“Penghayatan kaul kemurnian membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat, menuntut kita supaya membiasakan diri dalam keutamaan-keutamaan yang terkandung dalam penghayatan kaul kemurnian yang diungkapkan dalam sikap: menjaga diri, membatasi diri, pengingkaran diri, dan menghindarkan diri dari kesempatan-kesempatan dan godaan-godaan untuk berbuat dosa.( Konstitusi No.34)

Kita semua mengetahui dan bahkan mengalami bahwa tidak begitu mudah  untuk menghayati nilai-nilai hidup religious kita di tengah kehidupan yang mengandung banyak tawaran yang menggiurkan, yang bisa membelokkan arah motivasi hidup kita  yang baik dan benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Terlalu mudah kita  jatuh terjerembab  dalam kelemahan – kelemahan yang akhirnya menimbun dosa demi dosa.Tentu saja, kita percaya bahwa sakramen rekonsiliasi yang kita terima  secara rutin sangat membantu kita untuk selalu memulai hidup baru.

Saya  tertarik untuk  membagikan permenungan  saya  dalam konteks   perjuangan untuk menghayati  hidup yang murni, utuh, yang patut dipersembahkan kepada Tuhan.  Secara umum isi  Konstitusi nomor 34 ini mengenai bagaimana caranya kita mengendalikan diri dari segala godaan, cobaan dan berbagai  tantangan hidup.

Tidak tekun dalam perbuatan baik

Dalam  hal   keselamatan  St.Hieronimus menulis  bahwa  banyak orang  memulai dengan baik, namun sedikit saja  yang bertekun sampai  akhir. Kita  bisa  melihat  contoh  dalam Kitab Suci seperti  Saul  raja Israel, Yudas  Iskariot  pilihan Yesus  Sang  Guru menjadi  salah seorang  rasulnya tetapi akhirnya  mengkhianati  Yesus. Masih banyak  contoh lainnya, namun yang  mau diperlihatkan di sini  adalah bahwa  banyak orang  pada awal mulanya mempunyai niat  baik,  bahkan  berani memulai  dengan kerja keras, bersusah payah bahkan berani mengorbankan  segalanya. Namun sering apa  yang awal mula  begitu  bagus, indah, membanggakan, toh belum menjamin menjadi akhir yang baik. Mengapa semua  itu  bisa terjadi? Kiranya  salah satu jawabannya  adalah  orang  tidak bertekun sampai  akhir  perjuangannya.  Tidak mengherankan, ketidaktekunan dapat  membuat orang berbelok arah dari  motivasi semula yang baik bahkan yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

Kita  mungkin pernah mengalami  pengalaman yang  demikian, dalam satu dua aspek kehidupan. Mungkin baik  kita mencoba  mencari akar dari ketidaktekunan  kita  untuk bertahan  dalam perbuatan baik untuk mencapai  tujuan  khususnya  tujuan akhir  hidup  kita yakni keselamatan kekal. Bagi kita para suster, sudah sangat  jelas, penghayatan hidup kaul berdasarkan semangat Keluarga Kudus menjadi tolok ukur  perjuangan  hidup.

St.Paulus  dalam  suratnya  kepada  jemaat  di Galatia  5 : 16 – 25  menyatakan bahwa  dalam diri kita  ada  kekuatan daging  dan kekuatan  Roh. Keduanya  saling bertentangan. Jika  kita  hidup menurut  dorongan Roh, maka  kita  tidak akan mengikuti keinginan daging. Sebaliknya kalau kita  hidup menurut  keinginan daging,  kita sulit untuk mengikuti  dorongan Roh. Perbuatan daging  akan lebih menguasai kita   dan buah-buah Roh, jauh dari hidup kita. Maka St.Paulus mengajak, agar kita memberi  diri  dipimpin oleh Roh, sehingga  kita  hidup dalam Roh dan oleh Roh. Buah-buah Roh sangat  nyata yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

Salah  satu  buah  Roh adalah pengendalian diri. Sering  disebut  juga  mengekang  diri, menahan diri  dari sesuatu misalnya  nafsu  yang mendorong  kita untuk melakukan sesuatu yang  tidak sesuai dengan nilai  kebenaran dan kasih. Mengendalikan diri sendiri mungkin hal  yang  tidak mudah apalagi bila  kita telah memiliki pola  pikir  atau konsep tertentu yang  sudah melekat  erat dalam diri  kita  yang  kita  rasakan baik, benar  namun ternyata  tidak  sesuai  dengan nilai-nilai  obyektif, moral kristiani dan nilai imani.

