Bunda Maria dan bapa Yusuf adalah pribadi yang beriman. Mereka meletakkan hidupnya pada tangan Allah. Mereka menyadarkan hidupnya pada Sabda Allah. Maria dan Yusuf sangat sadar bahwa sebagai kaum Anawim bangsa Israel, pengharapan mereka satu-satunya hanya pada Allah saja. Karena itu, seluruh hidupnya terarah kepada Allah, untuk mendengarkan sabda-Nya supaya mereka dapat melakukan apa yang dikehendaki Allah.
Keterbukaan hati ini merupakan disposisi dasar di hadapan Allah. Mereka selalu memandang kepada Allah, Yahwe yang menyelamatkan, yang tentang-Nya mereka telah mendengar dari seluruh kisah hidup leluhur mereka. Maria dan Yusuf menantikan saat keselamatan hari demi hari. Mereka menanti dengan penuh iman yang berpengharapan, bahwa Allah pasti mengerjakan karya-Nya sebagaimana dulu dilakukan-Nya kepada leluhur mereka. Penantian yang sekaligus menumbuhkan iman mereka dari hari ke hari bahwa Allah dapat melakukan segalanya, dengan segala cara menurut kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas.
Maria dan Yusuf, masing-masing sebagai pribadi terbuka pada Sabda. Mereka mendengarkan, merenungkan, mengingat, meresapkan dalam batin segenap karya Allah yang ajaib dan semua janji Allah. Mereka percaya penuh keyakinan. Mereka menanti penuh harapan bahwa janji Allah juga dapat terpenuhi dalam diri mereka. Mereka menyerahkan diri kepada Allah sebagai hamba yang taat dan siap melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam keadaan disposisi batin seperti ini yakni hati seorang hamba, Allah berkenan mendatangi Maria juga Yusuf, masing-masing dengan cara-Nya tersendiri memanggil, memilih, dan mengundang mereka untuk ikut serta berpartisipasi secara khusus dan istimewa dalam rancangan Allah. Peristiwa Kabar Sukacita dari malaikat Gabriel kepada Perawan Maria, menunjukkan bahwa kehendak Allah berpadu dengan kerinduan Maria untuk melaksanakan kehendak Allah. Maka, tidaklah heran, tanpa menunggu lama, Maria menjawab undangan Allah melalui Gabriel utusan-Nya. Jawaban Maria kepada malaikat menunjukkan dan mencakup visi dan tujuan hidupnya yakni “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu. Maria setuju pada rancangan kehendak Allah.
Rancangan kehendak Allah disampaikan melalui “Sabda-Nya”. Ketika Sabda Allah didengar, dipercayai, diimani, disambut dengan sukacita oleh Maria, ia beroleh kekuatan, keyakinan diri sekaligus rahmat untuk menjawabnya. Maria memilih menjawab ‘Iya’, karena itulah pilihan satu-satunya yang juga dikehendakinya. Tidak ada pikiran dan alternatif lain. Sebab Sabda itu hidup, sudah lebih dulu hidup dan sangat hidup dalam seluruh kehidupannya. Dan dengan jawaban fiat ini, kini Sabda itu menjelma dalam rahimnya, meresap dalam seluruh dirinya sepenuh-penuhnya, memenuhinya dengan segala daya Ilahi. Maria mengandung Sabda yang menjelma menjadi manusia, dan melahirkan-Nya bagi dunia. Hidup Maria menjadi pembawa Sang Sabda, pembawa Kabar Gembira bagi dunia.
Demikian juga Yusuf, yang di tengah kegalauan merencanakan untuk meninggalkan Maria, disapa secara istimewa oleh Allah melalui mimpi agar tidak takut mengambil Maria sebagai istri sebab dalam kandungan Maria, Sabda itu terjelma. Sabda itu mesti dijaga, dilindungi dan dibawa dalam seluruh kehidupan Maria dan Yusuf. Kegalauan Yusuf bukan karena berpikiran negative terhadap Maria sebagaimana yang kita pikirkan dari cara pikir manusiawi, tentang ketidaksetiaan Maria. Bukan itu. Yusuf tahu persis, siapa tunangannya. Yusuf mengenal Maria, dan meyakini bahwa tidak mungkin bagi Maria untuk mengkhianati cinta yang telah mereka jalin selama ini. Yusuf mengenal Maria, yang seluruh hidupnya telah dipersembahkan kepada Allah. Yusuf berpikir, telah terjadi sesuatu yang ajaib pada diri Maria, dan Yusuf merasa tidak pantas untuk mendampinginya. Kisah-kisah keajaiban yang dikerjakan Allah pada leluhur mereka, sudah sangat dikenal oleh Yusuf. Maria pasti mengalami sesuatu yang istimewa dan Yusuf merencanakan untuk mengundurkan diri, pergi dari kehidupan Maria dan membiarkan Allah sendiri yang melakukan apa yang baik menurut pandangan-Nya.
Sabda itu hadir dalam diri Yusuf melalui mimpi. Dan Yusuf pun mempercayai-Nya. Demikian cara Allah yang juga dipahami Yusuf dari kisah-kisah ajaib leluhur mereka. Ketika Yusuf mengimani sapaan dan kehadiran Allah dalam mimpi, dan seluruh daya jiwanya diresapi dengan kekuatan dan rahmat. Setelah bangun dari tidur, Yusuf pun mengambil Maria sebagai istrinya. Yusuf mengimani Sabda dan bersedia melindungi, merawat dan selalu membawa Sabda dalam seluruh hidupnya bersama Maria dalam keluarga Kudus Nasaret.
Demikian seluruh hidup Maria dan Yusuf terbuka pada Allah dan Sabda-Nya. Suatu keterbukaan hati yang pada gilirannya memberi sukacita besar pada mereka. Merenung hidup Maria dan Yusuf yang senantiasa terbuka pada Allah dan Sabda-Nya, mengingatkan kita bahwa Sabda yang kita dengar kiranya diamini, dipelihara, dijaga dalam kehidupan sehingga menjelma menjadi tindakan nyata yang membawa sukacita.*hm
Recent Comments