Nuansa hidup keluarga dan komunitas kita akhir-akhir ini, entah disadari atau tidak, sangat rentan dengan konflik dan perpecahan. Banyak di antara kita cukup mudah merasa sensitif, tersinggung, terluka, sakit hati, marah, bahkan bisa naik pitam. Bermula dari hal-hal sederhana soal remeh-temeh tetapi bila disulut dengan reaksi emosional, maka berkobar jadi masalah besar bahkan berkepanjangan. Tidak jarang konflik ringan menjadi pertentangan hebat yang bertahun-tahun menyimpan amarah dan dendam .Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menjelekkan, saling menyakiti, saling melukai bahkan sampai akhir hayat masih membawa luka batin yang dalam yang tak terampuni.
Berbagai Luka dan Kebutuhan
Kita semua bersalah dalam banyak hal. Kita memiliki potensi untuk saling menyakiti. Hidup bersama dan bekerja bersama orang lain, selalu ada kemungkinan untuk saling melukai secara sengaja atau tidak, dalam porsi yang kecil atau besar. Tidak seorangpun yang luput dari realita ini selama masih hidup. Seiring dengan realita ini,kita semua memiliki hasrat hati dan potensi untuk berbuat baik dan saling mencintai dalam banyak hal terhadap banyak orang. Berada,bekerja bersama lain, memungkinkan kita saling menaruh cinta kasih yang sama besar atau bahkan lebih dari yang dapat kita berikan kepada orang lain.
Kalau direfleksikan lebih dalam, kita sadar betapa miskinnya kita.Kita mempunyai banyak kebutuhan pribadi yang harus dipenuhi. Kebutuhan akan perhatian, afeksi, pengaruh, nama baik, kekuasaan, harga diri, dicintai,diterima, diakui, dihargai, dianggap berguna. Kebutuhan kita berbenturan dengan kebutuhan sesama yang juga berharap dipenuhi.Kalau mau jujur, apa yang kita katakan, kita lakukan, kita pikirkan,sebagian besar ternyata berkaitan erat dengan usaha kita untuk memenuhi kebutuhan pribadi yang egios.
Ketika mengunjungi sesama, kita disambut dengan hangat, kita sendiri akan mendapat pemenuhan kebutuhan untuk dihargai dan merasa berarti bagi sesama. Sewaktu kita mengorbankan banyak waktu, energi dan uang berjuang melawan kelaparan, kemiskinan, keterlantaran sesama, perlahan-lahan kita sadar bahwa apa yang kita lakukan terkait dengan kebutuhan kita untuk mendapatkan pengakuan dan pujian. Saat mendengarkan keluh kesah orang yang membutuhkan pertolongan, kita sadar bahwa sering terjebak untuk mendapatkan pemenuhan rasa ingin tahu. Ketika kita berbicara penuh semangat, memberi renungan atau kotbah atau bahkan berdoa dengan kata-kata indah dan mewartakan tentang kerendahan hati, kesabaran Yesus, secara sangat dalam dan tersembunyi, kita sadar sering kita tidak dapat menghindar dari kebutuhan untuk mendapatkan perhatian dan kekaguman dari orang lain. Tanpa kita sadar, apa yang kita lakukan, yang kita katakan, dalam banyak hal memuat indikasi pemenuhan kebutuhan kita yang tersembunyi.
Mengapa beragam kebutuhan yang tidak sesuai nilai injili ini sering merusak tindakan kita,bahkan tindakan yang tampaknya dilandasi semangat pengorbanan yang tinggi? Kebutuhan akan afeksi, perhatian, pengakuan,kekuasaan, rasa kecil menjadi lubang atau luka batin lama yang terpendam dan tersembunyi.Luka batin yang ditimbulkan oleh pengalaman tidak diinginkan, tidak disukai, tidak dipercayai, tidak dihargai atau bahkan ditolak terkait dengan peristiwa konkret masa lampau dari orang tua,keluarga dan lingkungan terdekat kita. Pengalaman tidak menyenangkan itu membuat kita selalu ragu-ragu terhadap harga diri dan nilai pribadi kita, maka kita didorong untuk mencari penghargaan.Akibatnya kita dengan mudah bisa menjadi egosentris bahkan destruktif.
