Sudah dapat diduga ia akan menghampiri, meski pun sebenarnya dalam lubuk hati kehadirannya kutolak jauh-jauh. Siapakah dia? Dialah COVID 19 yang kehadirannya tidak dinanti dan aksinya sesuka hati. Dia tidak pandang bulu, dia tidak memilih ke mana harus pergi dan kepada siapa dia harus berhenti sejenak sebelum dia beranak pinak dan berkembang biak. Dia juga tidak punya kaki, mungkin juga tidak memiliki tangan, seperti tanganku dan kakiku yang kuat dan perkasa ini. Tapi hebatnya, dia bisa dengan segera berkeliling ke seluruh dunia, menebar pesona dengan cepat dan terbang dengan leluasa penuh kenagkuhan. Dia juga tidak mempunyai mata untuk melihat sehingga tidak sempat melihat apakah obyeknya ini tua atau muda, laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin. Dia tidak mempunyai mulut untuk berbicara. Sehingga dia tidak akan bertanya agama apa yang dianut atau dari suku mana, negara apa. Dia tidak memilki telinga, sehingga sekencang apapun aku berteriak agar dia menjauh, tidak digubrisnya. Dia tidak memiliki semuanya, sebagaimana yang kumiliki, lengkap indraku yang diberikan Tuhan Allah penciptaku. Tapi saat ini, meski aku adalah makluk yang paling tinggi dan sangat berharga di mata Tuhan, sekarang aku terhimpit oleh makluk rendah itu COVID 19 yang sedang menghampiri.
Aku malu dan sungguh cukup malu, ketika dalam pikiranku terbayang makluk sederhana yang mematikan ini. Seluruh dunia direpotkan oleh aksinya. Dia seolah-olah meraja dalam waktu singkat dan kerajaannya meluas sepanjang kakinya berpijak. Aku malu sebab aku makluk yang sangat amat baik ini, sedang dirongrong dengan naïf oleh ciptaan kecil yang selama ini tak kuperhatikan, tak dipedulikan dan sama sekali tak masuk perhitunganku. Aku pikir, di dunia ini akulah yang paling berharga dan berkuasa. Dengan bebas dan sekehendak hatiku, apa saja dapat kulakukan. Mataku tiada henti memandang, entah dalam kenyataan maupun dalam bayangan. Dengan mataku yang indah ciptaan Tuhan ini, aku telah melihat segala hal di dunia ini dengan kemegahannya. Yang terindah, yang mulia, yang mempesona hatiku adalah yang kelihatan mataku. Dan sekarang aku kaget, terbelalak mataku, nyaris tak terpejam lagi, sebab selama ini, aku telah banyak melihat, tapi makluk satu ini yang namanya virus tidak terlihat mataku. Benar, tidak terlihat dan sekarang pun dia sudah ada di sekitarku , aku tetap tidak melihat. Memang, aku buta dan tidak melihat. Sepanjang umur hidupku aku telah salah mengira, ternyata aku buta dalam banyak hal. Terbukti kini. Kata orang pintar, dia tidak terlihat oleh mataku ini, hanya dengan alat bantu dan bantuan kecerdasan para ahli , aku baru dapat meyakini bahwa dia ada, bahkan dekat-dekat, sangat dekat dengan diriku.
Kini, di perbatasan rasaku yang amburadul, aku tidak tahu, apakah yang harus aku lakukan. Mataku yang sama, sibuk membaca berita. Semakin aku tahu tentang aksinya, semakin menarik untuk tahu lebih banyak lagi. Dalam sekejap aku nampak seolah-olah seperti orang yang tahu banyak hal. Karena sibuk membaca dan berbagi kisah, aku lupa apa yang harus aku lakukan. Sebagian orang masih bebas berkeliaran. Sebagian kecil orang sudah merunduk penuh laku tapa dan berdoa dengan ratap tangis yang tak terdengar oleh tetangga. Sebagian hati sudah dilanda kepanikan, yang nampak dari raut wajah yang enggan tersenyum dan tertawa dengan terpaksa. Sebagian yang tampak biasa-biasa dari wajah polos, namun sedang bercokol kebingungan yang tak tahu arah kepada siapa harus minta tolong. Yang lain, telah memeras keringat kerja keras di barisan depan dalam peperangan melawan COVID 19 ini. Ada juga yang sedang berpikir kreatif bagaimana memanfaatkan peluang ini untuk berbisnis, meraup keuntungan sedikit dari penjualan kebutuhan pokok atas nama sekedar menawarkan bantuan bagi yang membutuhkan.
