Pilihan hidup bakti yang kujalani ini adalah keputusan hatiku atas dasar kebebasan yang kumiliki. Realisasi dari bentuk ini, aku harus hidup dalam kebersamaan, hidup dalam komunitas. Sebagai seorang suster yunior, aku memiliki semangat yang berkobar-kobar. Dalam pikiranku ada berbagai hal yang ingin kuwujudkan dalam kehidupanku di komunitas.
Komunitasku terdiri dari berbagai orang dalam tingkat usia yang berbeda, tingkat pendidikan yang tidak sama dan perkembangan hidup yang juga tidak sama. Aku merasa yang paling kecil, termuda dan tidak mempunyai pengalaman apa-apa. Namun aku memiliki kemauan untuk belajar sesuatu yang baru yang kutemui dalam perjalanan hidup bersama. Sebagai orang yang masih muda dalam banyak hal, aku berharap dapat mengalami banyak hal yang memperkuat langkahku dan memperteguh niat luhurku serta mendukung panggilanku. Perjalanan waktu yang terus berlalu seiring dengan perkembangan dunia dalam masyarakat, turut serta mempengaruhi kehidupan dalam komunitas. Perlahan-lahan namun cukup pasti, aku jalani tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan komunitas padaku. Dari hatiku, aku memiliki tekad untuk mengabdi dan melayani sebaik mungkin dan semampuku. Aku memiliki keyakinan bahwa dalam komunitas pasti aku akan semakin diperkaya oleh berbagai orang dengan berbagai anugerah dan rahmat yang saling dibagikan. Namun seiring dengan berlalunya waktu, berkembangnya pemahamanku dan meningkatnya kesadaranku, aku mulai sadar akan banyak hal yang terjadi di sekitarku. Aku melihat, aku mendengar, aku mengalami berbagai hal, berbagai kisah dan peristiwa yang ada dan terjadi. Banyak kegembiraan yang kualami, bila aku merasa kehadiran dan keberadaanku dalam komunitas sungguh dihargai, diperhitungkan dan aku merasa diterima komunitas, dicintai, didukung dan dibiarkan berkembang.
Tidak kurang juga aku mengalami berbagai perasaan kecil hati, kecewa, menyesal, sakit hati bahkan pernah merasa tidak berarti apa-apa, bila aku merasa dalam suatu peristiwa atau pengalaman dengan sesama maupun pimpinan, cerita dan kisahku tidak didengarkan, buah pikiran dan ide yang kurasa baik tidak diterima oleh sesama maupun pimpinan serta pekerjaan dan pelayanan yang kulakukan dengan sepenuh hati, tidak dihargai, dianggap biasa-biasa.
Aku juga mendengar desas-desus (kritik) terhadap diriku, banyak yang benar, tentu karena kekeliruan-kekeliruan yang kubuat, dan ada kalanya hanya prasangka dan praduga. Kadang aku sanggup mendengar dan menerima, tapi lebih banyak aku tidak sanggup menerima. Aku menolak hal-hal tersebut, karena adanya berbagai perasaan. Aku akhirnya mulai berpikir-pikir dan bertanya pada diri mengapa hal ini terjadi? Mengapa situasiku jadi seperti ini? Mengapa sesamaku seperti itu? Sanggupkah aku bertahan hidup dalam suasana komunitas yang seperti ini? Dapatkah aku menghadapi sesama bahkan pimpinan yang demikian? Apakah biara ini, tempat yang masih layak bagiku untuk melayani Tuhan? Ataukah pengalaman ini merupakan suatu signal bahwa aku memang tidak cocok untuk menjalani hidup seperti ini? Banyak pertanyaan hilang muncul dalam benakku. Dan tidak juga aku menemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan hatiku. Akhirnya untuk mengamankan diriku dan mempertahankan hidupku, aku mulai berpikir untuk mengatur hidupku sendiri dan bagaiman caranya aku memposisikan diri dalam keseharianku. Aku merasa sesamaku tidak terlalu tahu tentang keadaanku saat ini sebab aku biasa-biasa saja. Aku tetap menjalankan rutinitas harian sebagaimana layaknya. Sebetulnya dalam hatiku yang terdalam, aku menolak banyak hal, aku memberontak dan bergulat dengan diriku sendiri, karena aku tidak tahu bagaimana caranya bebas dari segala rasa itu. Aku mencoba bertahan saja dengan situasi, bahkan aku mulai merencanakan berbagai hal lain untuk mengatasi hal itu.