Rekonsiliasi Personal dengan Allah
Kita mengakui dengan rendah hati bahwa sering tidak bebas dari segala motivasi egosentris bahkan pada saat kita merasa sudah melakukan dengan setulus hati bahkan atas nama demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan sesama. Tidak adanya cinta yang murni dalam diri kita yang disadari dengan sungguh sebagai anugerah yang menggerakkan segala tindakan kita, dapat menyebabkan konflik. Tanpa menyediakan waktu lebih dalam untuk berada dengan diri sendiri dalam keheningan, memeriksa batin, merefleksi motif-motif tindakan kita, akan menjadi sulit bagi kita menemukan bahwa kita belum sungguh sepenuh hati, sungguh mencintai Tuhan dan sesama. Kesadaran diri bahwa kita bersalah dan tidak layak dalam banyak hal hanya dapat ditemukan dalam ketenangan batin, kekosongan budi dan kejernihan pikiran yang merupakan anugerah Tuhan.
Banyak di antara kita pada masa kini merasa tidak bersalah atau berdosa, ketika dengan sengaja melukai hati sesama.Sering dianggap sebagai hal yang wajar saja bahkan pantas dialami sesama. Orang juga merasa sudah luar biasa berbuat baik dan layak mendapat semuanya dari Tuhan, hanya karena rajin ke gereja, terlibat dalam kegiatan komunitas, memberikan kolekte yang besar, teratur memberikan sumbangan. Kita sering terjebak oleh pola pikir, perspektif dan pengalaman kita sendiri. Kita mencocokkan rancangan kita dan menduga-duga apa yang diinginkan Tuhan dengan pikiran pendek kita bahwa Tuhan seperti sejauh kita pikirkan tanpa mencari, menggali kekayaan rencana kehendak-Nya yang dapat kita baca, kita dengar, dari kebenaran firman-Nya. Setiap kali saat motivasi perbuatan kita tidak terarah kepada Tuhan, tetapi berpusat hanya pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, kita mencuri kemuliaan Allah yang besar, karena tujuan hidup kita adalah untuk menambah besarnya kemuliaan Allah yang harus terpancar dari seluruh gerak-gerik hidup kita. Kita mengambil posisi yang seharusnya ditujukan untuk Allah, tetapi untuk kemuliaan diri kita sendiri.
Kita semua berpeluang menjadi pencuri kemuliaan Allah yang maha besar, ketika hidup kita hanya berada pada tataran kodrati, sekadar hidup, sekadar berbuat, tanpa orentasi lebih yang terarah kepada Tuhan. Melakukan sesuatu hanya dalam taraf kondrati tetapi merasa sudah luar biasa hebat merupakan suatu kebajikan atau keutamaan palsu yang sangat dikecam oleh Yesus. Kita tidak beda dengan kaum farisi yang hidup penuh kemunafikan. Hidup yang seperti ini bagaikan menambah penderitaan Yesus di salib.Untuk hal ini, kita perlu membangun rekonsiliasi personal dengan Allah.
Jalan rekonsiliasi dengan Allah diawali dengan kesadaran mendalam penuh kerendahan hati bahwa semua yang kita terima berasal dari Allah saja. Bahwa belaskasih Allah berada di atas segalanya, sedangkan upaya kita nyaris tiada artinya.Tentu bukan cuma sebuah harapan tetapi harus diwujudkan dengan rasa syukur yang mendalam. Saat rekonsiliasi harus dipusatkan pada belaskasih Allah, bukan pada dosa. Perhatian pada belaskasih Allah akan membuat kita bersyukur sehingga pandangan kita lebih positif dan tidak difokuskan pada kelemahan dan dosa melulu tetapi pada kesadaran bahwa rahmat Allah melampaui keberadaan kedosaan kita.