Terpenjara oleh kekuatan daging

Kita tentu pernah mengalami betapa  sulitnya mengendalikan lidah kita  untuk  tidak  mengeluarkan kata-kata kotor yang menyakitkan hati sesama, memarahi anak kita, ngerumpi  tetangga atau rekan kerja, meski kita  sudah berniat  sangat  baik  untuk menutup  mulut  tidak berbicara  tetapi pada  saat  tertentu  kita  bisa  jatuh juga.  Kita mungkin pernah mengalami  betapa  sulitnya mengekang diri  dari  kecanduan untuk  berjam-jam nonton TV atau ber-handphone  ria,  dari pada  hadir  dalam  doa  Rosario bersama atau  mengikuti  misa. Kita mungkin pernah mengalami  tidak mudah menahan diri  dari  keinginan untuk makan makanan enak, berlemak meskipun  sudah  dilarang  dokter  untuk pantang  demi  kesehatan  tubuh kita. Uniknya, keputusan kita untuk memilih melakukan yang baik , menghindari yang kurang baik atau keputusan untuk mengekang  diri sering tidak kita sadari pada saat kita alami. Mengendalikan diri  dari hal-hal  yang kurang baik dan berguna  bagi tubuh kita  terutama  bagi  jiwa  kita  memang  tidak mudah dan tidak bisa  kita  berjuang  sendirian hanya dengan mengandalkan niat  baik dan kekuatan kita. Sebab sesungguhnya, kekuatan daging  sangat  kuat  dibandingkan  dengan sekadar  kemauan kita  yang  tak seberapa.  Kita terperangkap bahkan terpenjara dalam kekuatan kedagingan kita secara perlahan-lahan. Kekuatan daging  adalah  musuh besar  jiwa   sehingga  kita  sungguh perlu bantuan Tuhan. Tidak hanya  sekadar  berdoa  atau menyebut  nama  Tuhan, tetapi sungguh berusaha dengan sekuat  kemampuan mengendalikan diri  dari cengkraman keinginan daging  yang memang  merusak  dan sering  terjadi  di luar kemauan  kita.

Kita  tidak hanya  berjuang  keras  untuk melawan kekuatan daging  yang bercokol dalam diri kita, tetapi  harus  berjuang melawan kekuatan dunia. Yang  dimaksud  dengan kekuatan ‘dunia’ adalah  kekuatan kegelapandan kejahatan. Untuk berhadapan dengan kejahatan dan orang-orang  yang hidup tidak benar yang  sering memancing, memicu  kita untuk bertindak yang kurang baik, yang membinasakan, kita perlu  berdoa dan sekaligus menghindari kesempatan-kesempatan untuk berbuat  dosa. Kalau  kita  sadar  bahwa  kita mudah terpengaruh oleh omongan orang, dan tertarik untuk bergaul  dengan orang-orang yang mungkin suka ngerumpi, malas  berdoa baiklah kita hindari orang-orang itu. Kita cenderung lebih tertarik dan menyetujui apa yang dikatakan orang yang menggoda secara halus. Misalnya, “Tidak apa-apa, kan sekali ini saja”. “ Tidak masalah, tidak ada yang tahu, tidak  ada  yang  melihat.”  Dengan cara yang sangat halus,hampir tak terasakan, sering kita membiarkan  benih-benih  yang kurang baik itu, bertumbuh subur dalam diri kita. Atau dengan kata lain, kita mengijinkan benih buruk itu, tumbuh dalam diri. Apalagi, kita juga  terang-terangan melihat orang lain juga berbuat yang sama, mungkin pemimpin, atau orang yang kita kagumi atau sahabat dan teman-teman kita. Kita sering membela diri. “ Mereka bisa buat begitu, kenapa saya tidak bisa, saya juga bisa buat seperti itu.”  Dengan berbuat demikian, kita membiarkan diri kita terus terpenjara oleh kekuatan kedagingan kita sendiri. Sebab orang lain, sesuatu atau apapun itu, hanya pemicu dan pemacu tindakan kita ke arah yang baik atau yang jahat, sementara keputusan untuk memilih yang baik, tetap ada di tangan kita. Dalam hal ini, mempersalahkan orang lain, mengkambinghitamkan sesuatu, seseorang, atau bahkan situasi, tidaklah tepat. Yang tepat adalah kita sendiri yang tidak mengendalikan diri  dari hal-hal tersebut. Dalam situasi ini, kita terkurung dalam kuasa kedagingan kita sendiri.

