Saya baru sadar bahwa seringkali saya mengabaikan Tuhan.  Padahal hati saya  tahu dan merasakan bahwa Tuhan selalu rindu untuk bertemu dengan saya.  Rasanya kecil sekali kerinduan saya untuk  menjumpai-Nya. Lebih besar kerinduan-Nya untuk menghampiri dan menjamah saya. Tuhan rindu untuk melihat saya melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Berulangkali Tuhan berbicara dalam hati saya dan berharap saya mendengarkan-Nya. Namun hati saya bebal dan keras. Dalam hati, saya mendengar suara-Nya. Tetapi entah bagaimana saya selalu saja  mengabaikan-Nya. Bahkan saya memilih untuk melakukan kehendak diri saya sendiri.

Tatkala saya menghadapi peristiwa  yang menyakitkan dan membuat hati saya terluka, saya merasakan Tuhan berusaha melembutkan hati saya agar saya mampu menerima dan melihat kehendak-Nya. Namun saya bersikeras dan tetap memilih kehendak saya sendiri. Berulangkali hal ini saya alami. Namun Tuhan tidak pernah bosan untuk terus berbicara dengan lembut dalam hati saya. Melalui berbagai cara, Tuhan berbicara dalam hati saya. Melalui  firman-Nya yang saya dengar dan renungkan. Melalui para pendidik dan pembimbing, yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Melalui teman-teman sepanggilan dalam  perjuangan dan pergumulan hidup mereka. Juga melalui kisah pengalaman keluarga-keluarga yang saya kunjungi.  Tuhan terus berusaha untuk menyadarkan saya akan kasih-Nya yang tiada batas-Nya bagi saya, yang diperlihatkan baik secara langsung maupun tidak langsung.  Ketika menyadari hal ini, saya merasa malu dan sangat menyesal. Betapa lambannya hati saya untuk menyadari semua itu dan bertobat.

Tuhan begitu bersabar terhadap saya dengan kepribadian, karakter dan sifat yang seperti ini. Tuhan menerima saya apa adanya. Tuhan tidak menuntut banyak hal apapun dari saya, juga tidak menghukum saya. Tuhan juga tidak menarik diri  dan menjauh dari saya, meskipun saya begitu bebas dan keras hati. Tuhan  begitu bersabar dan tetap setia mendampingi saya, bahkan ketika saya mengabaikan-Nya dan tidak tahu bersyukur.

Saat ini, ketika saya memandang Yesus yang tersalib, hati saya tersentuh. Memandang wajah-Nya yang berlumuran darah, hatiku trenyuh, hancur. Dalam kesakitan, Tuhan  masih tetap tersenyum memandang saya. Saya merasa tersapa. Dari Salib, Tuhan melihat, tak terbilang perilaku saya yang tak sesuai kehendak-Nya. Dari Salib Tuhan memandang saya, dan mengetahui semuanya, tidak satu pun yang terlewatkan. Dari Salib, Tuhan Tuhan menilik, tak terkatakan lagi, bagaimana harus membuat saya  berani meninggalkan kehendak saya sendiri. Persis dalam titik ini, pada momen memandang salib-Nya, membuat saya sangat menyesal dan malu. Sungguh-sungguh malu. Malu dengan diri saya  sendiri. Malu dengan Tuhanku.

Saya menyesal dengan banyak hal yang sudah terlewatkan dan tak teraih kembali.  Waktu telah terbuang dengan percuma. Hari-hari dalam kebebalan telah terlewatkan dengan sia-sia. Yang tersisa, selalu kebebalan dan kekerasan hati saya  yang mengabaikan bisikan-Nya. Meskipun sikap saya  demikian, Tuhan begitu memahami diri saya. Sekarang, saya merasakan suara itu terdengar kembali dalam ruang hati saya. Sebuah ruang rindu untuk kembali. Saya rindu mendengar  bisikan-Nya yang halus lembut. Rindu merasakan  lembut tangan-Nya yang menuntun saya. Kesadaran akan hal ini dan kerinduan yang menggelora dalam jiwaku  membawa saya pada jalan pertobatan. Saya rindu untuk kembali. Saya mau bertobat dari kebebalan hati ini. Kesabaran Tuhan terhadap diri saya,  menginspirasi saya yang lemah ini untuk bersabar dan setia menapaki secara perlahan-lahan dalam tuntunan tangan-Nya menuju pertobatan sejati.Saya mohon rahmat Tuhan dan  menyerahan diri kepada-Nya.  Semoga rahmat Tuhan, terang Ilahi membantu saya dalam proses pertobatan ini.*elf