Rekonsiliasi komunal melalui tindakan kasih
Seiring dengan kesadaran bahwa dalam banyak hal kita adalah pencuri kemuliaan Allah,kita juga terjerat dengan ketidakmampuan untuk mengasihi sesama secara lebih baik sebagaimana Tuhan mengasihi kita, persis saat upaya pemenuhan kebutuhan psikologis kita berbenturan dengan kebutuhan sesama. Pada kondisi demikian,kita menderita dan sesama juga menderita. Kita terperangkap dalam kesempitan cinta diri, sehingga tidak mampu melihat apa yang diperlukan dalam diri sesama. Kalaupun mampu melihat, kadang kurang tergerak untuk bertindak. Bahkan kalaupun berbuat baik, masih ada embel-embel, dan syarat tertentu. Semuanya baik adanya menurut ukuran yang berlaku di dunia ini, tapi bagi Tuhan ini merupakan suatu bentuk cinta yang bersyarat.Tidak demikian dengan Allah Bapa kita yang maha baik yang tanpa syarat mencurahkan segalanya kepada kita. Allah yang penuh pengertian mendalam, yang tidak menghitung-hitung kalau kita selalu saja mencuri kemuliaan-Nya
Banyak jalan menuju perubahan hidup dan rekonsiliasi dengan sesama. Rekonsiliasi berarti kita mengubah arah hidup ke sesuatu yang baru. Salah satunya harus berani membela kehidupan sesama terutama yang lemah, dengan mengembangkan tiga sikap dasar yakni rendah hati, bela rasa dan penuh sukacita. Rendah hati mengakui bahwa dalam diri kita ada potensi desktruktif yang dapat melukai hati sesama. Semangat kerendahan hati menumbuhkan kesuburan hidup iman kita. Sikap dan semangat belarasa melibatkan hati terdalam untuk ikut merasakan penderitaan hidup sesama juga menyuburkan iman kita. Sukacita merupakan tanda yang paling meyakinkan bahwa apa yang kita lakukan di dalam Roh Kudus selalu menjadi sumber kekuatan dan penghiburan kita.
Meski semakin hari pandangan kita terhadap sesama nampaknya semakin sempit karena kesempitan perspektif dan kesempitan cinta diri, tetapi dalam upaya rekonsiliasi dengan Tuhan, berakibat harus ada rekonsiliasi dengan sesama. Meskipun kita sadari semakin hari sikap permisif dan kompromi terhadap nilai-nilai yang menurunkan harga diri kristiani, kita harus tetap mengarahkan diri kepada Tuhan, yang tidak memperhitungkan dosa dan salah kita. Kita selalu disapa dengan amat istimewa dan penuh kelembutan oleh Tuhan untuk selalu kembali dan berdamai dengan-Nya dan sesama. Rekonsiliasi merupakan anugerah Tuhan yang pantas kita syukuri.
Rasa syukur yang lahir dari kesadaran bahwa hidup ini pengampunan dan rekonsiliasi adalah rahmat istimewa dari Tuhan, yang selalu menarik kita untuk kembali kepada-Nya setelah jauh situasi rahmat yang menjanjikan harapan, hiburan rohani dan sukacita.Kemurahan Tuhan nyata dalam setiap langkah hidup kita, saat kita malu dan ragu bahkan tidak mampu untuk kembali, Tuhan dengan rahmat-Nya memampukan kita. Kerahiman Tuhan nyata sebagai mujizat yang masih selalu terjadi sampai saat ini, bahwa apapun yang terjadi, ketika kita membuka hati bagi Tuhan, serentak hidup kita dimungkinkan untuk menjadi selalu baru.
Belajar Murah Hati dari Keluarga Kudus
Kebaikan dan cinta Tuhan adalah keajaiban kasih terbesar dalam hidup kita yang kita tanggapi dengan rasa syukur mendalam yang mesti dikonkretkan dengan semakin peduli dan menaruh kasih pada sesama terutama yang paling membutuhkan, yang paling dekat dengan kita dalam hidup sehari-hari. Hidup beriman kita makin bermakna ketika kita mengembangkan semangat belaskasih Allah dalam rekonsiliasi dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri, sebagaimana telah diwariskan oleh Yesus Kristus kepada kita. Kita bercermin dari Keluarga Kudus Nasaret, gambaran yang paling nyata di dunia ini, dalam kemurahan hati, yang mengambil bagian secara penuh dan utuh dalam kemurahan hati Allah untuk dunia.
Belajar bermurah hati dari Keluarga Kudus Nasaret yang memberikan seluruh hidup mereka kepada Allah untuk dipakai sebagai tanda kasih bagi dunia. Tiada satu pun dalam diri mereka dan dalam keluarga mereka yang ditahan atau disimpan untuk kepentingan diri sendiri atau keluarga mereka sendiri. Semua untuk Allah, untuk dunia, untuk manusia dan segenap ciptaan. Jika pilihan kita adalah mengembangkan semangat rekonsiliasi, tidak lain tidak bukan adalah kemurahan hati untuk memberi. Memberi maaf , memberi ampun dan memberi kehidupan kepada semua.Semoga Keluarga Kudus Nasaret,yang menjadi pusat damai dan persatuan, mendoakan kita.*hm
Recent Comments