Hari pertama setiap tahun, tanggal 1 Januari Gereja  Semesta secara liturgis merayakan Hari Raya  Maria Bunda Allah. Melalui perayaan ini, Gereja hendak mengajak semua umat beriman Kristiani  untuk menghormati keibuan Ilahi Santa Perawan Maria, Bunda Tuhan kita Yesus Kristus. Melalui Bunda Maria, Sang Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia sejati. Melalui Bunda Maria, Allah yang tidak terlihat menjadi terlihat dalam diri Yesus Kristus.

Yesus tumbuh dan besar dalam asuhan keibuan yang penuh kasih sayang dari Bunda  Maria dan bapa Yosef di kampung Nasaret. Dalam nuansa ketaatan iman kepada kehendak Allah yang maha tinggi, Maria  berkenan melakukan segalanya sebagai seorang ibu bagi putranya yang adalah Anak Allah yang Maha tinggi. Relasi kasih manusiawi Maria terhadap Yosef jauh sebelum dipilih Allah sebagai bunda Putra-Nya, menjadi semakin sempurna. Dalam kebersamaan hidup berumah tangga dengan bapa Yosef, Maria mengasuh Putra Allah. Maria layak diberi gelar, Bunda Allah.

Bunda Maria  bersama Bapa Yusuf mengasuh Putra Allah yang hidup dalam rumah mereka dengan penuh kasih sayang. Sebab sejak awal, Bunda Maria dan bapa Yosef telah menyatakan kesediaan dengan menjawab YA atas tawaran Allah. Kita tahu dari Kitab Suci kisah kasih Keluarga Kudus dalam perjuangan mengasuh Yesus dalam suka duka hidup. Kita tahu, sebagai keluarga umat manusia, mereka secara khusus dan istimewa dianugerahi dan dinaungi oleh Roh Kudus. Roh Kudus menjadi sumber kekuatan utama yang memampukan Keluarga Kudus untuk mendengar dan melaksanakan kehendak Allah dalam segala hal yang berkaitan dengan peristiwa hidup Yesus Kristus. Seluruh hidup, segenap pikiran, perasaan, pertimbangan dan keputusan Bunda Maria dan Yosef dijiwai oleh Roh Kudus dan terarah sepenuhnya untuk melakukan kehendak Allah.

Sebagai manusia biasa, Maria dan Yosef tentu berjuang sekuat kemampuan kemanusiaan mereka dalam kerja sama dengan rahmat Allah. Salah satu yang kita yakini  dalam merenung peristiwa hidup Keluarga Kudus, dalam suka duka ini, adalah bagaimana cara Bunda Maria dan Bapa Yosef merawat rasa kasih, menjaga hati dan memelihara api harapan dalam diri mereka.  Kita  meyakini bahwa betapa besarnya kekuatan batin yang mengobarkan cinta manusiawi penuh kasih sayang dan cinta Ilahi yang terpancar dari Allah melalui mereka masing-masing yang dapat dirasakan. Semua ini nyata terungkap dari kisah dalam Injil yang melukiskan kekuatan batin Maria yang penuh daya cinta karena kemampuan Maria untuk menyimpan segala segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya. ( Lukas 2 : 19).

Tentang Bapa Yosef, lebih jelas lagi bagaimana ia menyimpan semua perkara itu dalam batinnya,  sebab tidak satu kata pun yang keluar dari mulutnya yang dikisahkan penginjil. Benar-benar Keluarga Kudus hidup dalam nuansa ilahi meskipun seluruh jiwa raga mereka nyata menginjak bumi. Kekuatan batin yang ilahi itu nyata tapi tersembunyi dengan rapi tidak mengurangi sedikit pun proses kegiatan hidup manusiawi mereka sehari-hari. Mereka bekerja, bergaul dan berada bersama orang lain. Hidup membaur di tengah masyarakat tanpa pilih kasih. Mereka berdoa dan merayakan hari raya keagamaan. Mereka patuh pada Hukum Taurat dan melakukan kewajiban yang ditetapkan pemerintah. Mereka melibatkan diri dan ikut serta dalam keprihatinan rumah tangga dan keluarga lain dengan saling membantu.

