Dunia sedang dilanda duka. Terhimpit oleh  serangan covid 19  yang tersembunyi namun nyata. Tidak kelihatan namun ada. Tidak tampak namun berpengaruh besar.  Hampir tidak ada  yang tidak tahu tentang virus corona ini. Namanya disebut di mana-mana. Menjadi bahan perbincangan  hampir semua anak manusia. Namanya tertulis di setiap berita. Kehadirannya entah masih jauh atau dekat, sudah terjangkit atau belum, menjadi sumber kecemasan bahkan kepanikan banyak orang. Kehadirannya telah menjadi bahan permenungan spiritual juga bahan-bahan lelucon. Namanya sudah diabadikan menjadi nama binatang kesayangan.Bahkan untuk mengenangnya, beberapa anak manusia yang terlahir telah dimeterai dengan nama ini, coronaries atau coronaria. Para pegiat seni mengabadikan namanya menjadi syair-syair indah dalam lagu atau bait-baik puisi. Mungkin juga para sutradara sedang terinspirasi untuk membuat drama atau film.  Namun, ada juga  di belahan bumi lain, di daerah terpencil yang belum terjamah oleh  teknologi informasi dan komunikasi, nama ini belum pernah terdengar. Mungkin saja mereka tidak pernah tahu, betapa banyak yang sudah menjadi korban. Mereka tidak pernah tahu beberapa kota bahkan negara “tertutup” untuk sementara.Kota menjadi sunyi sepi dan rumah-rumah keluarga yang selama ini sunyi sepi menjadi ramai, karena para penghuninya harus tinggal di rumahnya sendiri.

Saya telah merenung berkali-kali dan sedikit pun hatiku belum tergelitik oleh semua hal yang kubaca dan kulihat.Mungkinkah karena aku belum mengalami sendiri di daerah sekitarku? Aku masih bisa merasakan biasa-biasa saja?  Doa-doa memang dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa, baik yang menjadi korban, maupun yang sedang dalam perawatan. Doa bagi para petugas kesehatan yang siap sedia siang malam tanpa takut  dirinya terjangkit dan menjadi korban. Doa bagi para pemangku kekuasaan agar mereka memutuskan dengan bijaksana segala hal yang penting sebagai tindakan prefentif maupun kuratif demi keselamatan bersama. Doa bagi  diri sendiri dan orang-orang terkasih, agar terhindar dari  serangan virus corona ini.

Ramainya perbincangan abal-abal di media sosial, sama ramainya dengan nasihat-nasihat bijaksana dalam ruang permenungan dan doa. Orang-orang hampir sulit membedakan antara berita nyata atau hoax belaka. Semakin banyak yang saling mengirimkan berita tentang  corona ini, tanpa menyadari apakah tindakan ini kabar baik atau kabar kurang baik bagi yang menerimanya. Entah sampai saat ini, hatiku masih kaku kering seperti batu. Tiada rasa, tiada sentuhan, tiada duka. Bukan aku anti berita covid 19 ini.Bukan. Bukan sok saleh atau suci yang menanggapi kenyataan pahit yang menimpa separuh bumi ini dengan mata imani, bukan. Aku juga bukan  bersikap apatis terhadap situasi sekitar.

Aku seperti sedang berada di kejauhan, masih sebagai penonton saja, seperti orang asing yang tidak tahu apa-apa yang sedang terjadi di hari-hari belakangan ini. Aku memang bebal. Orang bebal tidak mengerti apapun. Untuk saat ini, aku memang tidak mengerti semua yang sedang terjadi dan sedikit pun tiada cahaya penerangan dalam budiku. Gelap dalam batinku tanpa pencerahan Roh, apakah makna di balik semua yang terjadi ini?

Benakku malah bernostalgia di masa-masa lalu, saat kubaca kisah-kisah kuno dan pahlawan-pahlawan gagah perkasa.Aku sepertinya  berada  di antara batas kisah tersebut dan kutanyakan diriku, apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan ini berkecamuk di kepala dan memenuhi hatiku dan tiada jawaban. Berdoa tentu saja. Melakukan tindakan preventif seperti yang dianjurkan , tentu aku ikuti. Apakah itu saja?  Mata hatiku melongo, membaca sebuah tulisan seorang petugas kesehatan. “ Ketika orang-orang berlibur, kami siap-siap lembur” dan hatiku hancur berantakan membaca tulisan itu. Tak terasa tetes-tetes air mataku mengalir dan tiada mampu kutahan. Untuk menghibur diriku, kubalas tulisan sederhana itu.” Terberkatilah kalian dan terpujilah kalian yang terpilih oleh Allah untuk menjadi perpanjangan tangan  Allah untuk membalut yang terluka dan membebat yang patah. Terpujilah kalian, yang terpilih untuk menyambung nafas makluk – makluk lemah yang sesak napas. Terpujilah kalian yang meski  diri sendiri  dihantui ketakutan tapi juga tetap berani melangkah mantap dengan sejuta harap, di tangan kalian, Allah berkenan memberi kesempatan hidup bagi yang tak berdaya. Terpujilah kalian, yang tidak takut dengan maut yang tak terelakkan, dan berani merebut yang tak berdaya dari moncong virus corona itu?

Hatiku bergetar dan kisah-kisah kuno para suci itu memenuhi pikiranku. Satu per satu pahlawan  muncul dalam benakku. Merekalah yang berani mati di antara saudara-saudara yang  bernasib malang yang tak dapat membela diri ketika diserang covid 19 ini. Mereka tidak memperhitungkan kehidupannya sendiri, bahkan gembira, sangat gembira jika akhirnya menjadi sama dengan saudara-saudari yang menghembuskan nafas terakhir di tangan mereka.