Orang–orang kudus memberi nasihat kepada kita, bahwa untuk mengendalikan diri diperlukan suatu  disposisi diri yang matang. Salah satu cara  terbaik untuk  mengendalikan diri  dari godaan orang-orang adalah  menghindari  diri  dari  sumber godaan. Kalau kita sadar bahwa sesuatu atau seseorang, begitu memikat kita, sampai membelenggu kita sehingga kita menjadi tidak bebas untuk hidup sesuai pilihan hidup kita, baiklah kita menghindar, kemudian berani untuk melepaskannya.

Kalau  kita  sadar  bahwa  adanya HP telah merebut  banyak sekali waktu kita  untuk berdoa  dan bersyukur  pada waktu misa, maka  kita  sebaiknya  mematikan HP pada waktu misa atau berdoa. Kalau kita  sadar bahwa  kalau sekali mata memandang  muncul keinginan untuk membelanjakan apa saja, sampai  sulit  menabung  uang, bahkan  berutang, maka baiklah kita mengendalikan diri  dengan  tidak sering menjajakan mata  di  toko, swalayan,  membaca iklan, sekedar ke mall atau sejenisnya.  Kalau melihat sesama teman memiliki barang baru dan kita juga mengingininya, bahkan kita  iri hati terhadap orang itu, baiklah kita berpikir sejenak, apakah saya sungguh membutuhkan barang itu.

Ini contoh sederhana.Ada hal yang lebih penting yang butuh pengendalian diri dari kita terutama mengenai  kesetiaan kita terhadap panggilan kita dan keselamatan jiwa kita. Kita telah memulai dengan sangat baik pada awal panggilan dan pilihan hidup kita yakni percaya pada Tuhan, memberi  diri  dibaptis, menerima sakramen-sakramen gereja, bahkan telah meninggalkan orang tua, sanak saudara, orang-orang yang kita kasihi, kemapanan hidup , lingkungan budaya kita untuk memeluk suatu cara hidup baru, hidup membiara.

Kita telah mulai dengan memilih yang terbaik mempersembahkan diri kepada  Tuhan  menjadi pelayan-Nya. Pada awal mula  dan beberapa waktu sesudahnya, dalam kesadaran penuh semuanya berlangsung baik-baik saja dan aman-aman.  Namun, seiring perjalanan waktu,  tak dipungkiri, ada banyak perubahan yang terjadi baik ke arah yang baik, yang meneguhkan langkah panggilan kita, maupun ke arah yang kadang kurang baik.  Benarlah, kata orang bijak, seunggul apapun bibitnya, sesubur apapun tanahnya, kalau  tidak disiram, tidak dirawat, tidak disiangi, toh akhirnya  tidak menghasilkan buah. Sama juga dengan hidup kita.Sebagus apapun motivasi awal hidup kita, sehebat apapun kita, sekuat apapun kita, kalau kita tidak mampu mengendalikan diri dari berbagai kesempatan untuk berbuat  dosa, kita  berpeluang untuk jatuh dalam dosa demi dosa. Dan jika demikian, akan cukup sulit  untuk bangun kembali kecuali dengan pertolongan rahmat Tuhan yang besar, kehendak kuat dari diri kita serta kerendahan hati kita untuk meminta bantuan sesama dalam komunitas untuk menyokong  kita keluar dari belenggu-belenggu ketidakberdayaan.

Apakah  gunanya  segala yang telah kita mulai dengan begitu berani,  tetapi sesudahnya perlahan-lahan  semangat kita  melempem  dan  tak berdaya  untuk mengendalikan diri  dari hal-hal yang  tidak sesuai dengan semangat panggilan yang kita  hidupi? Apakah  gunanya segala yang kelihatan indah, mewah dan membahagiakan  jika  kita karena kelalaian kecil namun kena sasaran yang menyangkut  keselamatan jiwa  dan kita kehilangan karenanya? Kita tidak akan mungkin menabrak gunung, karena  gunung itu besar  dan kelihatan. Tetapi kita sangat mungkin bahkan bisa  tersandung  jatuh dengan kerikil  kecil  yang  tidak kita lihat  di tanah. Sama halnya  dengan kehidupan jiwa kita. Jika  keterarahan atau fokus  hidup  kita  sekarang  ini, tidak begitu jelas  kepada Tuhan  dan usaha kita  untuk mengendalikan diri  terhadap godaan dan tawaran-tawaan, tidak seberapa besar, sesungguhnya  kita  sudah  tersandung  banyak kali  dengan kerikil – kerikil  dosa  yang tidak hanya menghambat  jalan menuju  keselamatan tetapi telah membuat kita  terlena  dan mungkin tidak akan sampai  ke sana.

