Apakah mereka pelayan Kristus? — aku berkata seperti orang gila — aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut.Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan,tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut.Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu.Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat.Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? (2Kor 11 : 23 -29)

Kutipan indah ini ditulis oleh penulis Buku Monsignur Vitus Bouma, SSCC, yang disematkan pada bagian akhir  kisah tentang penderitaan Bouma dalam tawanan selama  tiga tahun. P.Jan Wouters, SSCC penulis kisah singkat Bouma ini meyakini bahwa ayat-ayat dari Rasul Paulus tersebut, dapat diterapkan pada tahun-tahun dan tentu saja bulan-bulan terakhir waktu Bouma bersama tawanan di Lubuk Linggau. Refleksinya indah dan menyentuh hati, bagi para konfrater yang mengenalnya sampai akhir. Para putri Bouma juga punya kasih yang selalu dapat dikisahkan tentang Bouma, bapa pendiri Kongregasi yang kisahnya tiada akhir dan belum pernah habis tergali dan tak akan usai.

Kisah deritanya dalam tawanan diterima dengan lapang dada, di luar kehendak dan kemauan sendiri , menjadi bagian istimewa yang pantas dikenang dan direnungkan lebih mendalam. Menderita bukan karena kesalahannya, bukan karena kelemahan dan kekurangan manusiawinya. Bukan pula karena salah perhitungan. Bouma menderita karena ikut ambil bagian dalam penderitaan semua orang lain yang terdampak dalam  percaturan polik dunia, perang dan kekerasan, penjara dan tahanan, terasingan, keterpisahan dan penawanan.

Bouma tahu betul, bahwa di dunia ini, ada hal-hal yang bisa direncanakan dengan cermat dan sistematis, diatur dan ditata, dikelola sedemikian rupa agar teratur, terarah dan selaras. Tapi dalam kebijaksanaanya, Bouma sadar pula bahwa ada hal-hal yang di luar jangkauan, bahkan untuk menahan, menghindari atau mengendalikan sendiri, sungguh tidak mampu, sebab di luar kemauannya. Bersama kebanyakan orang lain pada masanya, Bouma menjadi bagian dari golongan korban yang hanya dapat menerima tanpa menghakimi situasi, sembari berjuang sekuat kemampuan,  melakukan apa yang masih bisa dilakukan, merias diri dengan kesabaran ekstra, menyelubungi jiwa dengan iman.

Kekuatan dan keberanian Bouma,  ketenangan dan keikhlasan hatinya  menerima semua realita derita, dilandaskan atas iman akan Allah yang hidup, yang senantiasa mengasihi, yang menjadi sumber kekuatan dan pengharapannya. Nisi Dominus Aedificaverit selalu menggema dalam hati. Jika bukan Tuhan yang mengizinkan terjadi, sesuatu tidak mungkin terjadi. Sebab Allah pasti turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi semua yang dikasihi-Nya( bdk.Roma 8 :28). Kalaupun terjadi, yang tidak dikehendaki hati insani  karena kerapuhan manusiawi yang ingin menghindarkan diri, masih selalu ada sebersit keyakinan dalam hati, bahwa Allah pasti menyediakan yang lain, yang lebih baik. Allah pasti sedang merancang masa depan yang lebih indah menurut kemauan-Nya.

Dari sisi usia, Bouma masih cukup muda dan produktif, sedang berada pada puncak perjuangan untuk jiwa-jiwa. Sesaat, dalam hitungan hari semua itu usai, berhenti, titik. Selesai dan tak teraih kembali, meski hati berharap dan semangat keras membaja mencoba berjuang. Perlahan-lahan, harus belajar melepas, melepas setahap demi setahap. Melepas semua rencana dan impian diri dan belajar memandang  dengan kaca mata lain yang lebih mendalam yakni iman. Semua dilepaskan dari genggaman dan berjalan dengan tangan kosong menuju rumah tahanan.

Dalam kekosongan dan kehampaan , jiwanya dipenuhi dengan kekuatan dan keberanian. Ada secercah harapan dan impian baru dan sejati, yang tersembunyi di balik segala aktivitas manusiawi, kini menampilkan diri. Tidak ada kata putus asa, tidak menyerah kalah dengan keadaan, tapi mengubah semua itu, hanya dalam pikiran dan hati untuk siap menerima segala situasi. Maka meski aktivitas aktif kreatif tak dapat diraih lagi, namun Bouma masih dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah yang istimewa yakni  percaya, berharap, berdoa dan berserah yang sebenarnya merupakan hal utama dan sentral dalam hidupnya sebagai misionaris. Sebab bukan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan dan aneka kesibukan pelayanan yang menyenangkan hati-Nya. Seringkali, Allah lebih menghendaki untuk duduk bersama dengan-Nya dan memikirkan-Nya melalui permenungan dan doa,  berdialog, atau sekadar memandang-Nya, mengagungkan dan memuliakan-Nya.

Dalam akal insani, kisah penawanan merupakan kisah derita yang dihindari.  Namun, cobalah kita sesekali menyelami batinnya. Siapa yang  tahu dalam hati Bouma, kalau penjara dan tawanan baginya, tidak lain merupakan ‘kapel” , tempat pertemuannya dengan Allah? Siapa yang dapat menyelami batin Bouma jelang 76 tahun yang lampau, bahwa melangkah menuju penjara merupakan langkah mantap bersama Yesus tersalib, seperti Simon dari Kirene, seiring seperjalanan, selangkah dengan Yesus memikul salib? Siapa dapat menyelami kerinduan batin seorang misionaris, yang dalam hatinya bercita-cita menjadi martir sejati? Hanya Allah dan Bouma yang tahu, kedalaman batinnya saat itu.

