Pada saat membuat program tahunan rekoleksi disepakati tema rekoleksi diambil dari konstitusi pada bagian lampiran mengenai DEKRIT PENDIRIAN KONGREGASI DAN PENGESAHAN KONSTITUSI ditulis sbb. “demi kemuliaan Allah yang lebih besar, demi pengudusan para anggota Kongregasi dan demi penyebaran iman atas izin yang diperoleh dari Kongregasi suci penyebaran iman , dengan dekrit ini kami mendirikan…” ( Konst hal. 74). Pada surat pengesahan konstitusi ditulis sbb. : “ dengan segala kepercayaan kami mengharapkan agar semua konstitusi dengan setia dituruti untuk menambahkan kemuliaan Allah dan untuk memperoleh kebahagiaan abadinya serta membantu gereja kudus dan karya-karya misi demi keselamatan umat manusia” ( Konst hal.76 ). Kata kunci untuk tujuan hidup kita dalam tulisan di atas : kemuliaan Allah,
Pertanyaan, “apa tujuan saya hidup di dunia ini?” sesungguhnya merupakan suatu refleksi seseorang kepada dirinya sendiri untuk menemukan makna dan tujuan hidup. Cepat atau lambat setiap manusia umumnya akan bertanya seperti ini di dalam hatinya. Ini adalah sesuatu yang umum, karena sebenarnya Tuhan sendiri yang menanamkan dalam diri setiap orang untuk mempertanyakan tujuan akhir hidup yang akan dicapainya. Tuhan yang menciptakan kita, menanamkan di dalam hati kita kerinduan hati untuk kembali kepada-Nya, darimana kita berasal, dan tujuan akhir tempat kita berpulang.
Tujuan kehidupan kita, sebagaimana dirancang Allah ketika ia menciptakan manusia pada mulanya, adalah 1) memuliakan Allah dan menikmati persekutuan dengan-Nya, 2) berhubungan baik dengan sesama, 3) bekerja, dan 4) berkuasa atas bumi. Setelah kejatuhan manusia dalam dosa, persekutuan dengan Allah terpecah-belah, hubungan dengan orang lain menjadi ikut rusak, pekerjaan terasa berat, dan manusia kini harus bergumul mengatasi alam.
Hanya dengan memulihkan hubungan kita dengan Allah, melalui iman kepada Yesus Kristus, tujuan kehidupan baru bisa menjadi nyata. Tujuan hidup manusia itu mempermuliakan Allah dan hidup di dalam anugerah-Nya untuk selama-lamanya.
Apakah kemuliaan Allah? Kemuliaan Allah itu mencakup dua segi. Pertama, kemuliaan intrinsik, yaitu kemuliaan yang telah dimiliki Allah pada diri-Nya sendiri (Rm 11:36a). Hal ini dapat diibaratkan dengan terang yang dimiliki matahari. Baik diterima atau dihindari orang, diakui atau diabaikan orang, terang itu telah ada pada matahari. Terang matahari itu terus-menerus bersinar. Demikian pula kemuliaan Allah telah ada pada diri-Nya sejak kekekalan hingga selama-lamanya. Kemuliaan Allah itu terus-menerus memancar, tanpa dipengaruhi oleh respon makhluk terhadap diri-Nya. Kedua, kemuliaan yang diberikan mahkluk kepada Allah. Setiap manusia hendaknya menyadari kemuliaan Allah, dan memuliakan-Nya. Alkitab mengatakan: ”Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya” (1 Taw. 16:29a), dan “bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36b).
Mengapa harus memuliakan Allah? Pertama, karena keberadaan Allah yang mulia (Rm:11:36). Dia adalah Allah yang mulia dan sudah selayaknya dimuliakan. Kedua, karena segala perbuatan-Nya: Dia yang menciptakan kita (Yes. 43:1); Dia telah menebus dan menyelamatkan kita (Yes. 43:2-3); dan Dia mengasihi, memelihara dan memberkati kita (Yes. 43:4-6). Ketiga, karena kita diciptakan untuk kemuliaan-Nya. Semua orang yang disebut dengan nama-Nya, diciptakan untuk kemuliaan-Nya (Yes. 43:7). Bahkan segala sesuatu diciptakan untuk kemuliaan Allah. Dalam Roma 11:36 dikatakan: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”.
Saya diciptakan untuk kemuliaan Allah. Menurut St. Ignatius Loyola “ Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya “Maka jalanilah hidup ini dengan tujuan, yaitu untuk kemuliaan-Nya. Kitab Suci mengatakan: ”Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31).