Hari ini, aku ingat akan Santo Damian dari Molokai, sahabat para penderita kusta, yang dengan kekuatan iman penuh keberanian, maju gagah perkasa menuju  Molokai, tempat terisolir, tempat pembuangan mereka yang dianggap akan menularkan penyakit kusta yang mematikan itu. Hari ini aku ingat, akan pahlawan gagah perkasa ini, yang memilih menjadi bagian hidup mereka. Tidak berdalih dan tidak lari meski batin sadar sepenuhnya bahwa suatu waktu tidak mustahil, akan senasib dengan mereka, yakni terjangkit dan mati.Hari ini aku ingat semuanya. Badanku ada di sini, tetapi segenap pikiranku di Molokai. Molokai dalam pikiranku mungkin tidak persis dengan Molokai yang nyata dari Santo Damian. Kisah-kisahnya yang telah kuraup dalam semalam beberapa waktu lalu, kini mengganggu aku dan menggelisahkan jiwaku.

Jiwaku gelisah, setelah berdiam diri , lama tanpa rasa. Sebuah pertanyaan besar bertengger di kepala. Apa yang dapat kulakukan untukmu, Saudara? Hari ini, di tempat tinggalku, sekolah mulai libur sampai dua minggu. Dari berita aku baca, sudah ada delapan propinsi yang positif terinveksi corona. Masih ada puluhan propinsi di Indonesia tercinta ini. Prosentase yang terinveksi semakin tinggi tiap hari, dan langkah preventef sudah dilakukan pemerintah.  Hatiku sunggun tidak nyaman, tertantang kegelisahan hebat, bukan panik atau takut, tapi ditindih beban pertanyaan besar yang belum ketemukan jawabannya. Ketika ada dia di depan mataku, apa yang harus kulakukan? Sebagian orang telah memborong bahan makanan, perlengkapan rumah tangga dan obat-obatan yang diperlukan, sebagai persediaan. Semua orang tentu sudah berdoa bahkan novena disertai puasa dan amal agar luput dari serangan.

Aku juga mulai tergoda untuk menyediakan segala kebutuhan bagi komunitas. Hari ini, dengan membawa uang cukup banyak, aku ke pasar dan beberapa toko. Maksud semula untuk membeli persediaan, namun setiba di pasar, aku hanya mampu berkeliling dan memandang. Tidak ada niat untuk  membeli apa pun. Aku pulang dengan tangan kosong dan berdalih, harga di pasar masih sama seperti minggu lalu. Aku tidak rela atua tepatrnya tidak ada kekuatan dan niat sedikit pun untuk membeli bahan persediaan. Lidahku kelu, hatiku tak mampu. Aku hanya memandang orang-orang di pasar, semua masih sama saja. Orang-orang kecil, yang tidak berpikir apa-apa, masih menjual barang dengan harga seperti biasa. Tiada kekuatiran dalam diri mereka. Sepertinya mereka pasrah. Mereka menjalani aktivitas harian tanpa beban. Mereka juga tidak sempat memegang ponsel untuk membaca berita, sebab mereka sibuk tawar-menawar saling melayani.Mereka masih tetap tersenyum dan menyapa seperti  minggu lalu. Mereka tenang.

Seluruh pikiran dan hatiku terserap oleh realita hidup saat ini, ketika memandang orang-orang di pasar. Juga ketika aku duduk di depan jenazah omaku yang dipanggial Tuhan semalam, yang kupandang adalah realita. Bukan cerita tentang realita covid 19 ini. dari realita ini, aku sadar, sudah mulai nampak sedikit signal dalam batinku yang masih kedap-kedip hilang muncul. Semestinya, sama seperti semua orang lain, seperti para petugas kesehatan, para peneliti, para pemangku kekuasaan, aku harus melakukan sesuatu untuk mereka. Aku harus membuat keputusan dalam diriku, yang bukan untuk menyelamatkan nyawaku, tetapi menyelamatkan kehidupan.  Sebab firmanNya jelas bagiku : “Barangsiapa menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa kehilangan nyawaNya demi Aku, akan menyelamatkannya.” Dan kisah-kisah pahlawan di masa lalu seperti Santo Damian yang sedang hadir dalam benakku dan semua abdi Kristus yang lainnya telah membuktikan bahwa mereka selamat, ketika menyelamatkan orang lain. Dan semua itu dilakukan semata-mata demi  Allah, tidak sekadar demi kemanusiaan. Tentang hal ini, iman melampuai  pengetahuan dan perhitungan dan prediksi manusiawi. Merunduk, menyembah, bertobat dan beramal kasih menjadi  jalan terbaik.

Aku bersyukur, sebuah pintu masuk menuju ke arah yang seharusnya menjadi jalan hidupku, sedang terbuka. Dari jauh telah kulihat segala yang tersedia bahkan apa yang akan terjadi di sana. Aku harus menuju ke sana, mau atau tidak mau. Sebab jika tidak, bukan tidak mungkin, aku pasti akan dihampiri. Waktu terus bergulir, dan saat ini, hampir tidak ada waktu lagi untuk mempertimbangkan dan mempersiapkan diri. Yang dibutuhkan hanya  komitmen untuk tetap melangkahkan kaki, dengan segenap risiko yang harus dijalani. Tampaknya, di sinilah  dan seperti inilah  situasi  Getsemani  menjadi nyata. Tidak ada pilihan.Meskipun mungkin batin bergema dan bibir membisik halus, “ Tuhan, kalau boleh biarlah semua ini berlalu, tapi janganlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”. Dan terjadilah kehendak-Nya.  Di bumi ini.  Dan nama-Nya yang agung, kuasa-Nya yang perkasa, meraja kini dan di sini. Di antara serangan  laten covid 19 ini. Terjadilah kehendak-Mu.*hm