Hidup bakti kita sepatutnya merupakan sebuah tanda unggul “signum primarium”. Kiranya perjalanan rohani yang telah kita lewati bersama telah sungguh membantu kita mengalami proses dari waktu ke waktu untuk menjadi SAKSI KELUARGA KUDUS NASARET. Saya tertarik untuk sekedar mengulang kembali beberapa point penting dalam rekoleksi Bapa Uskup pada tanggal 2 Desember yang lalu yang sangat relevan dengan tema kita tentang signum primarium, menjadi saksi kasih Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosef.
Bapa Uskup mengingatkan kita untuk menyadari kembali hakekat dasar panggilan hidup bakti kita sebagai misteri Ilahi; Sebuah anugerah mulia dari Allah; yang kita bawa dalam kerapuhan manusiawi kita. Dan berhadapan dengan misteri Ilahi, kita diundang untuk membangun sikap yang pantas yakni selalu bersyukur dan rendah hati…Sebab pada hakekatnya, hanya karena kasih Allah semata-mata, kita diikutsertakan dalam panggilan mulia ini.Dan kepada kita dipercayakan Kabar Gembira untuk diwartakan kepada segala bangsa.
Struktur hidup beriman dan panggilan kita yang mendasar adalah bahwa Allah mencintai kita sedemikian rupa dan memberikan kita tugas mulia. Struktur hidup beriman adalah MENCINTAI. Panggilan dasar kita adalah mencintai sebagaimana Allah mencintai kita. Allah lebih dulu mencintai kita, bahkan sebelum kita mengenal dan mencintai-Nya.Allah mencintai kita, sebelum kita memiliki prestasi apapun bahkan waktu kita masih berdosa. Menyadari terus-menerus panggilan kita adalah anugerah. Rekoleksi, tridium, retret dan kesempatan lainnya, di mana secara istimewa diberi kesempatan untuk menyadari panggilan Allah atas diri kita, juga merupakan anugerah.
Manakah panggilan kita yang paling mulia.Panggilan yang mulia adalah kita semua dipanggil untuk MENJADI SAKSI kasih dan kebaikan Allah. Siapakah kita ini, sehingga kepada kita dipercayakan harta mulia “yakni Kasih dan kebaikan Allah “untuk diwartakan? Kepada kita manusia rapuh dipercayakan harta mulia. Maka kita tidak perlu heran atau kaget, jika memang kita temukan dan dapati serta alami dalam hidup sehari-hari, ada “ups and down” dalam pengalaman kita. Bagaimana pun kita bersyukur, sebab tidak mungkin Allah memberikan tugas-tugas mulia itu, kalau Allah tidak lebih dulu “mengasihi” kita dengan membekali kita segala rahmat, kemampuan, anugerah dan karunia untuk menjadi saksi kebaikan dan kasih-Nya.
Konkretnya, panggilan mulia itu merupakan praktek-praktek sederhana, yang penuh dengan sukacita dan rendah hati. Praktek kasih dan kebaikan, sebagaimana yang banyak sekali ditulis dalam Kitab Suci dan diwartakan dan dihidpi oleh Yesus sendiri. Kalau unsur-unsur dasar dari panggilan ini hilang, kita sebenarnya sedang mengalami krisis. Paus Fransiskus menuliskan banyak hal tentang bagaimana mempraktekan kebaikan dan kasih Allah, dengan menjadi pelaku utama kebaikan. Antara lain dikatakan : “ Jangan merasa puas, jika Anda tidak melakukan kejahatan!. Jangan! Setiap orang (termasuk Anda) bersalah, jika tidak melakukan kebaikan. Tidak cukup Anda tidak membenci, Anda juga harus mengampuni.Tidak cukup Anda menghilangkan dendam, Anda juga harus berdoa bagi musuh-musuh Anda. Tidak cukup menghindari perpecahan, Anda juga harus membina damai di tempat yang tidak ada damai. Tidak cukup menghindari gossip.Anda juga harus menghentikan mereka yang berbicara jelek tentang sesamanya.Hentikan obrolan yang sia-sia.”
Praktek berbuat baik merupakan jalan menuju kekudusan dalam hidup sehari-hari. Hendaknya, kita menghindari pengalaman bahwa kekristenan adalah aturan-aturan. Juga hendaklah kita menghindari bahwa hidup bakti kita merupakan aturan-aturan. Bukan. Kekeristenan kita dan hidup bakti kita, pertama-tama adalah MENGASIHI, mencintai. Ketidakmampuan mengasihi merupakan penyangkalan atau mengingkari anugerah Ilahi dan panggilan mulia kita. SATU-SATUNYA TRAGEDI BESAR DALAM KEHIDUPAN KITA KALAU KITA TIDAK MENJADI ORANG KUDUS”. Hidup dalam keterarahan untuk menjadi orang kudus, kekudusan dalam hidup sehari-hari, merupakan sebuah kesaksian, sebuah tanda unggul.*
Recent Comments