Bagaimanakah seseorang itu bisa memuliakan Tuhan? Ada beberapa cara hidup kita untuk memuliakan Tuhan a.l. :
- HIDUP MULIA dalam KEKUDUSAN. Hidup mulia disini adalah hidup mulia dalam pemandangan Allah dan bukan dunia. Bagi dunia mulia adalah terhormat, kaya, sukses, prestasi dan populer. Namun seperti yang kita ketahui kita memuliakan Allah bukan dengan cara kita, melainkan dengan cara Allah, dan “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”(1Samuel 16:7). Hidup mulia untuk memuliakan Allah dikerjakan bukan dari luar diri kita, melainkan dari dalam diri kita, yaitu sikap hati kita.
Hidup mulia dengan mengerjakan kehendak Allah dengan “…kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas.” (1Titus 1:5). Jadi bagaimana kita bisa memiliki hati nurani yang suci dan murni, yang dapat kita lakukan adalah mengakui dosa kita dan meminta ampun atasnya.
Mengakui dosa dan kesalahan adalah langkah menguduskan diri sekaligus memuliakan Allah, seperti yang Petrus perintahkan “…hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1Petrus 1:15-16). Pemisahan diri dari dosa yang diwujudkan dengan mengakui dosa adalah langkah memuliakan Allah yang kudus dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita memuliakan Allah yang kudus dengan hidup kudus, sedangkan sebaliknya kecenderungan dosa adalah menyangkali kesalahan, seperti yang Adam lakukan dihadapan Allah, Adam “…menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.” (Kej 3:12)
Yang menjadi perbedaan anatara orang yang kudus dengan orang yang berdosa adalah, orang yang kudus mengakui kesalahan dan kelalaian diri, sedangkan orang berdosa menyalahkan dan mencari “kelalaian” Tuhan, padahal “Tuhan tidak lalai…” (2Petrus 3:9).
Rasul Yohanes berkata “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan”. (1Yohanes 1:9). Kata “mengaku” dalam ayat tersebut menggunakan kata “homologeo” (Yunani), yang juga memiliki arti “menyetujui”, “tidak menolak” atau “mengatakan hal yang sama”. Artinya dengan mengaku dosa kita, kita tidak lagi melawan Allah, kita menyetujui-Nya, kita mengakui bahwa Allah lebih benar dibanding diri kita.
Mengakui dosa adalah sebuah langkah tunduk/taat kepada Allah, bahkan tunduk pada level penilaian-Nya tentang diri kita, dengan demikian kita tidak lagi bersekutu dengan dosa dan dengan Iblis yang memiliki kecenderungan memberontak terhadap Allah. Dan mereka yang setuju dengan pendapat Allah akan mendapatkan pengampunan dan penyucian diri dari dosa. Seperti yang Rasul Yakobus katakan: “… tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu! Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!” (Yakobus 4:7-8)
Kata utama di dalam Perjanjian Lama untuk kudus adalah “ qadosh”; dari akar kata ini diturunkan satu kata kerja dan satu kata benda. Pengertian mendasar dari kata ini agaknya adalah “memisahkan dari hal-hal lainnya” yaitu, menempatkan sesuatu atau seseorang dalam lingkungan atau kategori yang terpisah dari yang biasa atau duniawi. Kata utama di dalam Perjanjian Baru untuk kudus adalah “hagios”, kata ini sering dipakai untuk mendeskripsikan pengudusan orang-orang percaya (Efesus 5:25-26). Dalam pengertian ini, kekudusan di dalam Perjanjian Baru memiliki dua arti: (1) Pemisahan dari perbuatan-perbuatan berdosa dari dunia saat ini, dan (2) pengudusan bagi pelayanan kepada Allah. Kekudusan di dalam pengertian Alkitab bukan hanya sekedar tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk tertentu dan melakukan hal-hal tertentu yang benar; sebaliknya kekudusan berarti secara rohani dipisahkan dari segala sesuatu yang berdosa dan didedikasikan sepenuhnya kepada Allah.
Apa yang diajarkan Allah mengenai cara yang dengannya kita dikuduskan. Pertama-tama kita melihat bahwa kita dikuduskan di dalam kesatuan dengan Kristus. Kita dijadikan kudus melalui disatukannya kita dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya.(Rom 6:1,2,4,6,10). Kita dipanggil untuk menghidupi kehidupan yang baru karena kita telah bangkit bersama dengan kristus dan berbagian dalam hidup kebangkitan bersamaNya. Kita sedang dikuduskan melalui pertumbuhan yang terus-menerus yang semakin penuh dan semakin kaya di dalam kesatuan dengan Kristus. Kita juga dikuduskan melalui sarana kebenaran. Didalam doa Kristus yang kita sebut Doa Imam Agung, Yesus berdoa bagi para muridNya, “kuduskanlah mereka dalam kebenaran: (Yoh 17:17).