Meskipun kubungkus dengan rapi perasaan hatiku dan pemberontakan dalam batinku, kadang-kadang muncul dalam realitaku. Kadang ketika aku menghadapi suatu peristiwa atau masalah, tanpa kusadari meluncurlah perkataan-perkataanku yang kurang terkontrol, yang rupanya dapat dirasakan oleh sesama sebagai sesuatu yang mulai berubah dalam diriku. Aku mulai tidak terlalu peduli dengan banyak situasi. Kepekaan budi yang dulu terolah dan terlatih di novisiat mulai memudar dan berubah menjadi suatu keacuhan yang sengaja kubiarkan berkembang. Tingkah lakuku mulai Nampak memberi isyarat bahwa aku tidak bergairah dan lemah semangat serta lesu hatiku. Aku menjalani hidup dalam keadaan biasa-biasa. Rasanya tidak ada yang terisi lebih penuh ataupun lebih dalam. Aku mulai merasa tidak ada bedanya kehidupanku di biara dengan di rumah, bahkan aku mau membenarkan gambaranku bahwa kehidupan di luar biara lebih baik dari di dalam biara. Aku sibuk membanding-bandingkan situasiku dulu dan kini. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Dalam keadaan seperti ini, perasaanku terasa semakin sensitif. Aku lebih tertarik untuk memperhatikan pola kata dan tingkah laku sesamaku daripada mengatur dan menata hidupku sendiri.
Hal-hal tersebut berlangsung terus dan aku semakin terbelenggu dengan keadaan diriku. Perlahan-lahan aku mulai merasa tidak ada manfaatnya aku bertahan di biara, sebab situasiku tidak lebih baik dan mulai berpikir serta menyusun rencana pribadi, kapan waktu yang tepat bagiku untuk mudik, kembali ke rumah.
Rencana-rencanaku menguasai hati dan pikiranku. Maka aku tidak pernah dapat mengalami ketenangan. Rutinitas harian menjadi beban dan kujalani hidupku dalam kebosanan. Akupun tidak banyak mewartakan keadaan hati dan suasana diriku yang sebenarnya. Sering kali aku mencari teman senasib yang mengalami hal yang sama, untuk berbagi rasa dan hati. Bersama teman, aku merasa semakin teguh dan kuat bahwa aku tidak mengalami sendiri dan sesamakupun mengalaminya.
Disela-sela pengalamanku itu, dengan seabrek rencana dan realitaku, banyak hal yang tidak kupahami, namun aku tetap merasa dicintai sesamaku, komunitasku, pimpinanku, bahkan Tuhanku, sebab aku boleh merasa gembira, meskipun kadang-kadang saja terjadi. Kadang aku merasa lucu, bahwa meski aku memiliki banyak rencana, aku tidak mampu memutuskan satu halpun untuk hidupku. Perasaan terdalam hatiku kadang berbisik biaralah tempatku untuk mengabdi Tuhan. Pada saat lain, perasaanku menggoda hatiku, lebih baik angkat kaki saja daripada hidup seperti ini. Hal ini terjadi, karena aku merasa sulit menghayati hidup sebagai seorang suster. Dan aku pun memiliki alternatif bentuk hidup lain. Aku membadingkan bahwa tidak cuma di biara aku bisa melayani Tuhan, diluar biarapun orang dapat lebih banyak memiliki peluang untuk mengabdi Tuhan. Hal-hal inilah yang menggoda hatiku untuk tidak dengan sungguh menghayati dan menjalani hidup harianku.
Pada saat yang demikian, aku lebih banyak melihat orang lain dan merasa bahwa orang lainlah yang lebih banyak mempengaruhi keadaanku dan menyebabkan aku seperti ini. Kadang tingkah lakuku bernuansa pemberontakan batinku yang terdalam. Aku bertindak hanya bermotif meyakinkan sesama akan keberadaan diriku dan usaha mempertahankan hidupku. Aku sangat berharap sesamaku berubah, tapi lucu aku kurang berharap bahwa diriku yang seharusnya berubah. Dalam budiku sebetulnya aku banyak tahu dan sudah paham akan hal-hal seperti itu, namun ketika kualami sendiri, aku tidak tahu apa yang sebetulnya harus kulakukan. Orang mengatakan aku sedang mengalami krisis.*hm
Recent Comments