Saya selalu terkesan dengan disposisi batin Mgr Bouma saat berada dalam tawanan. Bukan sehari atau dua minggu seperti yang diharapkan tetapi lebih dari dua tahun, dengan penderitaan yang tiap hari intesitas penderitaannya semakin besar. Apa yang dirasakan oleh seseorang yang sedang menderita, hanya orang tersebut yang mengalami. Bagaimana pun setiap kita telah mengalami penderitaan dengan jenis, model dan intensitas yang berbeda.
Bouma menderita karena cinta. Itu keyakinan saya. CInta akan Allah. Cinta akan Yesus. Cinta akan Gereja. Cinta akan Kongregasi yang dipilihnya. Cinta akan panggilan dan perutusannya. CInta akan jiwa-jiwa. CInta sejati akan dirinya sendiri. CInta inilah yang memampukannya untuk bertahan, bersabar dan tabah. Cinta yang membuat Bouma siap menerima semuanya, meski tentu juga berproses dan juga berharap semua segera berlalu dan akan pulih sebagaimana diharapkan.
Untuk Bouma dan rekan-rekan, doa-doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan, pada masa-masa awal ditawan, seolah-olah tidak dikabulkan. Sebab bukan dibebaskan tetapi semakin menjadi-jadi. Namun menarik dari kisah tentang Bouma. Selalu masih ada rasa syukur. Syukur, Bouma tidak pernah disiksa, hanya diinterogasi. Syukur, pada tahun awal masa tawanan, Bouma bahkan masih bisa mengajar bahasa Latin kepada bruder-bruder dalam tawanan. Suatu kekuatan harapan yang luar biasa besar, dan keyakinan bahwa semua akan membaik. Namun, Tuhan “mengizinkan” semua terjadi dan dialami. Syukur, Bouma dan rekan-rekannya dapat merayakan Ekaristi dengan sarana yang terbatas, di kamar. Bahkan setiap hari dipersembahkan dua kali misa. Sungguh luar biasa. Cinta akan Tuhan dan rasa ketergantungan pada Allah saja sebagai sumber kekuatan dan hidup, begitu nyata ditimba dalam tawanan melalui Ekaristi Kudus.
Cinta akan TUhan begitu nyata dan diwujudkan. CInta akan sesama misionaris juga nyata. Penderitaan diterima sebagai bagian dari persembahan diri yang total kepada Allah. Bagian dari menapak jejak Kristus yang menderita. Cintanya juga diwujudkan dengan tetap berpegang pada kebenaran sebagai pribadi yang berkarakter, yang tidak menyangkal apa pun untuk membebaskan diri dari penderitaan. Bouma berani bersaksi demi cinta akan Kristus dan tidak menodai dirinya dengan keinginan untuk dibebaskan dengan cara-cara licik. Dikisahkan pada waktu mendapat dua kali serangan disentri dan dibawa ke rumah sakit, di mana diberikan makanan jauh lebih baik. Tetapi Monsinyur selalu jujur, dan tak mau “main sandiwara”. Ketika monsinyur merasa diri lebih sehat, maka ia memberitahukan kepada dokter, dan dengan segera dibawa kembali ke penjara.”
Betapa indahnya kisah ini, tentang kejujuran Bouma, yang memilih berterus terang dari pada bersandiwara untuk mendapatkan kemudahan. Bouma mencintai sesama konfraternya yang mengalami derita yang sama. Sungguh, tidak ada niat untuk diperlakukan istimewa. Memilih diperlakukan sebagaimana adanya. Ada kesempatan, namun pilihan hati yang penuh cinta dalam solidaritas cinta kepada sesama lebih dikedepankan. Apakah Bouma tidak mau sembuh? Apakah Bouma tidak ingin bebas? TIdak! Bouma merindukan pembebasan dan pemulihan keadaan. Bebas dari tawanan, bebas dari sakit penyakit. Bouma juga ingin sembuh, sehat dan selamat. Tetapi semua itu kiranya terjadi sesuai kehendak Tuhan.
Sebagai seorang misionaris, segenap konsekuensi sudah disadari sejak awal mula sebelum menjatuhkan pilihan menjadi imam, misionaris di tanah misi. Saat-saat derita yang menghancurkan cita-cita, dan impian untuk mewujudkan banyak agenda yang telah disiapkan. Tentu ada pergumulan antara harapan dan realita. Tetapi akhirnya berpasrah kepada kehendak ILahi, sambil mempercayai bahwa Allah sanggup melakukan segalanya dengan cara-Nya sendiri untuk tanah misi ini, tanpa kehadirannya. Tidak ada yang tahu, sampai kapan diberi waktu dan kesempatan oleh Tuhan untuk melayani-Nya. Jika pekerjaan pelayanan dan penggembalaan merupakan wujud cinta kepada Allah, maka penderitaan yang ditanggung tanpa dikehendaki diri juga sebuah cinta. Sebuah solidaritas cinta dengan Yesus sendiri yang menyelamatkan manusia dan seluruh semesta dunia dengan penderitaan. Tertulis dalam kesaksian :” Monsinyur dan kami semua tahan keberanian, dan dengan demikian kami, walaupun makin lemah, melewati tahun 1942″. Jika dibayangkan atau mendengarkan langsung kisah ini dari saksi hidup yang ditawan bersama-sama dan selamat, betapa lirih dan memperihatikan. Tetapi itulah cinta, yang selalu belajar mencoba bertahan.
Solidaritas kasih kepada sesama ini juga diwujudkan dengan menasihati sesama konfrater yang juga sedang bergumul dengan penderitaan. ” Bouma menasihati para misionaris, supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan di penjara, sebab beliau takut bahwa pastor Boen tidak bisa melakukan pekerjaannya.” Dalam kungkungan tembok penjara yang tebal, pikiran dan hatinya masih tertuju kepada karya misi di prefekturnya yang telah diserahkan kepada Pastor Boen. Pikirnya, jika para misionaris di penjara melanggar peraturan, boleh jadi pastor Boen dipersulit dalam karya kegembalaannya. Sangat luar biasa, kebesaran hati Bouma. Tampak tidak berbuat sesuatu namun berbuat banyak. Berjuang agar tidak menjadi batu sandungan dalam karya pelayanan. Solidaritas cintanya untuk jiwa-jiwa , dengan caranya yang istimewa di dalam tawanan menjadi bukti nyata bahwa cinta itu berbuah dan kasih dimenangkan.
Hari ini, semua sudah berbeda dan berubah sesuai penentuan Tuhan dan perkembangan waktu. Tapi aku merasakan warisan indah khazanah iman yang penuh cinta ini, selalu menjadi kerinduannya untuk diwujudkan kepada semua jiwa yang dikasihi Tuhan. Solidaritas cinta tetap mesti diwujudkan meski menderita. Penderitaan merupakan harga mutlak tak terelakkan jika hendak mewujudkan cinta. Serasa batinku mendengar kata-kata wasiatnya: “Jangan takut, apa yang ada padamu, yang dizinkan Tuhan dimiliki sementara waktu, bukan milikmu. Jangan takut, apa yang mungkin hilang dari padamu, juga bukan milikmu. Yang akan datang, dan diberikan kepadamu untuk sesaat, juga bukan milikmu. Tetap berbagi kasih, meski menderita. Solidaritas cinta kepada jiwa-jiwa di tengah penderitaan adalah berkat istimewa dan anugerah indah dari Tuhan.*hm
Recent Comments