Marilah kita semua menginginkan dan mengejar kekudusan, yaitu kesempurnaan hidup sebagai pengikut Kristus. Karena pada Penghakiman terakhir, setiap orang akan diukur berdasarkan kekudusannya, dan hanya dengan kekudusan setiap dari kita dapat masuk ke surga (2 Pet 3:11, Why 21:27). Kekudusan ini diperoleh dari banyaknya kasih yang kita perbuat di dunia; dan pertumbuhan di dalam kasih ini membuat kita menjadi tak bercela di hadapan Allah (Flp 1:9-10, 1 Tes 2 :12-13). Kristus sendiri mengajarkan pentingnya kekudusan, sebab tanpa itu kita tidak dapat melihat Allah (Mat 5:8; Ibr 12:14). Untuk maksud pengudusan inilah Kristus turun ke dunia, dengan wafat di salib dan bangkit bagi kita, agar kita dapat mengambil bagian dalam misteri Keselamatan, bersekutu dengan-Nya, dan melalui Dia, kita bersekutu dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Inilah yang menjadi tujuan hidup kita, yaitu dipersatukan dengan Allah, Pencipta kita, sehingga pada akhirnya dipenuhilah FirmanNya yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28) dan Ia dimuliakan di dalam semua.
- MENGUCAP SYUKUR. Allah berkata “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku….”(Mazmur 50:23). Pengucapan syukur adalah sebuah pujian kepada Allah dari sebuah kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan Allah yang memegang kendali atas segalanya.
Seperti yang diserukan oleh Ayub katanya: “…TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21-22), beberapa orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, dengan mengatakan Ayub telah membuka celah bagi Iblis dengan bibirnya atas kecelakaan yang ia alami. Padahal kalimat selanjutnya berkata “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.” (Ayub 1:22). Makna yang tepat dari seruan Ayub adalah segala sesuatu yang berlangsung terjadi sesuai dengan kehendak Allah, baik itu menyenangkan atau menyusahkan, baik itu memperkaya atau memiskinkan, segala rancangan Allah adalah “…rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan…” (Yeremia 29:11), sebuah rancangan damai sejahtera di pemandangan Allah meski tidak di pemandangan manusia. Karena Allah memiliki tujuan dari segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan kita, dimana Yeremia menyebutnya sebagai “…hari depan yang penuh harapan.”(ayat 11). Seperti yang Paulus tekankan juga “…bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia…” (Roma 8:28).
Paulus berkata “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah…” (1Tesalonika 5:18). Kita mengucap syukur karena kita meyakini bahwa segala sesuatu “…oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” (Wahyu 4:11). Segala sesuatu itu ada dalam kontrol kekuasaan-Nya, sehingga sampai-sampai burung pipit-pun “…seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu” (Matius 10:29). Meski terkadang sesuatu terjadi diluar kehendak kita, kita dengan rela taat kepada Allah, karena kita mengetahui bahwa Allah selalu memberi yang terbaik, seperti yang Yesus katakan jika “yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!” (lukas 11:13)
- MENGELOLA CIPTAAN TUHAN. Setiap individu yang ada di dunia ini mempunyai hak untuk menguasai namun tidak berarti kita bisa berbuat segala sesuatu sesuka hati kita, namun memiliki tugas untuk mengelola semua ciptaan yang lainnya. Ini mengartikan jika kita tidak memiliki tujuan untuk menguasai antar sesama manusia dan jika ini terjadi, maka kita sudah melanggar kodrat yang sudah Tuhan berikan.
