“Bapa Vitus Bouma, berjalanlah bersama kami hari ini, Amen.” Inilah doa baru dalam hari-hari berahmat ini. Kami diundang oleh RP. Pankras Kraeng,SSCC Pastor pendamping retret tahunan tanggal 25 Juni – 2 Juli 2019 untuk mengucapkan doa singkat ini setiap hari sebelum dan sesudah konferensi. Secara pribadi kami boleh mengucapkannya kapan saja sepanjang hari. Maksudnya adalah selama perjalanan rohani retret tahunan ini, selain dibimbing oleh Roh Kudus, ditemani doa-doa Keluarga Kudus, ayah spiritual kami Bapa Vitus Bouma, juga berjalan bersama kami. Perjalanan rohani ini kiranya membantu kami, untuk menemukan apa yang menjadi visi, misi, harapan dan cita-citanya. Salah satu alternative jalan yang ditempuh adalah “Spiritual Encounter with the Founder.”
Bagiku, pekan ini amat istimewa, sebab selain berjalan dalam keheningan di tengah kebersamaan dengan rekan seperjuangan, kami juga ditemani Bapa Pendiri. Ini merupakan suatu pengalaman baru bagiku, di mana kami diarahkan untuk selalu memohon kepada bapa Pendiri untuk berjalan bersama kami. Perbedaan amat terasa, ketika berjalan sendiri dengan berjalan bersama dengan Bapa Pendiri. Apalagi kisah-kisah permenungan kami seputar retret tentang Bapa Pendiri Vitus Bouma. Dia yang telah menjadi “signum primarium” saksi kasih Allah di tengah dunia pada masa hidupnya. Ini di masa lalu. Tapi kini, kami harus menghidupkannya, hari ini, di sini, dan sedemikian rupa berupaya agar menjadi “signum primarium”. Kami hendak belajar darinya, bagaimana dapat meniru teladannya dan menyusuri jalan-jalannya. Seluruh waktu, sepanjang hari, rasanya terserap dan teresap dalam keheningan bersama dia. Dan bersama dia, di hadapan Keluarga Kudus Nasaret, menatap Allah.
Menggemakan doa singkat ini, secara terus-menerus dalam batinku dengan suatu harapan yang teguh, meyakinkan aku bahwa dapatlah terjadi suatu “relasi spiritual” yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan. Sebab inilah yang digemakan terus-menerus oleh Pastor pendamping bahwa relasi spiritual memungkinkan terjadi perubahan hidup atau transformasi.
Sudah lama aku rindu mengalami relasi spiritual seperti ini. Dan kerinduanku terjawab. Dalam kesempatan sessi meditasi terpimpin “ Lection Divina with Father Founder”, terjadilah relasi spiritual itu. Berjumpa Bapa Pendiri yang seolah-olah “hadir dan hidup, yang dapat kurasakan dan disentuh olehku. Bagiku, ini adalah rahmat sekaligus hadiah istimewa dari seorang ayah spiritual yang tidak pernah secara langsung kulihat wajahnya, yang sudah wafat sebelum aku lahir, namun tetap hidup. Segalanya hidup. Kata-katanya hidup, doa dan berkatnya hidup. Doanya indah untuk kami. “Ya Bapa , berkatilah mereka , sebab mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.” Sebuah doa indah dan seolah menyingkapkan bahwa dia tahu apa situasi dan keadaan kami saat ini. Berkatnya istimewa dan menyentuh hatiku dengan ungkapan awal : “Berlututlah”. Yach, aku mengerti dari permintaannya ini. Berlutut berarti menundukkan diri, rendah hati, di hadapan yang lain, seperti di hadapan Tuhan. Dia menghendaki agar aku berlutut dengan rendah hati di hadapannya.
Pemberiannya sangat istimewa dan persis menjawab kebutuhan kami, “dua gulden”. Ini mata uang negeri Belanda di masa lalu, sebelum diganti Euro. Yach…Bapa kami Vitus waktu itu hanya mengenal Gulden. Aku memahami bahwa pemberian ini sangat berharga dari seorang ayah, dan dalam mata uang asing. Dua Gulden, hari ini sama dengan RP.15.033,88, suatu angka yang cukup besar untuk ukuran kaum dina seperti kami. Sangat menarik pengalaman ini bagiku sebab dijelaskan juga maksud peruntukkan dua Gulden ini yang ditempatkan di tangan kiriku dan kugenggam erat. Pertama digunakan sebagai jaminan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kedua digunakan untuk mempertahankan hidup seperti membeli makanan dan minuman. Ketiga, dapat digunakan untuk berderma kepada kaum fakir miskin dan keempat, digunakan untuk mengembangkan usaha.
Doa, berkat dan bekal berupa uang, adalah hal-hal biasa yang diberikan oleh orang tua, seorang ayah atau ibu kepada anaknya, yang hendak pergi jauh untuk menuntut ilmu, bekerja atau membentuk rumah tangga baru. Yang menarik dalam relasi spiritual ini adalah ungkapan perasaan gembira, menyaksikan apa yang sudah kami lakukan. Dan terakhir, adalah ungkapan relasi yang sangat emosional seperti di dunia nyata ini, yakni pelukan hangat seorang ayah, yang erat, lama dan mengesankan. Tak perlu diungkapkan apa-apa lagi, jika sebuah pelukan diberikan, sejuta rasa tak dapat diungkapkan dan seribu arti tak cukup untuk diinterpretasi. Aku tahu dalam batinku, seolah hendak dikatakannya: “ Aku mencintaimu, anakku”. Dan akhirnya sebuah kalimat terdengar di kupingku, tegas namun lirih: “Kamu harus punya kekuatan dan harapan baru, untuk bertahan dan berjuang”. Tak terasa butiran hangat dari pelupuk mata menetes, keharuan dan sebuah kekuatan seolah memenuhi diriku. Batinku tahu betapa dia mencintaiku, mencintai kami dan selama ini selalu menyertai kami.
Pengalaman ini bukan sekadar kisah. Bagiku ini adalah “The Sign”, sebuah tanda. Sebuah petunjuk yang meyakinkan aku sekali lagi, bahwa memang, kehadirannya abadi bersama kami. Kehadirannya dalam relasi spiritual, merupakan awal untuk menerjemahkan makna kehadiranku yang sesungguhnya dalam dunia nyata. Empat hal ( Four Signs) yang kualami, doa ( Ya Bapa, berkatilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan); berkat ( berlututlah) uang dua golden dengan empat fungsi dan pelukan hangat dengan sebuah kata peneguhan ( Kamu harus punya kekuatan dan harapan baru untuk bertahan dan berjuang) adalah petuah. Ini adalah sebuah wasiat, sebuah penugasan sekaligus sebuah misi.
Saya meyakini, jika kudengungkan dalam jiwaku, doa singkatnya dan kupatrikan dalam benakku harapannya, serta kutetapkan dalam langkahku apa yang pernah dihidupinya, ‘the four sigs” ini akan menjadi “ signum primarium”, tanda unggul. Terima kasih , Bapa Vitus, telah rela sedia berjalan bersama kami sepekan berahmat ini. Bapa Vitus Bouma, berjalanlah bersama kami, hari ini, Amen.*hm
Recent Comments