Aku tertegun mendengar kisah singkat seorang ibu muda di Air Semut.Ibu ini menyanyikan mazmur dengan lantang dan indah dalam Perayaan Ekaristi Minggu Misi sedunia ke- 92 beberapa hari yang lalu di stasi Air Semut. Ketika kami bersalaman seusai misa, aku memuji suaranya yang indah dan menanyakan sekolah di mana. Dia tersipu-sipu malu dan mengatakan:” Aku sudah menikah, mempunyai dua orang anak, sekarang janda karena suamiku sudah meninggal.” Aku kaget dan cepat-cepat minta maaf, atas keteledoran pertanyaanku. “ Tak apa-apa, Suster. Banyak orang menduga saya masih sekolah, karena wajahku mungkin tampak muda. Saya berusaha  bergembira dan selalu bersukacita. Suamiku meninggal dua tahun lalu  karena kecelakaan, ketika aku sedang mengandung 4 bulan. Ini anakku yang kedua, yang lahir tanpa mengenal ayahnya. Aku jalani hidup seperti ini, kerja apa saja demi anak-anakku.”

Hatiku tersentuh mendengar kisah sendunya. Di balik senyum lebar dan tertawa kencang, di balik guyonan termuat kisah sendu dan beban kehidupan. Ini cuma salah satu potret kehidupan keluarga yang  dapat kutangkap dari kisahnya, masih ada banyak kisah lain dari orang-orang yang kutemui saat itu, yang tak terungkapkannamun bisa terbaca dari wajah yang bahkan untuk tersenyum pun sedikit dipaksakan. Aku tak melakukan apapun dalam waktu yang singkat itu. Cuma hadir bersama umat di stasi dan belajar dari mereka, dan mau merasakan sedikit bahwa misi itu, tidak mesti berbuat banyak, tapi hadir bersama orang-orang lain, di tengah pergumulan hidup mereka.  Aku duduk manis dalam kapel kecil dengan umat yang begitu banyak, menjadi bagian dari  kehidupan umat di stasi dalam tempo dua jam saja  pada hari Minggu Misi, kemudian bersama-sama menikmati hari Minggu yang ceria yang bersukaria bersama salah satu pasang pengantin baru yang saling mengucapkan janji setia pada misa itu.

Kisah singkat ini terus teringiang dalam telingaku dan wajah ibu muda ini masih lekat erat dalam benakku sampai saat ini. Aku ingat, kalimat terakhir yang diungkapkannya ketika aku mencoba memberikan peneguhan baginya, saat dia merasakan aku memandangnya penuh rasa simpati dan mencoba menghiburnya dengan berduet dalam nyanyian untuk menghibur pengantin baru dalam acara makan siang bersama di rumah pengantin. Aku berkata padanya: “Seperti inilah, hidup. Sabar-sabar, yach, pasti akan selalu ditolong Tuhan.Sekarang, bagaimana?” Dia sepertinya mengerti yang aku maksudkan dari pertanyaanku. Dia langsung menjawab : “Dia bukan milikku, Suster. Suamiku milik Tuhan. Dengan cara itu Tuhan mengambilnya kembali. Memang, awal mula  aku sangat terpukul, tapi aku sadar dia bukan milikku. Aku sudah merelakannya dan belajar untuk hidup apa adanya saat ini. Sekarang biar aku fokus pada anak-anakku dan hidupku saat ini.”

Merenung pernyataan ibu muda ini, menyadarkan aku, bahwa aku tidak memiliki apapun di bumi ini. Orang-orang yang kukasihi, yang sedarah, yang tinggal seatap dengan aku, yang bekerja bersama setiap hari, sahabat dan teman-temanku, mereka yang mendoakan dan mencelaku, siapapun mereka,  juga bukan milikku. Semua yang sekarang yang aku miliki juga bukan milikku.Bahkan diriku sendiri bukan milikku. Semua itu kepunyaan Tuhan. Aku disadarkan betapa selama ini, aku merasa memiliki semuanya dan bebas pergunakan sesuai kehendakku. Aku lupa kalau semua itu kepunyaan Tuhan dan kapan saja Tuhan bisa ambil, entah itu orang-orang yang kukasihi, barang-barang yang kumiliki bahkan juga diriku, kapan pun Tuhan dapat ambil sesuai kehendak-Nya. Aku menghabiskan waktu dengan sia-sia dan percuma kadang untuk memikirkan hal yang tak berguna,dan membuang kesempatan tanpa arti bagi orang lain. Aku pikir, kami akan hidup lama dan sampai tua, kami memiliki banyak kesempatan.Kisah ibu ini, menjadi nyata bahwa kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja, dalam waktu singkat semua bisa hilang.Aku hanya perlu satu hal saja bagi diriku sendiri, menghargai diriku dan sesama sedemikian rupa, dalam rasa syukur dan tobat yang iklas.

Untuk menenangkan hatiku yang gundah, kuputuskan menuliskan kalimat ini dalam jourmalku.“Diriku bukan milikku, dia bukan milikku, mereka bukan milikku, semuanya milik-Mu Tuhan.” Ajarlah aku, Tuhan menggunakan semua milik-Mu yang dipinjamkan untukku hidup di dunia yang singkat dan fana ini. Biarkan aku tahu bagaimana menggunakan semua itu untuk keagungan kasih-Mu, keharuman nama-Mu dan kemuliaan kerahiman-Mu selama-lamanya, supaya pada saatnya, aku tak merasa kehilangan apapun, sebab yang kumiliki hanyalah Engkau. Ajar aku Tuhan, agat tidak lengket dan lekat erat dengan semua itu, dan memiliki Engkau saja, sebab jiwaku tahu, memiliki Engkau berarti memiliki segalanya. Pujian dan kemuliaan bagi kerahiman-Mu selamanya.Amin.”hm