Perintah ketujuh menuntut agar keutuhan ciptaan diperhatikan. Binatang, tumbuh-tumbuhan dan makluk tak bernyawa, dari kodratnya ditentukan untuk kesejahteraan bersama umat manusia yang kemarin, hari ini dan esok.( bdk. Kej 1 : 28-31 ). Kekayaan alam, tumbuh-tumbuhan dan hewan dunia ini, tidak boleh dimanfaatkan tanpa memperhatikan tuntutan moral. Kekuasaan atas dunia yang hidup dan tidak hidup, yang Pencipta anugerahkan kepada manusia, tidak absolute sifatnya; ia diukur menurut usaha mempertahankan kualitas hidup sesame, termasuk pula generasi yang akan dating; ia menuntut penghormatan kepada keutuhan ciptaan
Binatang adalah makluk-makluk Allah dan berada di bawah penyelenggaraan illahi ( bdk. Mat 6: 26). Hanya dengan keberadaanya saja mereka memuji dan memuliakan Allah (bdk.Dan 3:57-58 )karena itu manusia juga harus memberikan kebaikan hati kepada mereka. Kita perhatikan saja, dengan perasaan halus betapa besar para kudus, umpamanya : st. Fransiskus dari Asisi, St. Filipus Neri memperlakukan binatang. Ciptaan Allah di bumi ini diciptakan bagi manusia, untuk menolong dan mengejar tujuan manusia diciptakan. Maka bertentangan dengan martabat manusia jika manusia menyiksa dan membunuh binatang dengan cara yang tidak wajar.
- MEMENUHI KEHENDAK ALLAH – BERDOA. Doa dan ibadat merupakan salah satu tugas gereja untuk menguduskan umatnya dan umat manusia. Tugas ini disebut tugas Imamiah Gereja, yaitu Kristus, Tuhan, Imam Agung yang dipilih antara manusia menjadikan umat baru. Oleh sebab itu Gereja bertekun dalam doa, memuji Allah dan mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup suci dan berkenan pada Allah.Gereja memiliki imamat umum dan imamat jabatan.
Imamat umum : tugas pengudusan, berdoa, menyambut sakramen, memberi kesaksian hidup.
Imamat Jabatan : Membentuk dan memimpin umat, memberi pelayanan sakramen-sakaramen.
Doa resmi gereja disebutIBADAT / LITURGI
Sakramen : merupakan liturgi dalam arti yagn paling penuh, yaitu sebagai lambang/simbol adalah melambangkan dan mengungkapakan karya penyelamatan Allah dan pengalaman dasariah manusia yang terselamatkan. Sakramen mengungkapkan karya Tuhan yang menyelamatkan. Sakramen juga meningkatkan dan menjamin mutu hidup kita sebagai orang Kristiani.
Kerinduan besar untuk mengenal Tuhan, bukan lagi lewat buku-buku atau konsep-konsep tetapi dalam diri sendiri. Manusia sesungguhnya terbakar oleh kerinduan untuk mencapai langsung, melihat, menyentuh merasakan Tuhan yang dating di antara kita. Allah sesungguhnya berada di depan mata kita sebagai yang hidup, menyapa dan bertindak, sehingga keberadaan-Nya tidak perlu memerlukan pembuktian-pembuktian. Allah kita alami dalam perjumpaan personal, yang cukup pada dirinya, dan Allah rela dikenal dan dimengerti dan tidak memerlukan jaminan dari luar perjumpaan itu.
Salah satu sarana untuk berjumpa dengan Allah ialah Alkitab, yang menceritkan bagaimana Sabda Allah itu menyapa manusia dan manusia menyambut dalam iman. Lewat Kitab Suci kita diajak berdialog dengan pengalaman iman yang hidup, pengalaman yang mewartakan perjumpaan dengan Allah yang berfirman, bertindak dalam hidup manusia. Berdoa dan merenungkan Kitab Suci merupakan sikap iman yang mau menyerahkan diri agar Allah bertindak menurut kerelaan dan kehendak-Nya. Maka bila kita merasakan dan merenungkan bersama Sabda Allah, kita akan dibantu untuk menangkap tanda-tanda zaman, menemukan kesempatan-kesempatan untuk berbuat kasih dan menjauhi yang jahat, menjawab kebutuhan-kebutuhan mendesak dari sesama kita.
Dalam Kitab Suci Yesus berkata “…dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak”. (Yohanes 14:13). Allah senang menjawab doa, karena pengabulan doa juga membawa kemuliaan bagi diri-Nya. Dalam sudut pandang kedaulatan Allah, pengabulan doa karena doa kita adalah hal yang kedua bagi Allah, sedangkan yang utama adalah Allah berkehendak agar Ia dipermuliakaan atas doa yang dijawab. Karena dasar dari jawaban doa adalah Allah sendiri, maka tidak ada kuasa yang mampu menghalangi karya Allah dalam menjawab doa dan jawaban doa adalah pemenuhan tujuan Allah yang sekaligus menjawab permohonan kita. Oleh karena itu doa yang dijawab adalah doa yang sesuai dengan kehendak dan sifat Allah. Karena itu teruslah berdoa untuk mencari, menemukan, dan melaksanakan kehendak Allah agar Allah dipermuliakan dalam hidup kita.
