“Di dalam Keluarga Suci, kehendak Allah dinyatakan kepada Maria dan Yusuf yang hidup sederhana dan tersembunyi di Nasaret. Mereka memandang kehendak Allah sebagai tugas penting dalam mencari dan mendengarkannya. Mereka menyalurkannya dengan penuh syukur kepada orang lain, dan membawa orang ke dalam satu keluarga  Bapa.( Kont. 6)

Meskipun hidup sederhana, Keluarga Kudus selalu mengutamakan kehendak Allah di atas segalanya. Kesederhanaan hidup mereka di Nasaret tidak menghalangi mereka untuk bermurah hati kepada yang lain. Mereka hidup tersembunyi  bukan bersembunyi atau menyembunyikan diri. Tersembunyi dalam arti apapun yang mereka lakukan bagi orang lain, tidak diwartakan, dikisahkan kembali atau dipromosikan, sebagaimana kebanyakan dari orang yang telah berbuat baik. Dalam diam, dalam keheningan mereka melakukan tindak cinta yang diperuntukkan bagi kemuliaan Allah.

Kemurahan hati mereka dalam berbagi kasih, berbagi rezeki, merupakan ungkapan iman dan cinta mereka kepada Allah. Karena merupakan ungkapan iman dan ungkapan kepada Allah, maka cukup Allah saja yang tahu. Mereka tidak melakukan sesuatu jika bukan untuk Tuhan dan dikehendaki Allah sendiri. Kehendak Tuhan merupakan tugas penting, tugas utama, tugas pokok  bahkan tugas istimewa dalam seluruh hidup mereka.. Karena itu rutinitas mereka adalah berjuang, bekerja keras, berupaya untuk mencari dan mengenal kehendak Allah apa pun resikonya. Kehendak Allah dicari  dengan segala cara, dalam doa dan permenungan, dalam keheningan, dalam kesederhaaan hidup sehari-hari, dan dalam peristiwa hidup Yesus Kristus. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, mereka melakukannya sebagai suatu tindak cinta kepada Allah. Sesudahnya mereka memberikan, menyalurkan kepada orang lain, sesama di sekitar bahkan bagi seluruh dunia. Apa yang pertama-tama diberikan kepada dunia? Bukan harta kekayaan, buka materi, tetapi terutama mereka menyalurkan rahmat dan berkat Tuhan bagi orang lain, bagi dunia. Rahmat dan anugerah itu ada dalam diri Yesus Kristus, Putra  Allah yang menjadi manusia dan tinggal dalam rumah tangga mereka.

Yesus, yang adalah sumber segala rahmat dan berkat, ada dan hidup dalam keluarga mereka. Yesus yang adalah pemberi rahmat hadir di tengah mereka. Dengan mengasihi Yesus, mengasuh dan merawat penuh cinta dan kasih sayang dalam hidup keluarga mereka, mereka menyalurkan berkat bagi dunia. Berkat yang tersembunyi dan tidak kelihatan, namun dampaknya  meluas, menyuburkan, menghidupkan dan menyelamatkan dunia. Sungguh luar biasa, komitmen hidup Maria dan Yusuf. Seluruh hidup, seluruh jiwa raga diberikan untuk melakukan kehendak Allah.

Yesus mengalami kemurahan hati Maria dan Yusuf sejak dalam kandungan Maria dan sepanjang seluruh masa hidup-Nya di dunia sebagai seorang manusia dalam keluarga Maria dan Yusuf di Nasaret. Secara manusia, seluruh kebutuhan Yesus, terpenuhi oleh karena kemurahan Allah yang terpancar melalui kemurahan hati Maria dan Yesus, yang mencintai Yesus sehabis-habisnya.  Kemurahan hati Yusuf nampak sejak awal, ketika berani menerima Maria yang telah mengandung Sang Sabda dari kuasa Roh Kudus. Yusuf melepaskan seluruh kehendaknya dan menyesuaikan diri, menyelaraskan hati, menyatukan budi dan pikiran dengan daya Ilahi supaya kehendak Allah terjelma nyata dalam kehidupannya. Yusuf menerima Yesus dalam hidupnya adalah kemurahan hati yang besar. Menerima Maria tunangannya yang sedang mengandung, merupakan kemurahan hati yang besar. Konsekuensi dari penerimaan itu, sepanjang usianya, Yusuf bekerja keras untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarganya. Hidup Yusuf seluruhnya merupakan pemberian diri yang penuh dan utuh kepada Allah, untuk mengasuh Yesus yang hadir dalam keluarganya.

Demikian juga Maria, betapa besar kemurahan hatinya, yang merelakan diri dipakai Allah secara khusus dan istimewa untuk mengandung, melahirkan, mengasuh dan mendampingi Yesus Putra Allah, sampai akhir hayat. Seluruh hidup Maria menjadi sebuah pemberian diri, jiwa dan raga seluruhnya. Suatu penyerahan total tanpa batas, yang hanya dapat kita pahami dari aspek imani. Sebab sekali Maria menjawab ‘Ya” kepada Allah,setiap waktu Maria belajar utnuk selalu memberi yang terbaik dan seutuhnya bagi Yesus, Putra Allah. Sekali berkomitmen menyerahkan diri kepada Allah, dengan fiatnya, tidak pernah disesali, tidak pernah kecewa, tidak pernah berhenti dan mundur. Semua diberikan untuk Allah dan untuk dunia. Kemurahan hati Maria tersembunyi, karena memang aksinya hanya berlansung di sekitar rumahnya saja, rumah Nasaret. Tapi besar cinta dan pengorbanan dalam seluruh hidupnya, demi kehendak Allah terwujud dalam diri Yesus dan dalam seluruh dunia.