Boleh jadi penjara dan tawanan yang dihindari banyak orang, bagi Bouma dapat berubah seperti sekolah atau  gedung Gereja, tempat orang-orang menimba ilmu pengetahuan dan kekuatan. Pengetahuan akan Allah yang penuh cinta dan kekuatan Ilahi.Bisa jadi, saat-saat tiga tahun penuh kesukaran dan siksaan, kesulitan dan derita, merupakan saat yang lebih indah dari saat di bangku kuliah, atau saat di balik meja direktorat, atau bahkan mimbar atau altar? Siapa tahu  tembok-tembok penjara yang tinggi dan sempit, yang bagi banyak orang adalah tempat penyiksaan, perendahan harga diri, bagi Bouma justru merupakan kaca tembus pandang untuk memandang Allah? Siapa yang tahu, jika para sipir yang keras di mata Bouma merupakan sahabat-sahabat seperjalanan? Jika sebelumnya, derita keluarga-keluarga hanya dalam bayangan dan doa, kini dia sendiri menjadi bagian dari mereka.

Tidak ada yang tahu,  kedalaman hati Bouma. Bouma memang dikenal khalayak adalah seorang  hebat, cerdas dan bijak, pemimpin yang visioner, dengan deretan kekaguman lainnya dari sisi insani. Bisa jadi, Bouma sendiri tidak menyadari semua itu, yang ada dalam benaknya, dia adalah hamba Tuhan. Yang menggema dalam jiwanya, dia adalah pelayan Kristus. Orang lain boleh memberi nilai, menaruh hormat atau dan memberi gelar sesuai pengamatan dan pengalaman mereka. Itu bukan target Bouma, sama sekali bukan. Jika kesadaran diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan Kristus itu sungguh hidup dalam dirinya, maka terjawablah sudah semua  pertanyaan  yang menggaung dalam pikiran kita, ‘Siapakah dia? Dia yang rela terlupakan dan tak diingat, bahkan sebelum masa prefeknya berakhir tidak banyak yang  mengingat lagi. Bouma sungguh-sungguh pelayan Kristus.Yang memfokuskan diri hanya untuk Kristus. Karena cinta akan Kristus, semuanya rela dijalani, dalam setiap masa, entah untung atau malang, dalam suka dan duka, dalam kegembiraan dan kesukaran.

Sebagai seorang pelayan, ke mana pun Sang Tuan pergi, dia harus mengikuti-Nya.Apa yang dititahkan Sang Tuan, akan dilakukan dengan segera. Apa yang terjadi dengan Sang Tuan, tidak menjadi penting, tapi di mana kaki Sang Tuan berjejak, di situlah juga kaki sang pelayan berjejak. Jika Sang Tuan berjalan dalam derita, ke situ pula sang pelayan bergabung.

Meski seorang hamba tak pernah melebihi tuannya baik dalam kemenangan maupun dalam derita, namun setidaknya si hamba yang memiliki keberanian iman akan menyusuri jalan yang sama. Jalan Yesus Sang Misionaris Agung adalah jalan salib. Jejak Yesus sang Misionaris ini yang ditapaki oleh Bouma, maka tawanan bukanlah sebuah penderitaan yang naïf. Bukan pula suatu aib, tapi suatu kejayaan seorang gembala dan pemimpin, yang dihadiahkan untuk menjalani misi seperti sang Gembala Agung. Seperti seorang  murid yang seiring sejalan dengan Sang Guru, akan mencapai tempat yang dituju demikian Bouma berguru, dari Sang  Guru agung dalam setiap situasi.

Bagiku inilah makna penawanan yang terdalam. Kilasan cinta dibalik tembok penjara yang menyeramkan. Kematangan cinta untuk Allah, diuji melalui berbagai-bagai masalah dan pencobaan.  Dan karena Allah yang tahu segalanya , alur dan jalan hidup, pastilah Allah pula yang tahu bahwa Bouma mampu menanggung semua itu. Dan ini terbukti, tetap setia sebagai tawanan kasih sampai akhir.  Martir sejati tanpa menumpahkan darah dan tak bernama dan tak termeterai. Hari ini, 76 tahun yang lalu tepatnya 19 April 1945, pada pukul 08.30 WIB , di tawanan Lubuk Linggau , Sumatera Selatan, dalam ketenangan dan kesahajaan, Kristus menjemput pelayan-Nya yang setia, yang sekali menjejak kaki di bumi pertiwi, tak pernah menoleh ke belakang dan berniat untuk kembali atau berlari. Sekali untuk selamanya, selangkah maju bersama, serarah dan sepandangan.

Bapa Bouma terkasih, jejak kasih dan semangat pelayanan yang kauwariskan, menjadi kerinduan kami. Doakan kami agar langkah kaki kami tidak goyah, tidak menjadi lemah letih atau lesu dalam perjalanan ini, terutama saat-saat sulit seperti di masa pandemic ini. Rasanya tidak ada bedanya antara perang dan pademi, antara tawanan dan rumah sendiri. Seperti engkau setia sampai akhir, doakan kami setia sampai akhir, entah bagaimana pun cara dan tempat yang terbaik yang disediakan Sang Kasih Ilahi.*hmartine