Aku mendeteksi suasana hatiku, masih seperti tiga hari lalu. Antara mati rasa dan tergelitik, tercengang dan terharu. Apa yang harus kulakukan ketika COVID 19 ini menghampiri? Para pimpinan agama di dunia dan pimpinan negara, menghimbau, menyerukan bahkan mengeluarkan keputusan-keputusan tegas. Pertama, masih dengan cara halus dan santun. Namun dalam perkembangan situasi baru, saat kahadirannya makin mendekat yang ditandai dengan semakin banyaknya korban, diperlukan cara-cara yang lebih tegas. Entah mengapa, orang-orang di luar sana, masih merasa biasa-biasa saja. Kini, bukan saatnya untuk mengolah pertanyaan dan menjawabnya dalam benak atau diam-diam dalam hati menyeletuk , ‘keputusan yang terlalu dini, terlalu takut, kurang iman atau lebai,….” Bukan, seperti ini lagi. Sudah terlambat untuk diskusi atau kementar. Diriku, dirimu, dunia kita sedang dirongrong.Kehidupan dan ruang lingkup kita sedang terancam dan kita harus segera menyelamatkan kehidupan ini. Kehidupanku, kehidupanmu dan kehidupan semua orang di bumi ini.
Sekarang saat untuk berperang dengan makluk yang tidak kelihatana. Dan saya meyakini, bahwa saat inilah saat berperang dengan diri sendiri. Yang namanya COVID 19, tetap makluk ang tidak nampak, sumber penyakit dan penyebab kematian. Bukan dengan dia aku harus angkat senjata dan maju berperang, tapi aku berperang dengan diriku. Dan astaga! Peralatan perang apa yang harus kubawa dan di mana medan perangnya? Orang-orang cerdas menyerukan pakai masker, tutup hidung dan mulut. Ikat tangan jangan gosok mata, hidung dan mulut. Tutup mata, katup jari supaya tidak meneruskan berita yang meyayat hati. Orang-orang beriman menyerukan, angkat senjata doa, karena inilah yang paling ampuh. Doa sendiri-sendiri, doa bersama, berdoa online. Orang-orang bijak menyerukan, pakailah cairan pembersih antiseptic pengusir makluk kecil tak berharga itu yang hari-hari ini sedang beraksi.
Dalam batas kedunguanku, aku melihat dan sadar, Ya Tuhan! Si kecil COVID itu bukan berperang lalu hampiri aku, tapi dia hanya sedang mencari tempat untuk berkembang biak, untuk beranak pinak. Dia sedang mencari tempat yang nyaman untuk dirinya. Selama ini orang-orang tidak peduli pada kehadirannya, karena orang sibuk dengan dunianya. Hatiku melongo, sekali lagi aku sadar, akulah sebenarnya yang sedang berperang dengan diriku.
Perlahan-lahan, aku sadar, senjata utama bukan masker, bukan obat-obat yang kian hari kian mahal dan semakin banyak jenisnya. Bukan. Bagiku senjata itu namanya pengendalian diri. Yach…ketika COVID 19 menghampiri, aku harus bisa mengendalikan diri. Pengendalian diri yang kumaksud antara lain. Yach,,dari yang tidak biasa taat, kini aku harus taat pada himbauan dan aturan pemerintah. Harus, tidak bisa tidak. Meskipun aku tidak mau peduli atau acuh tak acuh. Meskipun aku pikir, mati atau hidup sama saja, tetapi demi orang lain, demi kebaikan dan keselamatan bersama, harus. Aku harus kendalikan diriku dari sikap, perilaku suka-suka dan sekehendak hatiku dan rumah tanggaku.