Hanya orang yang murah hati, tahu bagaimana memberikan diri sepenuh hati. Hanya orang yang murah hati, tahu bagaimana mengampuni dan melupakan yang sudah berlalu. Hanya orang yang murah hati, siap berbagi kasih, berbagi cinta dengan yang lain. Hanya orang yang murah hati tidak pernah mengharapkan apa-apa lagi, selain bersyukur dan bersukacita dalam Tuhan, karena boleh ikut serta menyalurkan rahmat dan berkat Allah bagi dunia. Maria dan Yusuf, adalah pribadi-pribadi  penuh cinta yang memiliki kemurahan hati yang sangat luar biasa besar dan mengagumkan. Semua kehidupan orang kudus, zaman dulu dan masa kini, yang mengambil bagian dalam kemurahan hati Allah, memandang untuk meneladani kemurahan hati Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yusuf.

Bila kita merenung kemurahan hati Maria dan Yusuf, kita boleh mengatakan, sungguh layak jika Yesus juga bertumbuh menjadi seorang manusia yang murah hati. Dan kemurahan hati Yesus terbentuk, tertanam, terpelihara dari pembiasaan tindak cinta dalam kemurahan hati dari kedua orang tua-Nya. Yesus juga sangat bermurah hati.  Yesus  mengatakan dalam Injil Lukas 6 :36 ; “ Hendaklah kamu murah hati sebagaimana Bapamu adalah murah hati”, kita memahami bahwa memang Yesus sendiri telah  mengalami kemurahan hati Allah yang  pertama-tama dilihat, dialami dan dirasakan dari sosok Yusuf ayah-Nya dan dari Maria ibu-Nya dalam hidup keluarga di Nasaret. Betapa pentingnya penanaman nilai kemurahan hati ini dalam keluarga-keluarga, dari pribadi ayah dan ibu kepada anak-anaknya.

Dengan demikian, sangat mungkin bagi kita juga untuk murah hati, jika berani bercermin dan mencontoh hidup Keluarga Kudus Nasaret. Seperti apakah bentuk nyata kemurahan hati yang dikehendaki Yesus?  Sabda Yesus selanjutnya dalam Lukas 9 :37 – 38 menerangkan maksud tersebut. Ternyata murah hati itu, bukan sekadar pemberian materi, bukan juga sekedar penyerahan diri kepada Allah dalam doa-doa, tetapi suatu praktek hidup berkarakter baik dan benar di hadapan Allah dengan suatu keyakinan bahwa kehendak Allah diutamakan di atas segalanya. Yesus menyebut antara lain tidak menghakimi, tidak menghukum, mengampuni dan memberi. Ada alasan jelas untuk dua larangan pertama yakni tidak menghakimi dan menghukum, supaya ktia sendiri tidak dihakimi dan dihukum.  Dan dua perintah terakhir : Ampunilah dan berilah,  dengan alasan yang jelas pula, bahwa kita akan diampuni dan memperoleh berlimpah-limpah dari apa yang telah kita berikan.

Empat hal inilah yang menjadi takaran bagi kita untuk bermurah hati. Memberi materi, memberi waktu, memberi tenaga, bakat, kemampuan, tidak cukup. Kemurahan hati mencakup sampai pada ranah batin dan iman, yakni mengampuni. Pengampunan merupakan wujud kemurahan hati yang terbesar. Tidak pernah menghitung dan mengingat kembali apapun yang dilakukan orang lain terhadap kita. Dan ternyata tidak mudah dalam realitas. Kita akui, tidak mudah mengampuni, jika kita masih terbiasa untuk menghakimi dan menghukum.  Tidak gampang kita mengampuni, jika kita tidak terbiasa untuk memberi pemberian dalam hal-hal sederhana. Kemurahan hati itu, bukan hanya satu dua kali. Bukan sekali waktu, atau sewakatu-waktu, bukan sedang senang hati. Murah hati itu hendaknya menjadi suatu pembiasaan yang akhirnya berkembang menjadi karakter. Memang secara manusia kita tidak mampu untuk terus bertahan dalam berbuat baik dan murah hati. Tapi  jika kita mengandalkan Tuhan, pasti rahmat Tuhan akan memampukan kita.

Kegagalan dalam perjuangan menghidupkan karakter ilahi dalam diri kita, lebih disebabkan karena kita terlalu percaya diri dan mengandalkan kemampuan diri, serta perhitungan manusiawi. Kita lupa kalau hanya rahmat dan kasih Tuhan sendiri yang pada akhirnya memampukan kita.  Sebab sebagaimana Maria dan Yosef, yang selalu bersama Yesus, mencari dan melaksanakan kehendak Allah, maka mereka mampu untuk bermurah hati. Demikian juga kita, jika kehendak Allah dipandang sebagai tugas penting untuk senantiasa mencari dan melaksanakannya, maka dalam naungan Roh Kudus ada jaminan bagi kita untuk bermurah hati seperti Bapa di surga bermurah hati kepada kita.*hm.