala dunia dan menghadap Tuhan Allah serta berbakti kepadaNya.
Belajar dari Si Bungsu dan anak sulung yang dikisahkan dalam Kitab Suci ada 3 unsur dasariah pertobatan yaitu :1. Insaf, berarti menyesal. Perasaan sedih karena dosa-dosanya karena ia sadar akan hidupnya yang telah mekai Tuhan 2. Membenci dosa, yaitu suatu tindakan yang dilakukan setelah menyadari kesalahan-kesalahan maka orang itu akan membenci segala tindakannya yang lama yang telah melukai Allah. 3. Kembali kepada Allah, yaitu orang yang sudah menyadari dosa-dosanya dan juga membencinya maka dia akan rela hatinya untuk menerima peraturan-peraturan dan hukum-hukum Allah.
Dari gagasan di atas dapat disebutkan bahwa pertobatan itu merupakan suatu proses untuk menanggalkan manusia yang lama dan memakai manusia yang baru. Manusia yang baru merupakan hidup yang masih terus menerus bertumbuh, diperbaharui atau dengan kata lain hidup dalam proses. Hidup baru dalam proses berarti masih hidup atau jalan bersama dengan hidup yang lama. Makin maju perkembangan manusia baru makin berkuranglah kekuatan manusia yang lama atau cara hidup yang lama itu. Jadi hidup yang baru itu penuh dengan peperangan antara manusia yang lama dan manusia yang baru. Kadang-kadang di dalam peperangan itu orang beriman dapat jatuh yang berarti manusia yang lama menang, akan tetapi orang beriman harus bangkit kembali untuk bertobat lagi. Inilah yang disebut dengan pertobatan.*gv
Recent Comments