Mereka tidak mengistimewakan dirinya.Mereka tidak merasa lebih atau penting dari orang lain di sekitar mereka. Mereka hidup sangat sederhana. Keistimewaan Keilahian tersembunyi dalam kegiatan hidup sehari-hari yang biasa-biasa. Dalam keadaan biasa dan seperti biasa selalu ada yang beda dari keluarga lain. Maria beda dari ibu-ibu rumah tangga yang lain. Yusuf pun berbeda dari bapa-bapa keluarga yang lain. Apa yang beda? Yang beda adalah cara mereka memandang kehidupan ini. Cara mereka merawat kehidupan keluarga kudus. Cara mereka menjaga hati dan merawat rasa. Apa pun yang mereka lakukan, bukan semata-mata hasil pikiran dan pertimbangan manusiawi, olahan akal budi dan kehendak diri. Maria dan Yosef, selalu membawa setiap buah pikiran, ide, rencana dan pertimbangan ke hadapan Allah. Mereka tidak berdiskusi sendirian. Mereka lebih memilih berdialog dengan Allah dalam keheningan tanpa kata kepada Allah. Mereka lebih memilih membuka hati dan menengadahkan tangan kepada Allah untuk mendengar perintah Allah dan menerima keputusan kehendak-Nya.

Merawat rasa kasih yang besar kepada Allah, dengan selalu membawa persoalan dan dinamika hidup di hadapan Tuhan. Sekiranya ini kehendak Tuhan, Tuhan pasti akan memberi kemungkinan dan membuka jalan untuk mewujudkannya. Mereka tidak membiarkan sedikit pun rasa penasaran atau ingin tahu apa yang akan terjadi sesudahnya. Sebab mereka sangat meyakini kuasa kasih dan daya cinta Allah yang menjiwai hidup mereka. Segala rasa manusiawi ditangguhkan, dikesampingkan, ditanggalkan bahkan dimatikan, untuk menghidupkan rasa kasih dan iman yang teguh kepada Allah.

Ketika Kaisar Agustus mengeluarkan perintah untuk cacah jiwa di daerah asalnya masing-masing, mereka siap melakukannya. Tidak ada tempat untuk dispensasi karena kondisi Maria sedang mengandung dan harus menempuh perjalanan yang jauh menuju Betlehem. Maria dan Yosef merawat imannya kepada Allah, dengan membuang rasa kuatir dan cemas dan menaruh kepercayaan kepada Allah. Ketika tidak ada tempat penginapan di Betlehem untuk Maria berbaring dan melahirkan putranya dengan nyaman, kandang hewan serta palungan sudah cukup untuk keadaan saat itu. Maria merawat rasa kasihnya akan Allah, dengan tetap mempercayai bahwa seperti apa pun keadaannya, semuanya masih dalam taraf pantas dan layak. Tidak ada rasa kecewa atau marah terhadap orang – orang Betlehem atas penolakan mereka. Ketika para gembala datang menyembah putranya dan menceritakan segala yang didengar dari malaikat yang menampakkan diri di tengah padang, Maria dan Yosef tetap tenang. Mereka merawat rasa kasih akan Allah dengan menerima semua yang didengar, dilihat, disaksikan dan dialami tanpa banyak komentar. Tidak ada tempat dalam diri Maria dan Yosef untuk menggembar-nggemborkan rahasia cinta Allah dan misteri kasih-Nya kepada Keluarga Kudus. Tidak ada tempat di hati untuk tumbuhnya benih  kesombongan dan rasa bangga atas semua itu. Dalam jiwa yang sahaja Maria menyimpan dalam hati segala peristiwa itu dan merenungkannya.

Ketika harus segera mengungsi ke Mesir, karena keselamatan bayi Yesus terancam, Maria dan Yosef bergegas berangkat malam itu juga, dalam ketaatan iman. Tidak ada waktu untuk bertanya dan berlambat-lambat. Tidak diberi kesempatan untuk timbulnya pikiran-pikiran negatif dan manusiawi sebagaimana yang umumnya kita alami.  Maria dan Yosef merawat iman akan Allah dengan tetap taat. Hati yang sudah terpaut pada Allah sejak semula, dijaga dengan tidak membiarkan pikiran dan perasaan negatif muncul. Kita dapat melihat jelas sekali dalam gambar-gambar, lukisan Keluarga Kudus, selalu saja, Maria dan Yosef mengarahkan pandangan dan perhatian penuh kepada Yesus. Mereka tahu dalam hatinya, bahwa Putra yang hadir kini dalam keluarga mereka adalah Anak Allah yang maha tinggi. Seluruh hidup mereka terserap kepada keterarahan akan Dia dan teresap seluruhnya secara sempurna dalam hidup mereka.

