Pada hari Kasih sayang ini, hendak kutulis sebaris kisah yang kutemukan dalam diri bapa pendiri Mgr Vitus Bouma, SSCC atas cintanya  yang diperjuangkan sampai akhir  bagi Allah dan bagi jiwa-jiwa. Memang, selama hidupnya nyaris tak ada  kata-kata cinta yang terungkap. Mungkin karena tidak sempat dicatat atau diingat oleh penulis kisahnya. Mungkin pula, karena Bouma seorang pendiam, tidak banyak yang diungkap  seperti masa kini.  Bagiku,bukan soal warisan kata-kata yang dikisah, tapi kisah hidupnya sudah merupakan warisan berharga yang tak  perlu diungkapkan dengan kata-kata. Membaca, mendalami, merenung dan mengkontemplasikan kisah hidupnya, tanpa suara dan tanpa kata pun, aku dapat merasakan cinta  itu begitu kuat mengalir dalam dirinya.

Bagi seorang yang bijaksana seperti Bouma, kata-kata bukanlah  penentu kebajikan dan kesempurnaan hidup. Hanya tindakan cinta yang mengalir dari hati yang penuh cinta, dapat meyakinkan kita akan kasihnya yang dapat dikisah dan diabadikan, ditampilkan dan dihidupkan kembali. Aku hanya merindukan setiap kali perayaan hari kasih sayang ini, yang mungkin tidak pernah dirayakannya secara istimewa pada masa hidup Bouma, seperti masa kini, selalu menjadi pengingat jiwaku dan menuntun langkahku untuk berani mencintai  tanpa pretensi apapun. Masa kini telah dipenuhi dengan aneka warna-warni ungkapan kasih, yang kadang hanya bermakna artifisial. Mungkin juga sekedar kamuflase untuk mendustai publik dan netizen tentang cinta yang diabadikan. Bisa jadi hanya  sebagai bahan promosi untuk menarik perhatian.

Tentang cinta bapa Bouma kepada Allah yang diwujudkan melalui kecintaan terhadap tanah misi, tak diragukan. Terbukti dari banyaknya upaya di tengah kesulitan dan kesukaran yang tak terbilang. Meski susah, tetap diupayakan. Meskipun sulit tetapi menjalani dengan rela hati. Tidak ada unsur promosi. Semuanya mengalir tenang dalam keheningan dan tersembunyi. Tidak ada keindahan kata yang enak didengar  indra dan membangkitkan kekaguman rasa. Cintanya tumbuh dalam diam. Cintanya berkembang dalam ketenangan. Cintanya berbuah lebat dalam keheningan. Dan Allah yang melihat semuanya yang tersembunyi itu tentu berkenan akan semuanya.

Beragam hambatan dan tantangan tidak berkurang, demikian juga semangat juangnya tidak surut. Rintangan dipandang sebagai peluang untuk berkiprah. Tantangan diterima sebagai kesempatan untuk berjuang. Cinta yang menuntut pengorbanan jiwa raga, fisik dan mental, waktu dan tenaga. Karena cinta pula, dalam hidup Bouma, tak ada waktu yang terbuang percuma atau berlalu dengan sia-sia. Tidak ada keengganan apalagi malas. Sakit raga pun ditahan. Kesukaran batin ditanggung dengan lapang dada. Salah paham, beda pendapat, konflik dan penolakan diterima dengan lapang dada dan dipersembahkan sebagai olah silih kerapuhan raga dan jiwa. Bahkan karena cinta pula, kisah pilu dipandang sebagai kehendak Allah yang tersembunyi  dalam kerapuhan manusiawi.

Pikiran, budi dan hatinya  bersatu  erat berpikir, menimbang, mencari  cara yang tepat sasar untuk beraksi  memberantas kebodohan karena minimnya pendidikan. Riak hatinya yang penuh bela rasa, tak tertahan mana kala menyaksikan betapa rentannya hidup keluarga yang rapuh karena kesehatan. Tak sempat berpikir  untuk menyenangkan diri atau menikmati hari untuk berlibur dengan santai. Bahkan sekedar untuk makan sedikit lebih enak atau sekadar bersukacita dengan pesta. Hidup sangat sederhana, tanpa pesta-pesta. Batinnya telah menyatu dengan derita keluarga meski tak terungkap. Tapi, dari gencarnya pembangunan yang dilakukan dan berbagai upaya membuktikan cintanya yang tak terungkap. Penderitaan sehari-hari, diterima dengan senang hati sebagai kesempatan untuk berbuat kasih. Kesukaran dalam pelayanan misi, dijalani dengan ikhlas hati sebagai kesempatan untuk berkurban dan melakukan keutamaan.

Misi Bapa Bouma, bukan sekedar wacana, kotbah atau renungan tetapi sebuah aksi. Sudah lebih dari cukup menjadi pengajar, semasa masih dalam pendidikan di seminari tinggi, yang berkobar-kobar mengajar tentang misi. Sudah bukan waktunya lagi untuk mengajar dengan kata-kata di depan kelas, atau memberi bahkan mengorganisir berbagai seminar tentang misi. Sudah usai saat  untuk  sekedar berimajinasi tentang misi dan menuangkan dalam cerita bersambung. Apa yang ada dalam impian, dalam bentuk dan cita-cita yang masih tersimpan dalam hati yang membara berkobar-kobar, seolah padam ketika kaki berpijak di tanah misi tercinta.

