Renungan Harian

JUMAT, PEKAN BIASA XXX
Rm 9:1-5; Luk 14:1-6
Adegan penyembuhan orang yang sakit busung air terjadi pada hari Sabat di rumah salah seorang pemimpin orang-orang Farisi. Adegan ini menjadi menarik karena kehadiran Yesus sudah diamat-amati oleh semua yang hadir. Kehadiran orang yang menderita busung air dan berdiri di hadapan Yesus menggugat reaksi dan jawaban semua yang hadir. Namun, mereka semua justru memilih diam ketika Yesus bertanya tentang layak atau tidak menyembuhkan seseorang pada hari Sabat. Yesus kemudian menyembuhkan orang itu. Melalui tindakan-Nya itu, Yesus ingin membuka pikiran semua yang hadir dengan menunjukkan sesuatu yang tidak masuk akal, yaitu melarang penyembuhan berdasarkan hukum Sabat, hari yang diberikan oleh Allah sebagai anugerah untuk menyegarkan kehidupan umat-Nya. Hari Sabat dimaknai sebagai hari  di mana  Allah yang menyembuhkan, membebaskan dan memberikan sukacita. Yesus menunjukkan kepicikan pikiran dan hati para pendengarnya, terutama kaum Farisi melalui sebuah pertanyaan retoris tentang anak atau lembu yang terperosok ke dalam sumur.

Sebagai Rasul bangsa-bangsa, Paulus menyadari bahwa pewartaan kabar gembira merupakan tugas yang tidak bisa ditawar-tawar. Maka, secara amat emosional Paulus menyatakan keprihatinannya terhadap bangsanya sendiri. Israel adalah bangsa yang dianugerahi keistimewaan yang sangat luar biasa dari Allah di hadapan para bangsa. Anugerah istimewa itu adalah diangkat menjadi anak, kehadiran Allah yang akrab, janji-janji, hukum, ibadah yang indah, perjanjian, dan bapa bangsa yang menurunkan anugerah Allah yang terbesar dari segalanya, yaitu Mesias. Namun, apa artinya semuanya itu jika ternyata tidak berguna bagi Israel? Israel sendiri tidak menghargai dan menghayati semuanya itu.

Apa saja anugerah istimewa yang telah aku terima sebagai orang beriman? Apakah aku memiliki perasaan bangga sebagai orang beriman? Apakah imanku itu telah menjadi daya yang membuka kepicikan pikiran dan hatiku berhadapan dengan kasih dan kesetiaan Allah di dalam hidupku? Sejauh mana rasa bangga akan iman itu telah menggerakkan aku untuk menghayatinya dan mewujudkan kasih dan kesetiaan Allah dalam seluruh derap langkah hidupku?
Mari menyadari dan menghayati iman sebagai anugerah istimewa Allah bagi kita untuk mewujudkan kasih dan kesetiaan Allah dalam seluruh derap langkah hidup kita.
Tuhan memberkati.(RD AMT)