Kesanggupan kita dalam dan bersama Tuhan

Yesus  Kristus, dengan kehadiranNya  di dunia,  mewartakan Kabar Gembira, dan terutama dengan sengsara, wafat  dan kebangkitanNya  telah memulihkan  hubungan kita  dengan Allah akibat dosa. Yesus  telah mengutus  Roh Kudus  sebagai Penolong untuk membantu kita. Kita sudah tahu sangat  lama bahwa  Roh Kudus  selalu menyertai kita, tetapi apakah  kita  sudah hidup menurut  dorongan Roh Kudus, berani memanggil Roh Kudus  dengan sapta karunianya  untuk membantu kita dan  berani memberi  diri  dipimpin oleh Roh Kudus? Kita akan dibebaskan dari belenggu ketidakberdayaan sehingga dapat  mengendalikan diri dari berbagai kesempatan untuk berbuat dosa , jika  Roh Kudus  yang memimpin hidup kita.

St,Paulus  dalam suratnya kepada jemaat  di  Filipi  4 : 13 mengakui bahwa kesanggupan  kita  adalah bersama Tuhan.” Aku sanggup melakukan segala sesuatu  dalam Dia yang memberi kekuatan padaku.” Kalau  kita  tahu dan sadar  ada kekuatan yang melebihi   dan melampaui daya  kita  untuk berupaya, mengapa  kita  berlama – lama menunggu untuk meminta pertolongan-Nya? Sesungguhnya Tuhan  berjanji, siapa  yang meminta akan menerima, yang mencari akan mendapat, yang  mengetok pintu pasti  akan dibukakan.Persoalannya apakah kita  punya  cukup  iman yang besar  meski  cuma sebesar  biji sesawi saja? Seandainya  kita  mengerti  arti sabda  Tuhan ini : “berbahagialah ia yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana, Lukas 1 : 45” kita juga akan mengerti, betapa  bebasnya  hati kita  dari segala hal yang menghambat  kita  untuk mengalami kebahagiaan sejati  dalam Tuhan dan pantas  disebut Putra-Putri Allah.

Belajar  mengendalikan diri, belajar hidup dalam Roh dan menentang kekuatan daging, tidak mudah. Kekuatan manusiawi kita  tidak cukup mampu. Hanya rahmat Tuhanlah yang mampu. Namun  dengan segenap kekuatan kita harus berupaya dan salah satu upaya itu adalah semakin mendekatkan diri dengan Sabda Tuhan, supaya kita menjadi sabahat Allah. Allah hanya dapat  kita kenal melalui Sabda-Nya. Allah dapat kita temui dalam segenap perayaan Sakramen.Allah dapat kita jumpai dalam seluruh pengalaman hidup. Namun , semua itu mengandaikan  kita memiliki antene iman yang cukup tinggi untuk menangkap sinyal kehadiran Allah.

Hanya bersama Tuhan sendiri, kita dimampukan untuk mengendalikan diri dari berbagai-bagai kesempatan untuk berbuat dosa, untuk hidup tidak benar, dari ketidaksanggupan menghayati kaul-kaul. Orang bijak menasihati kita agar berhentilah untuk menganggap enteng atau sepele hal-hal sederhana yang bisa menjebak kita. Tetapi mulailah untuk lebih waspada terhadap segala hal, apa pun itu, dan menghidupkan sinyal iman kita supaya kita tahu membedakan mana yang baik, mana yang kurang baik, mana yang jahat. Supaya kita dapat menangkap dan merasakan arah gerak Roh yang membimbing kita dan menangkap  gerakan halus kuasa kedagingan kita yang bisa membinasakan kita. Semua hanya mungkin, dalam kebersamaan dengan Tuhan. Pilihan terbaik kita  adalah hidup bersama Tuhan, memegang tangan Tuhan, bersama Tuhan, sebab hanya bersama Tuhan, kita tidak akan tersesat, tidak akan jatuh.Karena Tuhan beserta kita.***hm