- BERITAKAN FIRMAN ALLAH/PENYEBARAN IMAN. Seperti yang Paulus minta kepada jemaat Tesalonika“…berdoalah untuk kami, supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan, sama seperti yang telah terjadi di antara kamu,”(2 Tesalonika 3:1). Berita Firman Tuhan adalah kemuliaan Tuhan itu sendiri, dan penyebarannya adalah pelebaran kemuliaan Tuhan yang dipercayakan untuk kita kerjakan. Dan dimana Firman itu diberitakan maka yang mendengarnya akan “berbahagia”, seperti Rasul Yakobus katakan “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.” (Yakobus 1:25).
- KERJAKAN KARYA MISI KRISTUS. Tuhan juga akan dipermuliakan seiring dengan banyaknya orang yang bertobat dan mengabdikan diri mereka untuk menjadi murid Kristus. Rasul paulus berkata, “…berhubung dengan semakin banyaknya orang yang menjadi percaya, menyebabkan semakin melimpahnya ucapan syukur bagi kemuliaan Allah.” (2Korintus 4:15). Sudah cukup banyak kesaksian orang yang rusak hidupnya di pulihkan Tuhan, bukan hanya ia saja yang mengucap syukur atas karya pemulihan itu, melainkan juga dengan orang yang disekitar, baik mereka yang percaya kepada Kristus, maupun yang belum. Sebagai contoh saat Jhon Newton bertobat dari keburukan masa lalunya sebagai orang yang bekerja di perusahan jual beli manusia budak dan bertobat dari kerusakan moralnya, ia melukiskan syukur atas pekerjaan Allah, dimana Allah “berusaha” menemukan manusia yang terhilang dan bejat seperti dirinya dengan sebuah lagu “Amazing Grace” yang dipublikasikannya pada tahun 1779. Lagu itu masih menggema di seluruh dunia sampai saat ini dan membangkitkan rasa syukur kepada semua yang menyanyikan dan mendengarkan lagu tersebut.Saat semakin banyak orang yang bertobat, saat itu pula bertambah bahkan berlimpah ucapan syukur bagi kemuliaan Tuhan.
- SEMANGAT PENGOSONGAN DIRI.
Manakah yang lebih enak, memiliki segala yang dibutuhkan dan bisa memperoleh semua yang diinginkan, atau mengalami keterbatasan dalam banyak hal sehingga merasakan pengalaman tidak mempunyai hal-hal yang didambakan dan tak berdaya mencegah kehilangan hal-hal yang dibutuhkan? Tentu saya kesulitan untuk menetapkan jawaban pada pilihan yang kedua. Bila pertanyaannya mana yang enak, pastilah saya memilih yang pertama. Tetapi dalam karunia Tuhan yang bernama hidup ini, ternyata ada hal-hal lain untuk diraih yang bukan hanya mengenai enak dan tidak enak. Dan hal-hal lain itu sebenarnya justru hal-hal yang paling penting di dalam kehidupan ini dan sesudahnya.
Di dalam masa puasa dan pantang seperti saat ini, ketika saya sedang menahan lapar dan membatasi berbagai keinginan hati saya untuk memuaskan kesenangan diri dan ego pribadi, saya digoda oleh beberapa pertanyaan yang mengusik. Misalnya, bukankah Tuhan sudah menciptakan berbagai kebaikan dalam makanan dan minuman, indra pencecap untuk menikmatinya, serta mengijinkan terbentuknya berbagai benda dan fasilitas yang indah untuk membuat hidup menjadi indah dan nikmat seperti yang Dia maksudkan bagi umat ciptaan-Nya? Mengapa harus menarik diri dari semua itu, apa manfaatnya?