Cinta hatinya bapa Bouma yang penuh keberanian dan kreatif memoles kata-kata indah sebelumnya menjadi sebuah tindakan tanpa kata. Dia yang terkenal pandai bicara dengan semangat berkobar-kobar tanpa kenal lelah, kini di tanah misi dikenal sebagai yang pendiam, tak banyak bicara. Namun, meski tanpa kata, pandangan matanya mampu menembus ke dalam jantung tanah misi, untuk menemukan harta tersembunyi dalam jiwa-jiwa.

Komitmen cintanya tidak berubah, hanya lokus cintanya berubah. Dari kelas menuju lahan tambang timah. Dari berekspresi di depan mahasiswa, kini berkiprah di tengah kaum imigran tambang. Semangat cintanya tetap sama. Mencintai para siswa di kelas sama dengan mencintai para kuli tambang di kolong tambang timah. Karena bagi Bapa Bouma, bukan karena tempat, bukan pula karena situasi. Bukan karena orang-orang, tapi semua karena cinta kepada Allah dan jiwa-jiwa. Seperti kepada para siswanya, Bouma memberikan segala yang terbaik dari seluruh dirinya, demikian pula di tanah misi, semua yang terbaik dari dirinya, dicurahkan sampai sehabis-habisnya.

Penjara dan tawanan bukan penghalang untuk mencintai. Sebab tak ada beda antara di rumah, biara, gereja, pastoran, tanah lapang, kolong timah atau bui. Sebab tempat tidak mengikatnya untuk bebas mencintai. Hatinya bebas mencintai setiap jiwa, tidak hanya sejauh matanya hatinya memandang, tetapi juga sedalam batinnya merasakan sentuhan cinta untuk terus mencintai sampai akhir. Hatinya bebas mencintai Allah, yang setia dipandangnya dengan mata hati yang tak terhalang oleh apapun.

Dari mana cinta itu berasal? Dari kerinduan yang membara untuk selalu menyatu dengan cinta hati Yesus dan Bunda Maria, dua hati yang dirindukan agar berdetak seirama dengan detak jantungnya. Menimba selaksa cinta dari dua cinta yang senantiasa berkobar tanpa pernah surut. Cinta kedua hati ini, yang menghidupi, melingkupi, menjaga cinta hatinya untuk selalu bernyala sampai akhir.

Pekatnya malam dalam tahanan bertahun-tahunan lamanya, tidak berhasil memadamkan kobaran cintanya. Tetap mencinta meski dibatasi tembok-tembok tebal. Sebab cinta bebas berkelana tanpa batas ruang dan waktu. Karier aktif yang memukau  dipatahkan dalam sekejab di tengah  dan  dipaksa untuk menyerah kalah. Impian indah yang berkelana dalam benak jiwa, dirampas seketika untuk melumpuhkan cinta hatinya yang sedang berpawai ria. Usia relatif muda dengan semangat menggelora untuk berkarya seperti dilumpuhkan menjadi tak berdaya. Raga boleh terkurung. Mata boleh ditutup. Tangan mungkin boleh diborgol.Ide-ide gemilang boleh dibekukan. Tapi, tentang cinta yang mengalir dari hati, tak ada yang mampu menahan, mematikan atau memadamkan kobarannya. Dalam keterbatasan, cintanya makin membara, dan kemartiran tersembunyi itu menjadi makin nyata. Bouma mengabdi dengan berani menderita karena cinta.

Mungkin tidak mudah membedung ide cemerlang yang mengalir sia-sia. Tidak mudah juga membiarkan kekuaran raga perlahan surut dimakan penyakit karena kurang makan. Lapar, dahaga, malang dan merana. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan insani dalam tawanan. Tapi, tentang cinta, semakin kecil peluang untuk beraksi, semakin sempit waktu untuk bersaksi, semakin besar, lebar dan luas hasrat hati untuk mencintai tanpa batas insani. Menerima semuanya tanpa menghakimi. Menyerahkan semuanya  ke tangan Sang Khalik tanpa menahan sedikit pun untuk diri. Besar harapannya untuk pulih dan membaik segenap situasi.

Bouma tak berhenti dan menyerah kalah. Tidak lemah di tengah tantangan. Meski mungkin hatinya gemetar dan lidahnya kelu untuk berkisah, cinta hatinya tetap membara untuk Sang cinta yang menjaga cintanya sampai akhir. Bouma berani menelan segala kisah pahit yang hanya Tuhanlah yang tahu pasti semua derita jiwanya. Tidak ada niat sedikit pun untuk hindar dari derita atau sekedar mendapatkan dispensasi dan keringanan atau kemudahan. Bouma yang penuh keberanian iman ini, memilih tetap mengasihi sampai akhir. Bouma tetap memilih mencintai sampai waktu hidupnya usai.

Dan inilah cinta yang diwariskan kepada putri-putrinya yang tercinta, yang dengan mata imannya sudah jauh melihat keberadaan mereka. Dengan cinta pula, Bouma telah berdoa agar para putrinya memiliki cinta yang tetap dan tidak kendor di tengah dunia dan dimampukan untuk memandang setiap kesulitan dan tantangan sebagai sapaan istimewa untuk bergegas melakukan keutamaan kasih. Tentang cinta ini, bukan sekadar harapan, tapi Bouma sendiri membuktikan dengan hidupnya yang tetap mengasihi sampai waktu hidupnya usai. *hm