Mgr.Bouma sendiri mengakui bahwa Allah adalah Sang Pembangun Sejati. Apa yang dibangun Allah? Allah membangun umat-Nya, Gereja-Nya. Bouma menempatkan dirinya sebagai “pekerja bangunan”. Meski pun pada masa itu, Bouma dijuluki “Si Pembangun”, namun kesadaran ini tampak jelas dalam semboyannya : “Nisi Dominus Aedificaverit”; Jika bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnnya.”
Diakui banyak bangunan yang dibangun oleh Bouma pada awal masa kepemimpinannya. Kegemaran dalam membangun pada masa sulit itu, tentu berbeda dengan masa sekarang yang tampak banyak kemudahan. Tidak sedikit kesulitan yang dialami. Dikisahkan bahwa kesulitan utama dalam membangun adalah dana dan personalia untuk membangun.
Untuk mengatasi problem ini, Bouma berusaha keras memikirkan, mempertimbangkan , memutuskan dan melakukan banyak perubahan. Kemampuannya untuk membaca peluang, dengan visi ke depan yang cemerlang, menggerakkan semangatnya yang gemar membangun. Meski diterpa berbagai problem, Bouma tidak berhenti membangun.
Meski gemar membangun, Bouma tidak asal membangun. Bouma membangun dengan hati dan cara yang sistematis. Hati yang bergelora oleh rasa kasih untuk memberikan yang terbaik bagi Sang Pemilik Bangunan. Membangun menjadi kegemarannya. Karena gemar, maka semangatnya berkobar-kobar untuk membangun.
Bouma membangun dengan cara sistematis. Sifat sistematis ini memang sudah ada dalam dirinya. Bouma memiliki cara pikir, cara kerja dan cara bertindak yang sistematis. Karenanya Bouma sadar, ketika mengelilingi wilayah prefekturnya, dia menemukan penyebab kegagalan karena kurang sistematis. Tentang pengelolaan karya misi pada masa – masa sebelumnya, Bouma menulis : “ Antara tahun 1853 dan tahun 1880 di daerah Bangka Belitung dan Riau telah tinggal ribuan orang Katolik. Kebanyakan dari mereka kembali ke China sesudah beberapa tahun dan dari yang lain hanya tinggal deretan makam di pekuburan. Jadi dalam abad ke-19 sudah ada misi yang cukup berhasil di Bangka, tetapi akhirnya gagal karena kurang sistematis.
Sebagai seorang pekerja bangunan, Bouma belajar cara membangun yang benar dari Sang Pembangun Sejati, Tuhan sendiri. Belajar dari pengalaman kegagalan di masa lampau serta menggunakan sepenuhnya kemampuan dan ketrampilannya, Bouma siap sedia dan giat membangun.
Bouma tahu dengan pasti seluk-beluk membangun sesuai skala prioritas. Ada tempat yang harus ditinggalkan dan ada yang perlu perubahan. Ada bangunan yang harus dibongkar dan yang lain harus dipasang. Ada yang harus dibeli dan ada yang harus dijual. Ada lahan yang ditutup dan ada yang harus dibuka. Ada yang dapat dimanfaatkan kembali dan ada yang mesti diganti baru sama sekali. Kepiwaiannya dalam merancang dan mengerjakannya tidak diragukan. Tidak mudah dan kadang terjadi konflik tetapi Bouma tetap terus membangun.
Bouma menginginkan agar kualitas bangunan kokoh. Bangunan fisik gereja dan bangunan rohani Gereja, kokoh kuat di tengah dunia. Bersama para tukang bangunan lainnya, Bouma menghadiahkan kepada misi sebelum Perang Dunia Kedua, banyak gedung dan berkualitas tinggi.
Benar, adanya. Rancangan yang sistematis, cara kerja sesuai standar yang tepat, memberikan hasil yang memuaskan. Melalui bangunan gedung yang kokoh kuat, Bouma memiliki harapan, Gereja sebagai umat Allah yang dibangun seiring sejalan dengan bangunan gedung-gedung ini, semakin kokoh imannya.**hm
Recent Comments