Ketika Yesus Kristus Tuhan kita dengan sukarela menyerahkan segala kekuasaan yang ada pada diri-Nya sebagai Allah untuk mengalami ketidakberdayaan manusia ciptaan dalam berhadapan dengan dosa dan penderitaan, Tuhan mengajarkan kita untuk menggunakan kehendak bebas kita untuk tujuan yang tepat. Kalau mau, tentu Tuhan sangat leluasa untuk memilih jalan yang lebih mudah dan lebih enak untuk menebus dosa manusia. Tetapi justru keputusan-Nya secara bebas adalah untuk masuk dalam penderitaan manusia dengan segenap kehinaan dan pengosongan diri yang total ( bdk. Fil 2 : 1-11). Tidak hanya sama dengan manusia, bahkan lebih rendah lagi, penuh nista dan kesengsaraan
Memilih dengan bebas dan sadar untuk menahan diri terhadap segala kebiasaan yang berdosa dan membatasi untuk menyenangkan diri sendiri memberi kita kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Pengekangan diri adalah awal dari benih-benih ketaatan kepada Sang Pencipta, karena kita dengan sukarela menyerahkan kesempatan untuk memanjakan diri menjadi sarana untuk memurnikan diri kita. Pada saat keadaan kita lapar, terbatas, dan tidak berpunya, hati kita diarahkan kepada kebutuhan kita yang sesungguhnya akan kasih setia Tuhan. Berbagai gelimang kesuksesan dan kemudahan hidup sering mengaburkan kerinduan jiwa kita yang sebenarnya untuk bersama dengan Tuhan. Kekayaan, kehormatan dan kecukupan hidup yang terlalu diagungkan dapat mengurangi kepekaan kita terhadap penderitaan sesama. Orang kaya dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus bukan dihukum karena kekayaannya, namun karena ia begitu tenggelam di dalamnya dan membiarkan kekayaannya itu membutakan mata hatinya terhadap penderitaan Lazarus yang terjadi di depan pintu rumahnya (bdk. Luk 16 : 19-31). Di saat berbagai keinginan dan ego diredam, kepekaan kita kepada keadaan sesama di sekitar kita dipertajam. Merasakan penderitaan dan kekurangan adalah jalan masuk kepada kepedulian dan belas kasihan yang murni. Di dalam solidaritas kita kepada yang lemah, kita menjadi mudah bersyukur atas hal-hal yang kecil dan membuat kita lebih mudah untuk merasa bahagia. Dalam menahan diri untuk tidak menonjolkan diri, kerendahan hati diasah, dan kesombongan ditundukkan, kehausan akan pengakuan dan citra diri diubahkan menjadi kehausan akan cinta Tuhan. Akhirnya, sama ketika kita datang ke dalam hidup ini dengan tidak membawa apa-apa dan menyandang apa-apa kecuali kasih Tuhan yang menciptakan kita, kelak kita akan kembali kepada Tuhan dengan tidak membawa apa-apa pun juga kecuali bergantung sepenuhnya kepada kemurahan kasih dan kerahiman-Nya. Tuhan membutuhkan kesediaan kita dan penyerahan kehendak bebas kita supaya rahmat-Nya dapat bekerja. Tuhan tidak pernah memaksa kita, tetapi kita tahu apa yang kita hadapi bila kita memilih untuk tidak bersama Tuhan. Bila kita belajar untuk taat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, damai sejahtera dan sukacita akan menyelimuti kita, sukacita yang tidak sama dan tidak dapat diberikan oleh dunia ini, yang serba sementara dan menuju kepada kesudahannya. Masa Prapaska adalah masa penyadaran kembali tujuan hidup kita yang sebenarnya. Bersama Kristus yang dengan rela menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya Ia dapat menyertai kita hingga selamat sampai ke rumah Bapa (Yoh 14:3). Marilah kita memilih dengan bebas untuk mengosongkan diri dan membiarkan diri kita dialiri sepenuhnya dengan kuasa kasih dan damai-Nya yang memberi hidup. Inilah cara hidup yang memuliakan Allah.*yb
PERTANYAAN REFLEKSI :
- Menurut Kej 1:26-30, temukan kemuliaan Allah yang diberikan kepada Adam dan Hawa?
- Menurut Kej 3: 1-24, karena tipu daya iblis, Manusia menukar Kemuliaan Allah melalui ketidaktaatan: Apa yang manusia masih miliki, dan apa yang tidak lagi manusia miliki setelah kejatuhan dalam dosa ?
- Apa arti “ Yesus dimuliakan di atas gunung” menurut perikop Lukas 9 : 28-36 jelaskan ?
- Dari beberapa cara hidup untuk memuliakan Tuhan di atas, mana yang masih kurang kuhidupi? Bagaimana usaha Suster dalam menghayati hidup untuk memuliakan Allah baik secara pribadi maupun bersama dalam komunitas ?
Sumber bacaan :
1.Peter G van Breemen SJ, Semangat Kristiani, Kanisius, Yogyakarta : 1976
2.St. Ignasius Loyola, latihan Rohani, kanisius, Yogyakarta 1993
3.Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995
4.Kitab Suci, Konstitusi, internet
Recent Comments