Selama dalam masa pengungsian di Mesir, Maria dan Yosef merawat rasa penuh pengharapan akan Allah, bahwa suatu waktu mereka pasti kembali ke tanah airnya. Meski jauh di rantau Mesir, hati mereka terpelihara untuk tetap setia melakukan kehendak Allah. Bapa Yosef bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menanti dengan sabar saat di mana Tuhan menuntun mereka untuk pulang.Dalam masa penantian ini, yang ada adalah rasa rindu untuk kembali. Suatu kerinduan yang  dipadukan dengan keyakinan akan penyertaan Allah sepanjang masa. Mereka tidak bingung, ragu atau tergesa-gesa. Sebab mereka sudah selalu berada bersama Yesus, Putra Allah. Kepada Dialah mereka menaruh segenap perhatian. Meski saat itu, Yesus kecil tumbuh seperti manusia biasa, tapi hati mereka tahu dengan pasti, Dia adalah Allah, beda dari anak-anak lain. Mereka merawat rasa hormat dan kasih yang besar pada Putra-Nya. Mereka mendengarkan Dia, bahkan sekedar celotehan atau pandangan wajah-Nya. Berada bersama Yesus kecil  di Mesir sudah cukup meyakinkan mereka akan keterarahan hati kepada kehendak Allah.

Ketika Yesus sudah dewasa dan mulai tampil di depan umum dengan khalayak ramai yang berbondong-bondong mengikuti-Nya, Maria tetap tinggal tenang di rumah. Rasa kasih dan imannya akan Allah, dirawat dengan renungan dan doa dalam cinta. Ketika orang-orang membicarakan tentang kiprah putranya, berbagai bentuk penolakan dari pihak tua-tua dan ahli Taurat, Maria tetap tinggal diam. Dalam diam, Maria menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah yang pasti akan menyelesaikannya pada waktunya. Maria memelihara rasa kasih dan menjaga nyala imannya kepada Allah. Bahkan ketika Yesus, ditangkap, dijatuhi hukuman mati, disalibkan, Maria tetap tinggal diam tanpa kata. Berjalan bersama Putranya ke Kalvari, dalam kepedihan yang mendalam, namun iman yang teguh akan kuasa penyelenggaraan Allah tetap jadi tatapannya.

Dalam diamnya, semua bahkan terdengar makin jelas, suara kehendak Allah. Dalam kesatuan dengan Puteranya Yesus, Maria merawat dan menjaga hatinya, dengan menerima tanpa menghakimi dan mengampuni.  Menerima semua peristiwa yang terjadi. Menerima semua orang dan segela situasi. Maria mengampuni  semua yang memperlakukan Puteranya tanpa belas kasih dan menyalibkannya dengan kejam dan ngeri.  Dalam puncak penderitaan yang tak terkatakan dan rasa kasih manusiawinya kepada Sang Putra, Bunda Maria tetap menjaga hatinya. Tidak ada keluhan, tidak  ada kemarahan, tidka ada dendam, tidak melarikan diri. Bahkan tidak ada tangisan. Suatu keteguhan hati yang kokoh tak tergoncangkan yang telah kuat berakar karena rasa hatinya terawat sejak semula. Hatinya tidak terkontaminasi oleh derita hebat sekalipun. Yach..Maria merawat rasa hatinya dengan menerima semua peristiwa, merenungkannya, mengampuni dan melupakannya. Tak sedikit pun yang tersisa dalam rasanya, karena segalanya sudah diserahkan pada Allah dan kebijaksanaan-Nya.

Merenung semua peristiwa hidup Yesus, bagaimana Yosef dan Maria, berjuang merawat rasa dan menjaga hati agar tidak terpolusi oleh yang bukan kehendak Ilahi, kita dapat membayangkan bagaimana kita biasanya merawat tubuh kita, atau sesuatu yang kita cintai. Selalu ada prioritas pilihan. Apa yang perlu untuk dikonsumsi, apa yang tidak perlu bahkan yang dibuang. Maria dan Yosef memilih kehendak Allah sebagai makanan utama. Firman Tuhan, doa dan renungan  adalah pertama dan utama. Dari situ mereka mengenal apa yang dikehendaki Allah. Mereka mendengar Firman-Nya, mengimani dengan tulus dan melakukannya dalam ketaatan penuh. Menjaga hati dan merawat rasa Kasih untuk menumbuhkan cinta akan Allah serta menggapai harapan yang dijanjikan.Mendengar, menerima tanpa menghakimi, melakukan, mengampuni, melupakan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.

Kita belajar dari Maria dan Yosef untuk selalu memandang  kepada Yesus, mendengarkan Dia , maka sudah pasti ada kedamaian di hati. Kapan dan di mana pun, dalam situasi apapun, jika sudah kelas arah kiblat pada Kristus Yesus, semuanya akan baik-baik saja. Hati terjaga, jiwa terpelihara, badan sehat, batin kokoh kuat. Bersama Keluarga Kudus Yesus Maria Yosef, kita memasuki  Tahun Baru 2022 dengan satu nait baru, merawat rasa kasih dan menjaga hati, menggapai asa menuju kehidupan yang lebih harmoni dan damai dengan Allah, semesta dan diri sendiri. *hmartine.