Saat COVID 19 menghampiri, aku harus kendalikan diri dari kebiasan bagus yang selama ini aku anggap sah-sah saja bagi diriku, bagi keluargaku atau bagi kaumku. Aku yang suka jajan mata, berselancar keliling daerah atau plesir keliling dunia dengan harta kepunyaannku, kini aku harus kendalikan diri. Aku harus tinggal di sini, di rumahku sendiri yang sempit dan pengap ini. Aku harus menepis rasa malasku untuk menata rumah dan berbincang dengan orang-orang tercintaku, yang mungkin selama ini lebih nyentrik berkomunikasi via alat canggih.
Saat COVID 19 menghampiri, aku harus kendalikan diri dari kebiasaan lupa bersyukur dan berdoa. Berdoa atau tidak ,sama saja bagiku selama ini, sebab rezekiku tidak berkurang, malah semakin banyak waktu yang kupakai untuk bekerja semakin sukses dan banyak hartaku. Sekarang , tidak ada akses untuk bekerja.Kalaupun bekerja di rumah saja. Kalau bosan, yach nonton saja atau tidur. Ya Tuhan! Aku harus kendalikan diri dari kebiasaan ini dan aku harus belajar melatih hal baru di rumah saja sepanjang waktu. Apa rasanya, Ya Tuhan? Mau tidak mau aku harus berdoa. Segala macam jenis doa akan kucoba. Kawan-kawan baik menasihatiku, isi waktumu dengan membaca Firman. Usir rasa bosanmu dengan merenung sabda Tuhan. “Ya Tuhan,! Apakah aku bisa, sebab selama ini aku tidak terbiasa. Yach..aku berperang dengan diriku sendiri. Bisa atau tidak..berat atau sangat berat..senjata ini harus kupanggul. Harus, meski harus meneteskan air mata. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali atau menyerah begitu saja. Siapa tahu, kemenangan dapat kuraih.
Saat COVID 19 menghampiri, kini, sadarlah aku. Meleklah mata jiwaku, bahwa segalanya benar ada waktunya. Sudah cukup waktu bagiku untuk bersukaria dalam kesenangan dan kemewahan. Waktu untuk tertawa hampir berlalu. Dalam kebebasan dan keleluasaan. Kini waktu itu sedang pamit untuk berlalu. Dan saatnya tiba. Ada waktu untuk menangis. Hatiku tergelitik ingat syair indah dalam Kitab Ayub “ Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk? ( Ayub 2 :10). Inilah sejatinya dimulailah peperangan dalam jiwaku. Dan seluruh kekuatanku harus kukerahkan untuk berperang dan seluruh risikonya harus kutanamkan dalam batin dan mengatakan “ya, saya siap”.
Aku harus menerima yang tidak kuinginkan terjadi atas diriku, atas orang-orang terkasihku, atas usahaku, atas sahabat dan para temanku, atas tetanggaku dan atas bangsa dan tanah airku. Hatiku tenang, meski di sisi lain harap-harap cemas. Aku ingat janji Tuhan yang abadi, “yang tertera dalam Mazmur 81:8a : “dalam kesesakan engkau berseru, maka Aku meluputkan engkau, Aku menjawab engkau”. Aku juga ingat, akan Daud ketika hendak berperang melawan Goliat. Daud maju atas nama Tuhan, bukan dengan pedang , lembing atau perisai seperti Goliat dan Daud menang dengan perkasa. Kemenangannya semata-mata atas restu atau kehendak Allah. “Ya Tuhan, meskipun mungkin aku kalah perang tapi hatiku percaya aku akan menang karena Engkau memenangkan aku dengan cara-MU yang hanya Engkau sendiri yang tahu. Engkaulah sesungguhnya pahlawan perkasa yang memenangkan perkara hidupku dan maju berperang untukku. Saat COVID 19 menghampiri ya Tuhan, tolonglah, jangan tinggalkan aku.”*hm
Recent Comments